Welcome to our website !

Tentang Sesuatu

Segalau apapun, pasti tetap tentang sesuatu, entah Tempat atau Teman, entah Pendapat atau Pengalaman.

Ariandes yang RAMAI

By Senin, Juni 29, 2015 , , , , , , , ,

Setelah berlayar entah dari sudut Nusantara bagian mana, penjarahan kekayaan alam Indonesia oleh Belanda tiba di sebuah pulau kecil yang terletak antara Kalimantan dan Madura. Namanya sekarang Keramian, namun dulu pulau ini disebut Ariandes. Ratusan tahun setelahnya, Pulau kecil penghasil cengkeh ini menjadi saksi 12 bocah nyasar terdampar lalu BELAJAR.

(1) Hampir Sampai

Empat jam dari Masalembu, kapal Miami berlabuh jangkar di tengah lautan. Sebelumnya, kami disambut dengan tarian selamat datang dari kawanan lumba-lumba. Tanpa diminta, mereka melompat dan berenang lincah. Saya terhenyak sesaat menyaksikan apa yang saya kira hanya mimpi menjadi nyata. Selain itu hati kami juga riang, menyambut fakta bahwa perjalanan yang mengundang mual akhirnya usai. Para ABK sudah memberitahu bahwa kami akan dijemput oleh kapal nelayan. Belum adanya dermaga yang memadai membuat transfer penumpang terjadi tengah lautan. Disana satu per satu kardus sumbangan dan kardus logistik kami turunkan lalu dengan super hati-hati kami membawa tubuh kami berpindah ke kapal yang lebih kecil, melewati sebuah tangga besi. Kapal nelayan tak perlu waktu lama untuk mengantar kami mendekati daratan. Belum selesai ternyata tapak perjalanan, sebelum menginjakkan kaki di bentangan pulau tersebut kami masih saja harus berpindah sarana. Dari kapal nelayan menuju ke sampan. "Ini baru namanya perjuangan orang pulau terluar!" Begitu otak saya menyimpulkan sambil tubuh menikmati angin khas pesisir.

Di sampan berkapasitas tiga orang itu saya mengobrol dengan seorang ibu beserta anak perempuannya yang bernama Nana, penduduk asli pulau Keramian. Dengan logat yang unik, ibu bertubuh kecil itu menceritakan bagaimana banyak anak di pulau tersebut tidak piawai berbahasa Indonesia. Memang, keseharian disana sangat kental dengan percakapan dua bahasa daerah: Bugis dan Madura, kemungkinan besar dikarenakan posisi geografisnya.

Sesampainya di bibir pantai kami disambut super hangat oleh perangkat desa yang telah mengetahui akan kedatangan kami lewat mas Eko Sanjaya, seorang warga asli yang secara kebetulan saya temukan alamat emailnya lewat akun Instagram. Sosial media unjuk nilai fungsi disini. 

(2) Relawan Mengabdi

Sebelum berangkat kami telah menyusun rencana bahwa di pulau ini wujud karya kami akan banyak menyentuh soal pendidikan. Bagian dominan durasi sepekan saya disini adalah membagi ilmu dan wawasan. "Kepuasan hati tercapai justru saat kita dapat melakukan sesuatu bagi mereka yang tidak dapat membalas kembali samasekali," parafrase ungkapan Martin Luther King ini terbukti valid adanya. 

Tidak ada SMA disana, hanya ada lima sekolah tingkat SD dan satu sekolah tingkat SMP. Jika ditotal saya mengunjungi lima diantaranya. Bagian yang berhasil membuat saya merinding adalah ketika salah seorang siswa SD dengan berani melakukan solo lagu Indonesia Raya. Sesuai pembagian, saya banyak bertugas di kelas 4-5 SD, sebuah tantangan baru mengingat saat KKN ataupun mengajar di Gloria saya selalu berhadapan dengan siswa SMP. Nada yang ceria, ekspresi yang menggemaskan, berusaha saya tampilkan untuk menghindarkan mereka dari rasa bosan. 

