Welcome to our website !

Tentang Sesuatu

Segalau apapun, pasti tetap tentang sesuatu, entah Tempat atau Teman, entah Pendapat atau Pengalaman.

Setiap kita sudah tentu memiliki sebuah konsep “pemberian terbaik”. Ada yang menakarnya dari harga, ada pula dari kualitas, atau mementingkan nilai fungsi. Begitu pula ketika kita sedang berusaha “memberi” untuk orang lain. Bagi saya pribadi, pemberian terbaik adalah pemberian yang disertai penyangkalan diri namun tetap dipenuhi rasa sukacita. Perdebatan “lebih baik memberi uang” atau “lebih baik memberi waktu” menjadi begitu sia-sia, sebab setiap orang bergumul dengan penyangkalan diri tertentu. Semisal saya ketika kuliah yang sangat minim budget namun melimpah waktu luang, memberi dalam bentuk uang adalah tantangan terbesar. Namun kini, dengan gaji –yang lebih dari cukup, menyediakan waktu menjadi sebuah penyangkalan diri. Atas dasar itulah, ketika memikirkan proyek kasih, titik tekan saya adalah tentang waktu dan ketelatenan. Apakah saya dan teman-teman saya akan sanggup?

Tercetuslah satu kegiatan untuk memberi para oma-opa di Panti Werda sebuah kado sesuai keinginan mereka. “As They Wish” begitulah kalimat yang baru saja mencuat di kepala.
Saat itu hari Minggu usai persekutuan guru Gloria, kami bergegas untuk mencari tahu apa keinginan oma-opa dengan berkunjung ke panti tersebut. Siapa sangka, 15 Oma dan 3 Opa menyambut kami dengan hangat.
Kami berbincang untuk mencari tahu apa yang diinginkan masing-masing mereka. Awalnya saya pribadi mengira itu akan dijawab semacam “selendang” atau “daster” atau “kaos”, namun siapa sangka permintaan oma opa itu spesifik, lucu, dan mengharukan. Misalnya Oma Arlina yang meminta jas hujan. Ketika kami tanya, jawabannya sangat sederhana namun tangkas menegur kami. “Supaya kalau hujan, tetap bisa jalan kaki ke gereja”. Rasanya saya begitu malu, dengan motor dan jas hujan kadang saya menjadikan rintik air sebagai alasan untuk membolos ibadah. Sedangkan seorang Oma dengan tubuhnya yang renta, mencari cara untuk tetap menemui Penciptanya di gereja.

Oma kedua yang kami tanyakan adalah Oma yang sangat ceria. Ketika kami bertanya, dia berpikir lalu menoleh ke arah lantai. Seketika dia berkata “oma mau sepatu kayak nonik ini”, jawabnya sambil menunjuk ke arah sepatu yang sedang dikenakan ce Jessica. Oma Evy Maria kemudian mencoba sepatu itu agar kami dapat memperkirakan nomor kakinya. “Wah ini pas banget, ini buat oma aja ya,” ditutup dengan gelak tawa yang menyenangkan. Kami tak berhenti tersenyum.
Permintaan ada yang begitu sederhana seperti “selendang yang lembut” atau “daster pink”, namun ada pula permintaan semacam “daster dengan renda di bagian leher, berlengan, motif batik, dan ada kantongnya”. Bagian soal renda di leher itu membuat kami sekelompok kebingungan hingga berakhir dengan miss Ona yang menjahitkan renda manual di satu daster yang kami beli.

Pertemuan pertama ini membuat saya paham betapa mereka ingin didengarkan, bahwa mereka juga memiliki selera dan keinginan. Saya makin bersyukur dengan konsep proyek kasih kami. Tidak sekadar memberi namun dapat tepat sesuai keinginan hati.

Seusai keinginan hadiah direkap, kami berenam segera membagi tugas. Siapa beli apa. Tidak ada samasekali pertimbangan rata atau tidak. Komitmen semata. Dan lagi-lagi saya paham, memang menyenangkan memiliki orang yang sehati dan seidealisme dengan kita.

Setelah sebulan pencarian kado dilakukan, hari ini menjadi pertemuan kedua dan puncak acara. Kami hadir dengan 18 kado, dan makan siang. Tak kalah, hati yang siap bersukacita bersama. Respon mereka di tengah siang panas Surabaya hari ini memastikan bahwa jerih lelah kami tak sia-sia. Mereka menyambut kami dan segera berkumpul untuk persekutuan kecil. Uniknya, di usia mereka yang senja, ketika ada kesempatan untuk persembahan pujian, selalu saja ada oma yang mengajukan diri. Dari lagu “setinggi-tingginya langit” dan lagu tahun 70an yang sesungguhnya tidak pernah saya dengar sebelumnya. Saya bahagia melihat kebersamaan kami.



Waktu untuk membagi kadopun tiba. Pukul 11.30 adalah jam makan siang mereka, maka sekalian kami bagi sekotak nasi. Sebelum berpindah ke ruang makan, kami sempatkan foto bersama lalu berpamit. Namun beberapa oma menahan kami dengan jabatan tangan terima kasih yang berulang. Sebuah respon yang manis, hangat, dan lagi-lagi membahagiakan. Kami yang juga masih betah menghabiskan waktu disana, menyempatkan singgah ke kamar Opa Agus yang sedang terbaring sakit. Kami menyerahkan hadiah buatnya. Saat saya di ambang pintu, saya tak sengaja melihat Oma Liang yang telah membuka kadonya. Sesuai permintaan, tas coklat ia dapatkan. Namun responnya menjadi sangat berharga untuk saya kenang. Dia berlari dan memamerkan tas barunya. Oma yang lain menyambut dengan tawa berbalut ekspresi ingin segera menyelesaikan makan siang untuk membuka kado.

Dari dua kunjungan ini, kami yang niatnya membuat bahagia justru dibuat bahagia tak kurang-kurang. Memang benar, ketika kita sibuk membahagiakan orang lain alih-alih menjadi egois dengan hidup sendiri, maka bahagia pula yang kita tuai.

Ini sebenarnya proyek kasih kedua saya bersama teman KTB guru di Gloria. Pertama, kami memilih yayasan anak kanker sebagai penyaluran bahasa kasih. Kali ini, panti werda.
Tadi di perjalanan, Wisye berucap dan berterima kasih karena gagasan proyek kasih yang saya ajukan. Berselang hitungan detik, saya menimpali bahwa sayalah yang sesungguhnya bersyukur sebab dikelilingi orang yang mau mendengar, mengindahkan, dan mewujudkan gagasan itu bersama. Bahkan ce Jess dengan sabar menahan malu menemani saya menjual baju bekas di pasar Mulyosari.
Ini adalah konsep kegiatan kedua setelah proyek “Dedicated for a Life” yang juga saya gagas dengan menggunakan prinsip ATM. Amati (dari lembaga nirlaba tertentu), Tiru, dan Modifikasi. Bersama Helen dan kak Ajeng dua sahabat saya, kami berjerih lelah penuh sukacita bersama dan mengajak rekan pemuda GKI Residen Sudirman untuk bergabung.

Saya mungkin hanyalah seorang konseptor –yang hanya bisa memodifikasi ide yang sudah ada. Namun juga seorang pengecut karena tidak pernah berani melakukan sebuah aksi sendirian. Hanya saja, Tuhan memang tahu benar kelemahan ini dan menganugerahkan saya rekan untuk mengeksekusi sebuah gagasan. Kata orang “niat baik akan selalu mendapatkan jalan”, saya yakini hal tersebut tepat adanya.

