Dilatih bukan untuk Membenci
Ratusan siswa berbaris di lapangan futsal, seragam mereka sama: putih-biru, namun raut mereka beragam. Dari raut kelelahan, bingung dan asing, hingga ekspresi penuh tawa. Tak hanya raut, ada keberagaman lain yang aku tangkap. Semuanya satu arah mengantarkanku pada kesimpulan: Betapa Kreatifnya sang Pencipta.
Kembali menjadi guru sinonim dengan mengucapkan selamat datang terhadap berbagai pengalaman baru dengan para siswa. Kesan pertama yang aku kenang di tengah hiruk pikuk keberisikan khas remaja adalah kekaguman betapa Tuhan menciptakan manusia sangatlah unik dan soal naluri manusia dalam mengasihi. Agaknya kesan ini kelewat sederhana di sepekan awalku di Sekolah, tapi sejujurnya itulah yang terus membuatku tersenyum di sepanjang durasi upacara pembukaan Layanan Orientasi Siswa. Saat sang Kepala Sekolah memberikan beberapa wejangan untuk siswa baru, bola mataku berkeliling nakal mengamati sepintas para calon murid, dari situ aku mendapati betapa kompleksnya faktor genetika yang mempengaruhi seorang individu dan menjadi pembeda dengan individu yang lain. Misalnya soal besar atau kecilnya hidung, model rambut, bentuk rahang, tipe senyuman, dan susunan gigi. Belum lagi jika kita berbicara soal karakter.
Seketika saya teringat sebuah film kartun yang pastinya kita kenal akrab: Winnie The Pooh. Disana tersodor beberapa karakter yang diwakilkan beragam hewan yang berbeda. dari Tiger sang pelompat, Rabbit yang gemar mengeluh, Piglet yang Imut, dan Pooh pecinta madu. Masing-masing mereka memilih kesukaan yang berbeda, ciri fisik yang pastinya berlainan, serta karakter yang juga tak sama. Cerita kartun itu hanya cerminan dari sepersekian kecil ujung kuku keagungan Pencipta. Hal lain yang saya sadari adalah naluri alami kita untuk mencintai keberagaman. Seperti yang pernah ditulis oleh Nelson Mandela:
“No one is born hating another person because of the color of his skin, or his background, or his religion. People must learn to hate, and if they can learn to hate, they can be taught to love, for love comes more naturally to the human heart than its opposite.” ― Nelson Mandela, Long Walk to Freedom
Wajah yang terjadi sekarang adalah bagaimana sebuah identitas bukan lagi bertujuan menjadi pembeda tapi juga pemisah. Sudah terlalu banyak kejadian dalam sejarah menunjukkan betapa rasa benci akan sesuatu yang berbeda telah menjadi pembenaran untuk melakukan segala kejahatan kemanusiaan, hingga akhirnya kata 'genosida' muncul dalam deret perbendaharaan kata. Kita dilahirkan dengan naluri alami mencintai, tanpa perlu pusing menanyakan terlebih dahulu: "kamu agama apa?" ataupun sekedar bergumam "dia tidak cantik, aku tidak perlu mengasihinya". Budayalah yang menggiring kita menjadi manusia pemilih.
Alih-alih bangga dengan keberagaman yang dirancang sedemikian oleh Pencipta,
dan membiarkan diri larut dalam naluri mencintai,
kita justru lebih menikmati latihan yang lebih susah: latihan untuk membenci.
Aneh bukan?
0 komentar
wanna say something? ^^