Tulisan yang saya tulis sembari terus tersenyum dan hampir mencapai 1000 kata ini, tidak lain untuk menyemangati kita bersama untuk melakukan sesuatu sebagai ucapan syukur. Menurut saya pribadi, masa bekerja adalah masa emas untuk berbagi. KSeperti yang terus terulang di caption atau di sela tulisan, saya merasa lebih dari cukup dengan gaji yang Tuhan beri. Saya bisa pergi ke luar kota untuk belajar atau sekadar pelesir, membeli buku, atau makan kekinian. Maka, akan sangat egois jika saya (dan kita semua) lupa berbagi.

Sekarang saya akan memikirkan sebuah konsep proyek kasih yang lain. Saya tidak tahu kawan mana lagi yang akan Tuhan beri sebagai rekan sepelayanan, saya juga tidak tahu kapan itu akan terealisasi. Satu saja yang saya yakini, untuk niat baik akan selalu menemukan jalan.

Selamat berbagi, teman-teman. Di luar sana ada begitu banyak orang yang kesepian atau setidaknya ingin sedikit lebih diperhatikan. Mari jangan jemu berbuat baik, karena apabila datang waktunya kita akan menuai, jika kita tidak menjadi lemah.

“how far you go in life, depends on your being tender with the young, compassionate with the aged, sympathetic with the striving, and tolerant of the weak and strong. Because someday in life you will have been all of these.” –George Washington Carver
“Semua orang memiliki mimpi”
Hmmm sebentar.. mungkin tepatnya begini: “semua orang boleh bermimpi”

atau versi saya: "semua orang butuh bermimpi"
Terlepas dari yang beda pendapat dan antipati, saya sepakat pada banyak motivator yang telah menekankan arti penting impian. Sudah gratis, memberi tujuan hidup pula. Kira-kira begitu. Tak mau kalah, sayapun punya. Salah satunya adalah soal pernikahan. Bukan tentang kemewahan tapi beberapa konsep yang terlanjur mendarah-daging dalam angan.

www.greenweddingshoes.com


Sore ini saya dan Riyan menghabiskan waktu melimpah membicarakan banyak hal. Di tengah obrolan itu Riyan bertanya:
“sayang.. gimana kalau dream wedding-mu tidak tercapai?”

Saya menghela nafas.
Saya diam.
Saya mengambil jeda.

Ada beberapa jenis pertanyaan yang menuntut keseriusan ganda, karena mengharuskan memberi jawab sekaligus menguji diri sendiri. Pertanyaan ini, salah satunya.
Impian soal pernikahan dan seabreg impian lain seakan menjadi kebutuhan bagi saya. Bukan karena sebuah kegagalan –atau ketakutan terhadap hal itu- saya akan membatalkan impian. Belum pernah, dan semoga tidak perlu. Bagi saya impian adalah prasyarat kehidupan.


  • Impian Menghadirkan gairah
Impian membuat saya menjalani sesuatu dengan tertuju dan penuh gairah. Ketika mendambakan sesuatu, sejatinya bukan “ini harus tercapai” yang menjadi energi namun sebuah suara lembut yang menyatakan “aku akan mencoba mencapainya”. Niat “mencoba” itulah yang membukakan banyak pintu peluang.

Antusiasme dan impian memiliki korelasi erat. Bagi orang yang terlampau excited terhadap banyak hal, impian menjadi sebuah pecutan untuk tetap keep on track. Sebaliknya, bagi yang minim antuasias, impian adalah stimulan terbaik untuk menyalakan api ketertarikan.


  • Ruang Memuji Sang Sutradara
Ada 150 poin mimpi yang saya miliki. Sebagian sudah tercapai, sebagian sedang diusahakan dicapai, sebagaian hanya tinggal menunggu dilakukan, namun untuk sebagian sisanya saya tidak benar-benar tahu bagaimana mewujudkannya. Itulah intinya. Beberapa impian yang seakan misteri justru menjadi kesempatan untuk melihat bagaimana kehendakNya bekerja.

Ijinkan saya memberi contoh. ketika saya menuliskan poin “ikut sidang PBB”, I have totally no idea bagaimana akan merealisasikannya. Ajaibnya, itu terwujud. Saya tidak merencanakan samasekali dan *taraaaa* itu terjadi. Di momen itu saya tahu persis bahwa ada Tangan yang selalu melampaui keterbatasan dan Tangan yang sama pula penuh dengan belas kasihan. Itu hanya satu momen. Impian kecil “S1 usia 20 tahun” dan “bekerja sebelum wisuda” semua tanpa perencanaan, terkabul.

Jangan salah tafsir! Kita tidak pernah boleh beriman bahwa semua impian akan terwujud. Kita mesti beriman bahwa Pencipta selalu memberi terbaik, bahwa Dia tidak pernah pelit, bahwa Dia pula yang penuh kuasa sekaligus belas kasih.

Ketika ada impian yang tidak terwujud, kita akan sedih. Rasakan itu sekadarnya saja lalu melanjutkan hidup dan mencapai kemungkinan yang lain. Semudah itu? IYA. Karena iman, kita dapat yakin ketika Dia berkata ‘tidak’ maka ada hal lebih baik akan datang. Klise? Mungkin. Tapi itu benar. Maka… membuang waktu dengan kesedihan akan menjadi wujud takabur paling ulung.

  • Tidak kebal kecewa
“orang yang tidak pernah kalah yakni mereka yang tak pernah bertempur.”
                Resiko impian adalah kemungkinan akan kegagalan. Selalu menyakitkan. Faktanya, hanya orang yang tidak bermimpi yang tidak pernah kalah. Mereka menghindari sayatan, perasaan tak berdaya, dan malu terhina, dengan samasekali tidak berjuang sedari awal. Saya hanya tidak mau menjadi ‘mereka’ itu. Seburuk apapun kemungkinan kegagalan, sekiranya lebih baik untuk tidak bersembunyi di balik kalimat “jangan mengharapkan apapun maka kau tidak akan kecewa.”

Kekecewaan membuat kita menyadari keterbatasan diri, membuat kaki (bahkan lutut) kita menginjak bumi, dan menguji naluri sebagai pejuang sejati.

Ketika dulu saya menceritakan soal 12 kriteria pasangan hidup saya, beberapa orang dengan sangat sopan menjelaskan: “ah kalau aku terserah Tuhan mau kasih seperti apa. Daripada bikin kriteria tapi nanti kecewa.” Hanya karena takut kecewa, beberapa orang membatalkan impiannya. Atau mungkin, sekadar meralatnya.

Oke, tentang kriteria pasangan hidup saya tidak kecewa. Tuhan berbaik hati memberikannya lewat seorang Riyan. Tapi saya punya BANYAK kekalahan yang lain. Bahkan soal 150 poin itu, mimpi “membawa mama papa pergi ke luar negeri” tidak bisa saya penuhi karena papa telah berpulang. Sedih? SANGAT! Sebuah titik kegagalan, sebagai seorang anak dan sebagai seorang pemimpi. Bagaimanapun, persis kala itu saya dijejali banyak pelajaran hidup berharga, misalnya tentang kematian dan arti keluarga.

Jika demikian, kenapa  harus anti dengan rasa kecewa?


Lamunan saya dalam penyusunan gagasan ini dipecahkan oleh Riyan di seberang sana yang menagih jawaban. Agaknya durasi saya mengambil jeda dan menarik nafas kelewat lama.

sama seperti saat aku gagal CPNS gagal menang lomba, dan kegagalan lain, aku akan sedih...
…tapi aku akan menerima dan melanjutkan hidup.”

Sang penanya puas dengan jawaban itu.

Dan aku disini hanya berbisik di hati: “Tapi untuk saat ini, ijinkan aku sekeras mungkin berusaha mewujudkannya.”


---
Jangan takut bermimpi,
sebab ketika kau menginginkan sesuatu,
semesta berkonspirasi menolongmu





Suatu hari sekumpulan orang melakukan pertemuan akbar membahas nasib lanjutan seorang terdakwa kasus.

Ada dilema di benak jemaat sidang kala itu: melepaskan dengan pengampunan dan sekedar melakukan pembinaan atau tetap memenjarakan yang pastinya merusak masa depan sang terdakwa.

Lalu saya diminta bersuara. Dengan lantang saya berkata: "Tuhan itu adil dan kasih. Selalu ada pengampunan, namun bukan justru meniadakan konsekuensi."




Dengan logat mantab dan penuh pemahaman, saya memenangkan hati hampir seisi ruangan sidang. Mereka mengangguk sepakat. Hukuman tetap harus dilakukan.


Beberapa detik setelah palu diketuk, cermin besar menyambut untuk mengajak merenung: "adiss, andaikata suatu hari kamu ada di posisi terdakwa itu, apakah kamu akan berani bilang yang sama?"

Saya berpikir keras di tengah hiruk pikuk sidang yang berlanjut pada kasus kedua. Andaikata suatu hari saya melakukan kesalahan, apakah saya dapat besar hati dan berani berkata: "oke Tuhan adil dan kasih. Saya sudah melakukan kesalahan, saya layak dihukum. Tolong maafkan saya tapi tetap berikan hukuman bagi saya."

Saya sangsi. Mungkin saya akan berkelit. Mungkin pula saya akan memelas sedemikian untuk memohon pengampunan. Mungkin saya akan menyembunyikan kalimat itu. Atau mungkin hanya menekankan pada 'kasih' dan mengabaikan sisi 'adil'.



Source: www.mcgilldaily.com
Faktanya, kita terlampu sering menjadi hakim yang hebat untuk orang lain dan pengacara mahir untuk diri sendiri.

Apa yang kita tahu dan apa yang kita ingin terapkan untuk orang lain, seringnya sulit jika berhadapan dengan diri sendiri. Maka tak heran jika ribuan kutipan dari filsuf hebat segala jaman menekankan bahwa musuh sejati seorang manusia adalah dirinya sendiri.

Konsep kebenaran selalu membutuhkan kedewasaan yang utuh. Untuk menerapkan yang sepadan baik bagi orang lain dan diri sendiri.

Jika di sidang itu saya (dan Anda) berani berkata: "Tuhan itu kasih dan adil, kita sepatutnya meneladani. Kita memaafkan sang terdakwa hari ini, namun dia tetap harus dipenjara" maka di sidang lain saat kita yang menjadi terdakwa, kita sudah semestinya besar jiwa berkata: "ampuni aku, tapi tetap jatuhkan hukuman itu bagiku!"


Beranikah kita?


“tabur yang baik, maka kamu juga akan menuai yang baik.”



Ponsel lama saya akhirnya pensiun, setelah saya mendapat sebuah ponsel baru. Dibandingkan menjual, saya memilih memberinya sebuah cuti di laci. Saya hanya ingin (sekaligus yakin) suatu hari jika ada seorang kerabat membutuhkan alat komunikasi secara mendesak, ponsel putih itu dapat unjuk gigi. Ternyata benar, seorang teman terpaksa merawat-inap-kan ponsel pintarnya. Saya tawarkan ponsel lama saya untuk dipinjam. Saya sedang berusaha berbuat baik. Apakah untuk menabur?

Dalam bulan ini saya sudah dua kali menampung adek kelas dari luar kota untuk menginap karena ada keperluan di Surabaya. Menjadi tuan rumah sebaik mungkin, jelas merupakan hasrat tersendiri. Menjemput, mengantar, dan menemani ke destinasi yang ingin dituju. Saya juga sedang berusaha berbuat baik disini. Apakah untuk menabur?

"Dis anterin dong kesana.."
"Dis bisa ga jemput aku disini?"
Jika tidak ada halangan, permintaan mengantar alias nebengi tidak akan saya tolak. Kadang capek, tapi toh tidak rugi apapun bagi saya. Saya sedang berusaha berbuat baik sekali lagi. Apakah untuk menabur?

TIDAK! Saya tidak sedang berusaha menabur. Saya hanya sekedar meneruskan sebuah benih ke orang lain. Saya hanya berusaha sekedar TAHU DIRI.

Kenapa begitu?
Saat saya mengurungkan niat menjual HP lama, saya hanya teringat pada sahabat saya dulu: Chyntia namanya. Dulu saya kuliah dengan modal super pas-pasan, sehingga tidak punya cukup uang untuk mengganti HP bobrok saya. Saat itu dia dengan besar hati meminjamkan HP lamanya berbulan-bulan. Tanpa sedikitpun ongkos

Saat saya menerima adek kelas untuk menginap, pikiran saya hanya tertuju pada satu nama: Sinta. Dia berkali-kali harus saya repotkan selama saya sibuk menyandang status jobseeker dan singgah ke Jakarta. Bukan hanya menampung, namun memberikan perlakuan yang selalu menyenangkan. Bahkan pernah suatu waktu di tengah hujan dia membagi payungnya hanya untuk mengantar saya ke stasiun KRL.

Saat saya memilih untuk mengantar teman ke berbagai tempat, saya dibawa pada kenangan saat saya diantar oleh Artha, kak Ajeng, dan pastinya Helen. Entah berapa kali saya nebeng. Di tengah kesibukan masing-masing, mereka selalu menyediakan waktu untuk mengantar.

Pada akhirnya tiga kebaikan yang saya sebut tadi samasekali bukan bentuk menabur, tapi wujud tahu diri. Sebagai orang yang sudah menerima kebaikan, selayaknya juga membagi kebaikan serupa.

Mungkin Chyntia, Sinta, Artha, kak Ajeng, Helen, tidak menerima tuaian dari taburannya secara langsung dari saya. Terkesan saya sedang salah alamat dalam membalas budi, tapi itu karena saya ingin memastikan bahwa benih kebaikan mereka dicicipi banyak orang lain.

Pay it forward kalau istilah kerennya. Meneruskan kebaikan kepada orang lain dan menjadikan kebaikan tersebut terus menyebar. Hukum tabur tuai itu bukan mentah-mentah menabur lalu pasti menuai dari orang yang sama. Tidak sepolos itu. Namun percayalah kebaikan yang sudah ditabur tidak akan pernah sia-sia. Sekali-kalipun tidak pernah sia-sia.

Ini memang berawal dari hukum tabur tuai yang dikenal dalam berbagai agama dan kebudayaan. Kita ditanamkan keyakinan bahwa benih yang baik akan menghasilkan panenan yang baik, dan sebaliknya pula. Anggapan itu menyemangati kita untuk menabur sebanyak mungkin benih kebaikan, atas dasar sebuah keyakinan bahwa suatu hari kita akan menuai hasilnya. Hasil yang baik. Hasil yang tidak mengecewakan.

Faktanya beberapa orang menganggap utopis prinsip ini. Kenapa? Karena mereka pernah atau bahkan sering dikecewakan. Jika tidak salah, kutipan yang sering mereka cantumkan senada demikian "adalah bodoh untuk mengharap orang lain kembali baik pada kita, setelah kita berbuat baik pada mereka. Seperti percaya bahwa seekor singa tidak akan memangsa kita, hanya karena kita tidak memangsa mereka".

Banyak kekecewaan. Merasa sudah berlaku baik ke seseorang tapi tidak merasa ada pengembalian setimpal dari orang yang sama. Kebaikan yang bertepuk sebelah tangan tampak begitu menyakitkan. Padahal prinsip tabur tuai sebenarnya jauh lebih agung dari insting sok tahu manusia.

Tiga cerita soal benih kebaikan diawal cerita ini membuat saya makin mantab dengan kebenaran bahwa benih kebaikan itu tidak akan terbuang percuma, terlepas jika orang yang menerima benih itu tidak dapat memberikan balas budi yang memadai secara langsung. Jangan jemu berbuat baik karena apabila sudah datang waktunya kita akan menuai.

FREE HAIRCUT FOR HOMELESS
Source: www.takepart.com

Kita tidak bisa memastikan dari siapa tuaian itu, seberapa subur benih itu, semanis apa buahnya, dan seberapa banyak panenannya. Bukan bagian kita untuk menebak apalagi mengatur, bagian kita adalah menggerakkan tangan terus untuk menabur benih baik. Toh sebenarnya kita tidak murni sedang menyemai benih, kadang kita hanya sekedar meneruskan benih itu dari seseorang ke orang lain.



"Help people, even when you know they can't help you back. Because helping people, can be a cure. Not just for those who in need but for your soul as well." -Marinela Reka


Alkisah... Suatu hari seseorang lelaki tampan terjaga dari lelapnya. Dia sendirian memikul sebuah tanggung jawab yang besar. Sang Tuan-nya meminta dia untuk memberi nama pada segala hal yang ada di taman indah itu. Satu per satu. Baik kepada burung di udara, segala kawanan liar di hutan, tak luput bagi mereka yang menghiasi lautan. Di tengah keasyikan itu, dia termangu tanya "tidak adakah dari semua makhluk itu yang sepadan untuk menolongku?" Tak berselang lama, dia bertemu belahan jiwa sepanjang masa. Benar! Ini adalah kisah perjodohan pertama di muka bumi, antara Adam dan Hawa. Dari kejadian itu, muncul banyak sekali kekaguman sekaligus membawa pada pertanyaan umum di benak para manusia jutaan tahun setelahnya.
   

Pertanyaan 1 : "kenapa Allah membuat Adam tidur?"
Setelah tugas melelahkan, sang Adam dibiarkan tidur. Ini adalah sebuah kesengajaan besar dari yang Khalik untuk memulai rencana tulus-Nya terhadap manusia pertama itu. Allah sendiri yang berinisiatif untuk menciptakan seorang Hawa. Kata kuncinya adalah adalah: inisiatif.

Bagi kita, awalnya terlihat biasa saja toh semua manusia memang akan tidur setelah lelah bekerja. Namun mari kita perhatikan pernyataan ini: 'Allah membuatnya tidur'. Jelas ini merupakan kesengajaan mulia yang memulai proses pengambilan tulang rusuk hingga pertemuan sang Adam dan perempuannya.

Sebelum kita memikirkan siapa pasangan kita, sudah seharusnya kita menghayati bahwa setiap tahap kehidupan kita adalah anugerah yang dimulai dari rencana Allah yang membawa kebaikan. Dari aktivitas tidur, Allah menyediakan pasangan bagi Adam. Dari aktivitas pelayanan kuliah, Riyan dipertemukan dengan saya. Dari organisasi kampus, sejoli memulai kisah cinta. Ada banyak hal yang dapat menjadi titik mula kisah cinta. Jika Allah sudah berinisiatif maka kegiatan sederhanapun dapat diajadikan awal yang sempurna. Sebaliknya, seberapapun kita menebar pesona jika Allah belum merasa perlu untuk mengambil inisiatif, maka tindakan kita jadi sia-sia.



Pertanyaan 2a: "Kenapa perlu ada Hawa?"
Pertanyaan jenius! Pada dasarnya Allah merupakan penolong yang jauh lebih dari cukup bagi Adam. Bagaimana tidak, faktanya Dia adalah Pencipta. Tidak diperlukan manusia lain, Allah adalah pelengkap hidup yang terbaik.

Lantas apa arti skenario pengambilan satu tulang rusuk Adam tersebut? Dia yang adalah Pencipta Semesta menahan diri-Nya untuk tidak mengisi sebuah kekosongan dalam diri Adam -sebagai simbol dari semua laki-laki- dan mengijinkan ruang kosong itu hanya diisi oleh seorang dari tulang rusuknya. Kata kuncinya adalah "menahan diri".

Hawa diciptakan jelas untuk menjadi penolong bagi Adam. Hawa diciptakan juga sebagai manifestasi Allah yang sedang menahan diri-Nya. Fakta itu tidak henti menginspirasi saya untuk menjadi wanita yang dapat mengisi sisi kosong laki-laki yang memang adalah kesengajaan Allah sendiri. Pencipta yang segala Maha itu telah menahan diri-Nya untuk mengisi kekosongan Adam, Riyan, dan seluruh laki-laki di muka bumi ini. Pengenalan akan skenario agung tersebut agaknya menyadarkan kita bahwa sebenarnya tidak ada alasan manusia tidak menahan ego-nya untuk membentuk kesepadanan dan harmoni hubungan laki-laki dan perempuan. Mengalah penuh kasih, itu adalah teladan yang diajarkan Allah di taman Eden dalam skenario pasangan hidup. Pilihannya adalah kita mau meniru atau membantah?


Pertanyaan 2b : "Kenapa tidak menciptkan 'Adam' yang lain?"
Pertanyaan cerdas dan kritis! Jika hanya untuk menolong, kenapa Allah tidak ciptakan saja laki-laki lain?
Ini karena Allah bukan hanya sedang membuat hubungan pertemanan namun sebuah hubungan unik yang dapat merepresentasikan tentang Kristus dan Jemaat-Nya. Sebuah hubungan hierarkis penuh kasih dimana ada titik pertemuan akan penghormatan dan penundukan.


Pertanyaan 3 : "Bagaimana konsep jodoh Kristen?"
Setelah Adam bangun, tertulis peristiwa selanjutnya bahwa 'Allah membawa perempuan itu pada Adam'. Inilah konsep jodoh! Pendalaman soal ayat ini pertama kali saya dengar saat saya menguping di kelas pastoral pra-nikah. Bapak pendeta dengan suara berkharismanya menjelaskan bahwa detail menarik yang kadang terlupa adalah kenyataan bahwa Adam tidak berkeliling-keliling taman untuk menemukan Hawa, namun Allah sendiri yang membawa wanita itu ke hadapan Adam.

Disini mengingatkan kita bahwa jodoh adalah seseorang yang dibawa pada kita saat kita sendiri telah baik melakukan apa yang Dia perintahkan, seperti Adam yang usai melakukan tugas memberikan nama-nama makhluk di taman itu. Ketika kita fokus untuk hidup dalam ketaatan dan melayani Dia, dengan cara-Nya sendiri sosok yang kita butuhkan akan datang. Itulah jodoh!

Hal ini ditegaskan dengan beberapa kisah lain, salah satunya adalah kisah pertemuan Ribka dengan Ishak. Kala itu Ribka hanya melakukan tindakan sederhana yaitu melayani memberi minum unta milik Eliezer -abdi Abraham yang memang diperintahkan untuk mencarikan pasangan bagi Ishak. Dimulai dari tindakan sederhana penuh kerendahan hati melayani, Ribka memikat hati Eliezer hingga diapun dipinang sebagai menantu Abraham. Baik Adam dan Hawa, Ishak dan Ribka, Musa dan Zipora mengingatkan kita untuk lihai menafsirkan setiap momen sebagau kesempatan melayani Pencipta. Tidak perlu mata yang rajin melirik sana sini, cukup fokus melayani Dia lewat berbagai hal, maka jodohpun akan Dia tunjukkan di waktu yang tepat dan cara yang mengagumkan.

Pertanyaan 4: "Bagaimana Adam yakin bahwa Hawa adalah yang sepadan baginya?"
Jawaban pertama adalah karena tidak ada perempuan lain saat itu. Hahaha mari tertawa sejenak. Itulah yang berbeda ketika jumlah penduduk bumi menjadi milyaran orang, dimana godaan untuk membandingkan dan 'cari aja yang lain' lebih mudah dilakukan.

Saya telah membaca beberapa buku soal pasangan hidup, namun dari kelas pastoral pra-nikah itu saya mempelajari lagi pesona indah perjodohan pertama ini. "Sepadan" adalah sesuatu yang ada di ukuran Allah. Hampir mustahil kita mengetahui seseorang itu sepadan dengan kita atau tidak TANPA kita dekat dengan Allah. Sepadan merupakan wujud kesesuaian paling tinggi berdasarkan standar Allah.  Manusia menjalaninya dengan ketaatan dan iman berbalut pengharapan penuh kasih. Semoga secuplik percakapan malam saya dengan Riyan ini memberikan sedikit gambaran:
Adiss : kalau ada perempuan yang lebih terampil mencintaimu dan lebih sepadan dalam menolongmu, kamu boleh putusin aku.
Riyan : kalau gitu aku boleh dong cari yang lain, aku coba jalani untuk cari tahu.
Adiss : gak bisa, putuskan aku dulu baru silahkan cari yang lain
Riyan : lalu gimana aku tahu kalau belum menjalani?
Adiss : itulah iman! Saat kamu memulai pacaran denganku kamu juga tidak tahu persis apakah aku akan bisa menjadi penolongmu dan apakah kita sepadan. Kamu hanya yakin akan hal itu, lalu memulai denganku. Saat itu kamu sedang mempraktekan soal iman, pengharapan, dan kasih dalam waktu bersamaan.
Riyan : *senyum* itulah kenapa aku tidak pernah menyesal memilihmu.

Sebelum kita berkomitmen dalam hubungan kita masih boleh untuk menerka-nerka sosok seperti apa yang akan sepadan dengan kita, lewat mengenal Tuhan dan diri sendiri sebaik mungkin. Namun saat sudah dalam hubungan, terkaan itu sudah harus berganti menjadi pengakuan dan iman bahwa pasangan kita adalah yang PALING SEPADAN bukan karena perbandingan, namun karena iman dan pengharapan.





Dari satu kata 'sepadan', dimulai dari satu Oknum Berdaulat, bertempat di satu taman istimewa, skenario ini menghadirkan kekayaan yang luar bisa yang menyisakan kesimpulan: Allah adalah makcomblang terbaik sepanjang masa! Percayakan kisahmu pada-Nya! :)
Hari ini membongkar kardus tumpukan buku-buku, karena ingin menemukan satu buku agenda (almarhum) papa. Satu buku yang dia bagi untuk kami berdua bertukar tulisan. Hampir saja menguap dari ingatan, bahwa kami adalah partner kompak dalam menuangkan rangkaian kata. Ada beberapa tulisan saya yang dia salin di agenda pribadinya, dan ada banyak sajak ataupun puisi karyanya yang saya salin di buku menulis saya sejak SMP.

Jadi saya tahu, hobi berceloteh dalam baris-baris tulisan ini diwariskan dari beliau. Tipe tulisan kami juga sangat mirip, berupa kalimat-kalimat pendek, dan sangat gemar membuat rima pada akhir setiap baris. Dan kami penggila quote! Itu yang jelas.

Di tengah tumpukan buku berdebu itu, ada dua buku lain yang penuh dengan tulisan khas papa. Rasa penasaranpun hinggap. Salah satunya adalah buku diary sejak tahun 1989-1991, sebelum saya lahir. Ada dua hal yang akhirnya membuat haru, tertanggal 9 Juni 1991 papa mencatat bahwa kakak perempuan saya (Elsa) membeli mainan kereta, dan selisih empat hari kemudian catatan lain berkata bahwa papa saya mengunjungi taman Kyai Langgeng (Magelang) hanya berdua dengan kakak saya itu.

Diary macam apa itu? Bukankah diary hanya mencatat yang berkesan? Awalnya geli, tapi justru dari dua catatan sepele itu saya menangkap kasih sayang besar papa saya sebagai seorang ayah pada Putri Sulungnya itu. Sehingga perkara mengunjungi sebuah taman berdua ataupun membeli mainan keretapun dipatrikan dalam sebuah goresan tinta.

Haru makin memuncak ketika saya menemukan agenda lain yang berisikan catatan dari tahun 1996-1998. Disana dituliskan sebuah puisi dengan judul nama saya: Claudya. Mengembanglah hati ini, sebelum laki-laki manapun pernah mengirim berbagai gombalan dan mampir di hati, ada sosok laki-laki yang jatuh cinta pertama kali pada saya dan di awal kasmaran sepanjang masa, puisi sederhanapun lahir.

Begini bunyi puisinya.

“CLAUDYA
Kaulah penyulut semangat papa
Kau membuat papa bergairah
Kau membuat papa penuh energi dan daya
Papa tiada renta
Berdegup kencang jantung ini
Memacu diri
Terus berlari
Mengejar prestasi yang lebih baik lagi
Papa tiada merasa letih
Apalagi tertatih
Akhirnya raih reputasi
Demi Claudya jantung hati
Kasih papa takkan terhenti
Pasti”
(karya: Yoseph Tio)



Hari ini, sejak menit setelah saya menemukan tiga buku warisan papa, saya tersadar apa arti penting sebuah buku, atau setidaknya tulisan. Lembaran kisah, tuturan kata, hal paling sepele atau luar biasa, merupakan warisan berharga.  Tulisan adalah bukti bahwa kita pernah hidup, bukan hanya pernah “ada.” dan saya pastikan, anak saya akan memegang hal yang sama nantinya, sebuah buku yang membuat gagasan dan cinta saya tetap hidup walau kata (almarhum) sudah disematkan di awal nama saya :)

Terimakasih papa, nama “Tio” darimu yang terselip dalam namaku, ternyata mewariskan darah kecintaan yang sama, yaitu pada tulisan. Dan pastinya, terimakasih atas puisinya :) I always miss you.


Keberuntungan dan lawan katanya, konon merupakan bagian yang tidak dapat ditebak dalam hidup ini. Perjalanan saya mencicipi secuil Kamboja menunjukan bahwa hal tersebut benar adanya. Tak ada yang dapat memprediksi apa yang akan terjadi bahkan semenit di depan. Begitu pula dalam perjalanan, dibuka, diisi, dan ditutup dengan menu yang tak dapat ditebak.

Bersama seorang kawan baik. Tsabitha namanya, kami singgah ke daerah perbatasan antara Kamboja dan Thailand.  Kami disambut dengan antrian panjang, yang rekornya samasekali belum terkalahkan sejak tiga tahun lalu hingga hari ini. Di bagian imigrasi Kamboja, oknum-oknum berseragam berhasil membodohi kami dengan meminta bayaran sebesar 200 baht untuk stempel yang membekas di passport kami. Penat dan kesal hati pastinya. Kami terheran mengapa kecurangan semacam itu masih saja terjadi. Untuk sekedar menghibur hati, kami memutuskan untuk menambah satu malam menginap kami di daerah perbatasan itu. Bukan untuk mengenang atau merencanakan balas dendam, hanya sekedar menyayangkan 200 baht yang melayang, sekalian menjadikan daerah perbatasan itu sebagai ruang eksplorasi kami akan kondisi budaya dan ekonomi negara tersebut. Kemampuan bahasa Inggris yang sangat minim dari warga sana jelas menjadi kendala tersendiri sebelum akhirnya kami dapat menemukan sebuah hostel dengan harga terjangkau.
Keesokan harinya, kami bermaksud kembali ke Bangkok dengan memberi makan rasa penasaran kami terhadap rute baru yaitu via jalur kereta. Ketika matahari belum gagah di peraduannya, kami sudah terjaga untuk mencari kendaraan thuk-thuk yang akan mengantar kami dari hotel menuju stasiun.
Tidak banyak yang khas dari kereta Thailand, justru menjadi terkesan karena lorong gerbong itu mengingatkan kami berdua pada tanah kampung halaman.
Langkah kaki awal kami setibanya di stasiun bukan hanya dibarengi oleh debu-debu lantai, namun juga kekaguman akan pesona klasik di stasiun itu. Perlengkapan elektronik yang lengkap, tak mengurangi kesan bangunan tua yang khas.


jelas stasiun yang menyenangkan!


Tanpa mau terlalu lama dimanja oleh pesonanya, kami bergegas keluar dari stasiun. Satu-satunya pertanyaan yang muncul adalah, kemana lagi arah angin membawa sepasang kaki lelah kami ini. Jawaban akan perenungan singkat di tengah terik siang itu dihantarkan oleh sebuah berita di surat Kabar Bangkok Post, dituliskan disana bahwa akan ada book fair terapung terbesar di dunia, singgah ke Pelabuhan Thailand.




Tak pikir panjang, itu adalah pertanda bahwa dewi fortuna masih rindu menghiburkan hati penjelajah kami.  Pertanyaannya kini adalah bagaimana menuju ke tempat itu? Kami hanya berusaha patuh pada nasihat klasik, malu bertanya hanya akan memperburuk suasana. Singkat cerita, dewi fortuna yang hanya kiasan itu termanifestasi dalam wajah imut seorang gadis mahasiswa Chulalongkorn yang menawari kami untuk naik taxi bersama. Saat itu, pelajaran sederhana yang kami petik adalah bahwa kebaikan memang merupakan bahasa universal. Kami tak pandai berkomunikasi, bahasa beragam yang memperkaya dunia juga acap menghalangi. Namun senyum dan bantuan sederhana berbicara lebih lantang. Ya, sore itu, kami tergugah pada fakta hidup sederhana: one simple act of kindness spoke louder than a thousand words.
bersama mahasiswa Chulalongkorn

Setibanya di pelabuhan, keberuntungan kembali menyapa karena panitia memutuskan untuk menggratiskan tiket masuk. Saya dan Tsabitha hanya saling menatap geli, betapa kami beruntung hari itu. Saat itu, tak ada kata lain terucap selain mata yang terbelalak melihat kapal besar yang menepi itu, dan berhiaskan senyum kru kapal yang datang dari berbagai negara. Hingga saya menuliskan kisah ini, merinding masih hinggap mengingat betapa ajaib kapal tesebut. Membawa jutaan buku berkualitas, mengumpulkan kru dari berbagai belahan bumi, dan menyambut berbagai pengunjung dengan keramahan bak tuan rumah.




Kami bahkan sempat bertemu dengan kru asal Indonesia, dan rasanya selalu menyenangkan untuk menyapa saudara sedarah di tanah yang berbeda. Setelah berjam-jam berkeliling dan cukup mengabadikan pengalaman itu dalam jeprat-jepret senyuman, kami pun kembali pulang ke penginapan. Di perjalanan bus Thailand yang nyaman, kami berdua dengan lollipop di mulut kami, tertawa kecil penuh syukur mengingat rangkaian kebetulan yang terjadi dalam kurun waktu kurang dari 48 jam.

Perjalanan itu mengajarkan kamu bahwa antrian terpanjang dalam hidup kadang adalah antrian dari kesialan menuju keberuntungan. Tak ada jalan pintas dalam antrian, itu catatan pentingnya. Satu-satunya cara adalah tetap di jalur, berusaha menikmati setiap menit dan setiap langkah. Dibuka dengan ketidakberuntungan yang mengesalkan, menuju pada sebuah kapal besar ajaib yang menepi di pelabuhan. Antrian kami menghabiskan banyak baht, keringat, dan nyaris menguapkan semangat. Namun memaksa diri untuk tetap mengikuti naluri perjalanan tanpa tergesa untuk pulang, membawa kami pada kepuasan besar.




Karena suatu hal murid les saya mendadak ketakutan akan pikirannya sendiri. Bocah kelas 2 SD yang jago bahasa inggris itu, terisak keras sembari memegang kepala berusaha melupakan suatu kata yang menghantui. Sampai di satu titik kala sudut matanya masih basah, dia menangkupkan tangan sembari menengadah ke saya yang memang lebih tinggi, lalu berkata: "can you pray for me?"


Hati saya luluh, Seorang makhluk polos di hadapan saya dengan sangat santun meminta sesuatu yang tidak akan pernah menjadi terlalu mahal untuk dilakukan: DOA.

Sebagai guru di sekolah rohani, sebagai anak dan adik, sebagai kakak bimbing, sebagai sahabat, dan sebagai pacar, memimpin doa bukanlah hal yang asing. Sedari kecil papa saya sudah membiasakan untuk saya memimpin doa di meja makan. Menampung sebuah private message berisi "dis doakan aku ..." Juga terlampau sering saya terima. Tapi sore ini ada seorang bocah yang sangat bergumul dengan karakternya memohon guru les yang baru ia kenal seminggu untuk menghadap Pencipta. Entah kenapa saya begitu terkesan dengan adegan tadi. Setiap kata dan ekspresinya seakan berjalan lambat berulang di otak. 

Kita tidak pernah tahu dari mana pelajaran akan didapat, kita tidak pernah tahu berkat macam apa yang hadir lewat seseorang, dan jelas kita tidak pernah bisa menerka orang atau kejadian seperti apa yang dapat Tuhan pakai untuk mendidik kita. Siapa sangka dari anak SD, seorang dewasa justru ditegur.

Sangat penting agaknya untuk mengenalkan tentang Pencipta sedini mungkin pada seorang individu. Indah sekali lho saat kita mengalami kesusahan, kita tahu kemana kita harus pergi. Dan bayangkan saja jika itu terjadi sejak sekolah dasar atau bahkan sebelumnya. Tidak ada jaminan memang seorang anak yang dikenalkan Tuhan sedari kecil akan mudah dididik atau pasti jadi anak yang baik, tapi poinnya adalah dia tahu bahwa segala hal dapat dia bawa ke Tuhan dan tahu pasti bahwa Dia dapat diandalkan. Ketika seseorang tahu bahwa dia harus berdoa minta tolong saat PR-nya sulit, saya yakin itu akan membiasakan dia juga merendah untuk masalah-masalah lebih besar dalam hidupnya kelak, untuk belajar tunduk mengandalkan Dia.

Dari sisi saya sebagai orang dewasa, adegan ketulusan tadi mengingatkan apa yang Paulus pernah bilang "Dia menggunakan yang bodoh untuk mempermalukan yang bijak", begitu kira-kira isi suratnya dan begitu pula simpulan kejadian tadi. Saya jarang sekali berdoa belakangan ini, bukan karena saya merasa mampu, tapi simple karena saya tahu bahwa solusi dari masalah adalah tindakan nyata. Saya lupa satu hal: meminta tolong pada Empunya hidup. Meminta arahan dan kekuatan, saat melakukan tindakan-tindakan tersebut. Kadang kita memisahkan antara hal rohani dan non-rohani, untuk yang kita kira perkara rohani kita getol doakan tapi untuk sebagian yang tidak rohani kita cuek bebek dengan pendapat dan pimpinan-Nya. Padahal bahkan perkara degup jantungpun adalah sebuah kemurahan Pencipta. Aneh sekali jika kita mengkotakkan perkara antara "silahkan Tuhan, masuk dan tolong aku" dengan "tidak perlu Tuhan, ini bukan tentang aku dan Engkau."

Seorang bocah yang ketakutan dengan kata "cookies monster" tahu bahwa dia harus lari ke Tuhan dulu sebelum berupaya menghapus ketakutannya. Masakkah kita lupa bahwa kita harus lari padaNya dulu untuk sgala sesuatu?



Semoga memberkati :)
Pendeta penuh sahaja itu adalah salah seorang gembala asli dari GKI Residen Sudirman, tempat saya berjemaat lima tahun terakhir. Walau tak mengenal tapi saya tahu persis namanya. Usianya belum terlalu tua dengan perawakan tergolong kurus dibandingkan para bapak lain yang mulai menimbun kegemukan di perut. Di barisan tengah, saya mengikuti ibadah seperti biasa sampai akhirnya insting sok tahu saya bergeming.

Tak biasanya, sebuah pembawaan karismatik terpancar dalam gaya luwes bapak itu sehari-hari. Kesan menggebu-gebu dalam bingkai kontrol yang mengagumkan tercermin. Ada penekanan yang berulang soal ketaatan dalam penderitaan sebagai umat Tuhan sebagai manisfestasi tema utama ibadah. Dari tengah hingga akhir khotbah suara pendeta itu mulai gontai. Ada nada yang tak terdefinisikan tersembunyi di balutan jas hitamnya yang gagah, hingga akhirnya mata itu berkaca-kaca. Jemaat -atau mungkin hanya saya- semakin terenyuh. Iya, tidak dapat disembunyikan sang pengkhotbah sedang menghayati benar isi pesan yang ia bagi. Merinding mampir. Di kala kalimat "walaupun kadang kita tidak mengerti kenapa Tuhan seakan diam pada masalah kita ..." terucap, upayanya untuk tetap tegar terkalahkan dengan tetes air mata. Saya tidak tahu kenapa beliau sore ini menjadi begitu emosional, tebak saya adalah mungkin ia sendiri sedang dalam pergumulan berat. Seakan kalimat ajakan yang ia pakai untuk menguatkan para jemaat sedang ia coba laksanakan sendiri. Tidak mudah mungkin, hingga harus ada tetes air jujur keluar dari sudut kelopak matanya.




Menjadi pewarta Firman, tidak selalu berarti bahwa ia telah tuntas melakukan isi khotbahnya, mungkin di detik ia membagi di saat yang sama persis itulah ia sedang mencoba. Salah besar jika kita asumsikan bahwa bahwa pelayan Tuhan adalah yang sudah beres total hidupnya. Memang, sudah seharusnya perkataan dan tindakan menjadi seirama, tapi kala itu masih proses ada kalanya kita memperkataan kebenaran sebagai pedang bermata dua: memberkati orang lain sembati mengoreksi diri sendiri. Sayang sekali jika kita kerap berkata: "anda lho bisa khotbah kok malah gak bisa lakuin." Proses adalah bagian hidup SEMUA ORANG tanpa terkecuali, metodenya berbeda tapi agaknya bukan didasarkan pertimbangan status tertentu.

Usaha sang pengkhotbah untuk menekankan pesan berharga itu lantas membuat saya teringat sesuatu. Betapa banyak orang yang menolak sebuah kesempatan pelayanan dengan dalih "aku belum siap" atau dengan kalimat yang lebih rohani "aku belum layak". Pertanyaannya adalah: Sungguhkah kita merasa akan layak nantinya? Tidak akan! Benarkah kita akan merasa siap suatu hari? Belum tentu!

Bahkan seorang pendetapun berjuang di tengah segala kondisi serta karakter yang sulit, tapi toh Tuhan berkenan memakai dia. Kenapa? Karena memang tidak ada seorangpun yang dipanggil karena kesempurnaan. Justru tahta panggilan yang Ia mandatkan adalah ruang untuk kita berproses menuju keserupaan dengan Pencipta. Itulah kenapa pelayanan disebut sebagai anugerah, karena itu samasekali di luar kelayakan kita.

Momen emosional tadi dengan lantang menggiring saya pada penghayatan: "tetap melakukan beban panggilan bahkan saat kondisi tidak nyaman," sebuah teladan yang bukan saja saya dengar namun telah saya saksikan.

Akhirnya kami semua -dia sang Pendeta dan kami para umat- larut dalam senyap, kami tunduk dalam durasi doa yang lebih lama dari biasanya. Dan kala ucap 'amin' terdengar, senyum teduh sumringahnya telah kembali. Sebuah kesimpulan dan 'permainan' ekspresi yang mengagumkan!
Aku dan riyan memulai pacaran sebelum akhirnya jadi sahabat karib. Malam ini ngerasain banget enaknya punya pacar multi peran. Dari kakak yang cerewet ingetin ini itu, partner seiman buat saling bahas Firman dan doa bareng, dan salah satu yang paling signifikan adalah sebagai sahabat.

Riyan gak terlalu suka kalo aku umbar masalah di publik khususnya sosial media, baginya itu akan buka kesempatan cowok lain untuk kasih perhatian yang berpotensi ganggu hubungan kami. Ke sahabat cewekpun demikian, dia ingatkan: "nanti saat sudah menikah dan muncul masalah, apakah kamu akan lebih cepat ngobrol dengan sahabatmu atau denganku?" Bagiku ini masuk akal, walaupun itu samasekali gak berarti kami tidak membutuhkan sahabat lain. Tanpa disuruhpun setelah menikmati persahabatan dengan pacar sendiri, sosial media jadi pilihan akhir untuk curcol. Tiap malem selalu ditanyain "gimana hari ini?" dan aku bisa cerita apapun, bener-bener APAPUN soal nano-nanonya hari tersebut. Belum lagi saat seperti malam ini, ada dua kejadian gak enak yang aku rasain dan aku cuma chat bilang "mas, aku ..." Sesegera itu telpon berdering, di layar hp lawasku nama riyan nongol dengan nada khawatir dan empati. Di laen waktu, saat harus menghadapi kegagalan, riyan sempatkan bilang ke aku "makasih sudah berusaha". Kalimat sederhana yang mengalihkan kesedihan pada sebuah kebesaran hati yang memulihkan.


Sahabatan ama pacar sendiri ataupun pacaran ama sahabat sendiri itu sama-sama enak, tapi catatannya adalah keduanya tidak serta-merta terjadi. Dua kepala dan dua latar belakang, artinya ada dua perbedaan yang besar harus dipertemukan. Mutlak butuh waktu. Awal-awal pacaran kami acap berantem karena beda gaya dalam definisi "sahabat yang baik". Bagiku itu berarti "mendengar banyak" dan bagi riyan itu sinonim dengan "memberi (saran) banyak". Lalu mana yang benar? Irisan keduanya, porsi takaran mendengar dan memberi saran yang seimbang, dengan bahasa dan timing yang tepat! Aku bersyukur riyan mengijinkanku memimpin untuk mengintisarikan pergolakan ini sebagai sebuah resolusi dan komitmen bagi kami berdua. Langsung berhasil? Ohhh jelas tidak! Tapi yg penting akhirnya ketekunan dan kasih menghasilkan buah manis. Menjadi saling membutuhkan, itu perasaan yang aman yang membahagiakan.

Saat ini aku menikmati hubungan yang sangat stabil, tanpa disadari melalui masa-masa sulit di awal karena penyesuaian karakter, lalu disusul dengan berbagai masalah keadaan (pekerjaanku ataupun pekerjaannya), itu semua menumbuhkan rasa sepenanggungan kami. Obrolan kami sehari-hari tak ubahnya dua sahabat karib. Dari perkara industry oil and gas, berita politik, postingan lucu 9gag, kisah masa kecil, hingga rahasia keluarga, bisa kami bagi.

Dan sangat nikmat memiliki hubungan dimana pertanyaan "gimana kamu hari ini?" menjadi sama mesranya dengan kalimat "Iloveyou" :)


-diketik sangat cepat dan penuh syukur seusai berpamit tidur-
Saya tahu bahwa kebaikan Tuhan bukan hanya soal memberikan kemudahan tapi juga tentang kekuatan saat hal sulit terjadi..

Tapi yang saya baru tahu adalah hal ini: 

Ternyata Kebaikan Tuhan juga soal bagaimana Dia memampukan kita PULIH dari sesuatu yang sangat berat melukai..

Minim mawas kita tidak sadar bahwa ternyata merupakan berkat besar untuk kita diijinkan kembali melanjutkan hidup ini dengan sebuah cara pandang yang dipulihkan, bahwa hari depan menyimpan banyak sekali keindahan dibandingkan segala luka yang terjadi di hari lalu. Saya bersyukur sebagaimanapun kemelut keluarga saya dulu, hari ini saya boleh berdiri dengan kepercayaan bahwa saya bisa membentuk keluarga yang jauh lebih baik ke depan. Tidak ada skeptisme, hanya ada iman yang terus dirangkai dalam usaha dan doa.





Untuk tetap percaya setelah dikecewakan
Untuk mau mengusahakan yang terbaik di masa depan, tanpa dihantui kegagalan yang lalu
Untuk tetap mengasihi bahkan usai disakiti
Semua ini adalah berkat-tak-tersadari yang dapat saya (dan Anda) nikmati


Kebaikan Tuhan (sekali lagi) bukan hanya soal memberikan kekuataan SAAT hal buruk terjadi tapi juga memberikan pemulihan SETELAH hal itu terlewati..

Sudah sore, ini saatnya aku membangunkanmu. Lalu kamu datang dengan nada tak seramah biasanya. "Tidurku ga nyenyak" begitu katamu. Setelah kutanya, terungkaplah bahwa 'dia' yang kita rindukan telah mencuri lelapmu. Kamu berpikir soal strategi kali ini, sebuah logika dalam memilih.

Tahukah kamu?
Ada perasaan sedih padaku, selalu sedih, setiap kali ada hal yang mencuri senyummu. Tapi di balik gusarmu, tersirat banggaku. Sebuah kebanggaan terhadap pria yang serius memikirkan masa depan dan sebuah kebanggaan besar karena bisa menemanimu di masa sekarang.

Dia yang adalah benda penting kelak bagi keluarga, dia yang tidak bisa berpindah tapi mengharuskan kita untuk berpindah (mungkin) menjauh dari Surabaya -kota kecintaan kita berdua.

Hidup ini memang begitu sayang, tidak selalu kenyataan mengangguk setuju pada rencana. Pun Tuhan kadang berkata tidak, alih-alih jahat itu murni karena Dia siapkan yang lebih baik. Iya, hidup kadang seberantakan itu, memporakporandakan kedamaian dimulai dari sebuah tidur siang. Aku di sini bukan untuk merapikannya, aku memastikan bahwa api asamu masih menyala.

Sayang.. Ketahuilah setiap kali kamu datang dengan keluhan, ada secuil hatiku mengasihani diri sendiri. Bukan, samasekali bukan mengeluh karena keberadaanmu. Justru atas fakta bahwa aku tak banyak membantu, saranku juga kadang tak ampuh. Hanya terus berharap hal sederhana semacam surat terbuka ini ada maknanya.


Sediaku hanyalah selalu meminjamkan telinga. Siagaku itu tentang baris doa.

Tak ada hidup nihil masalah, tapi selama kamu mau mencoba maka aku tidak akan kemana-mana. Aku akan tetap ada mendukungmu pula menyemangatimu, sayang.

Kalimat-kalimat indah di alkitab bisa kamu baca sendiri untuk menguatkan imanmu, tapi toh aku selalu ingin mencoba mengembalikanmu pada pengharapan yang sempurna. Kata semangatpun kadang tak berdaya, tapi toh tetap aku ucap semata agar kamu ingat bahwa itulah kewajiban kita. Tetap SEMANGAT.

Semangat itu tentang kemampuan tersenyum dan berbisik "Tuhan aku percaya." Semangat itu juga soal berkata "oke memang sulit, tapi aku akan mencoba."

Boleh prihatin, sejenak menggugah ketidakmampuan diri. Tapi lakukan itu sebentar saja ya sayang, lalu kembalikan seri indah muka tampanmu. Jangan bermuram karena masa depan kita tak suram. Jangan ciut bahagia, ini hanya tentang "BELUM" dan bukan kata "TIDAK BISA". Dan kuatlah besarkan jiwa! Karena tanpa disadari kamu punya dua otak, empat mata, empat tangan, dan empat kaki.. kala berjuang. 




Terpenting, kamu punya dua puluh jari tangan untuk melipat tangan memohon belas kasih pada sang Pencipta besar. Mungkin tambahan jari itu akan mempercepat doa kita sampai padaNya. Kalaupun tidak, berarti tambahan imanlah yang sedang darurat kita butuhkan. Apapun itu, semangat selalu PERLU!!

Jadiii... Sudah bisa tersenyumkah kamu petang ini? 

"Orang yang bersemangat DAPAT MENANGGUNG penderitaannya, ..." (Amsal 18:14a)