Di lain kesempatan, saya merasa hebat kala berhasil mengemas Indonesia sebagai negara yang membanggakan. Juga saat saya mencontohkan beberapa nama atlet Indonesia yang mendunia untuk memotivasi mereka. Nada obrolan ini lebih serius dari biasanya, maklum penyesuaian materi dan intonasi memang harus dilakukan saat mengajar di tingkatan yang berbeda. Di tengah siang terik dan berdebu itu saya duduk membicarakan Nusantara dengan para anak SMP yang memang sudah biasa saya 'tangani'. Ketidaksiapan materi untungnya terbungkus aman lewat segala wujud spontanitas dan memuluskan saya memancing tekad dan angan mereka untuk menggoreskan asa. 

Mengajar anak-anak disana merengkuh jiwa saya pada memori tentang pedihnya kegagalan WVI (Wahana Visi Indonesia). Masih teringat jelas air mata tanpa basah dan teriak tanpa suara kala mengetahui bahwa kerinduan besar untuk berkarya di pedalaman tidak bersambut oleh sebuah penerimaan organisasi. Jika disimpulkan, arti besar pengalaman ini adalah obat yang menyembuhkan luka yang saya kira hanya dapat sembuh oleh waktu semata. Saat saya mengajar Anak-anak itu untuk berani bermimpi, sebenar-benarnya mimpi saya sedang digenapi. Ini sebuah barter yang sempurna!



Selain mengajar kami juga menyalurkan bantuan sembako. Dibantu perangkat desa, kami memetakan nama-nama yang memang membutuhkan. Aktivitas pembagian sembako ini difasilitasi sebuah motor truk yang dikenal sebagai odong-odong, sebuah sebutan yang mengundang geli di angan. Selama perjalanan blusukan ke tiga dusun, kami sembari menguji adrenalin dan ketahanan tulang ekor melewati berbagai rute bebatuan dan belokan curam.

Tiga puluh kresek paket sembako mengantarkan kami pada rumah reot, wajah keriput, dan tubuh kurus. Sebuah pemandangan miris yang harus menjadi pisau tajam menusuk orang pemerintahan agar tidak egois menghabiskan uang negara. Saat DPR membahas milyaran rupiah sebagai dana aspirasi, kami menyaksikan betapa banyak warga berjuang mengalahkan kebutuhan hari lepas hari.



(3) Yang Khas Disana

Bibir pantai hanya berjarak belasan meter dari ruas jalan utama. Tidak mengherankan jika rumah di kanan kiri jalan tersebut hampir semuanya berupa rumah panggung. Dengan tiang kayu berdiri menopang, para penduduk merasa aman kalau-kalau ombak pasang terlalu tinggi dan masuk ke permukiman. Pun hal itu wujud akulturasi budaya bawaan suku Bugis yang juga banyak tinggal di pulau yang mengandalkan penjualan kopra (kelapa kering) sebagai pemasukan ekonominya.

Satu hari menjelang puasa, kami menghabiskan sore di dermaga yang sedang dibangun. Kelak dermaga ini akan mempermudah labuhnya kapal perintis dan semoga menambah mobilitas bagi masyarakat. Dalam langkah pulang kami dikenalkan dengan jajanan khas. Tak lengkap rasanya mengenal masyarakat tanpa mencicipi kuliner asli yang ada. Namanya Pempek, parasnya tak jauh beda dengan yang telah populer di Jawa, hanya lebih pipih. Dibuat dengan ikan dan olahan tepung lalu digoreng di minyak dengan api sedang, pempek ini siap dinikmati dengan kuah asam yang sangat unik. Jika pempek Palembang mengandalkan cuka untuk menghadirkan rasa asam, pempek Keramian mengandalkan biji asam yang sebenarnya. Rasa asamnya unik sekaligus membuat ketagihan.

Pulau ini terdiri dari tiga dusun yang masing-masingnya berjauhan. Dusun Air Hidup merupakan sisi kota Keramian. Nama itu diambil karena adanya mata air yang terus mengalir di sekitar sana. Dua dusun lain bernama Alas Jaya (bahasa Indonesia: hutan yang besar) sesuai penampakan fisiknya serta dusun Sudi Mampir (bahasa Indonesia: Berkenan Singgah) yang seakan membahasakan ajakan ramah untuk bertamu.

Jauh berbeda dengan Masalembo, pulau ini dialiri listrik hanya empat jam sehari (18.00 - 22.00). "Jam listrik mulai menyala kadang terlambat, tapi jam padamnya selalu tepat" begitu penuturan miris pak Kepala Desa yang bagaimanapun mengundang tawa. Tidak berlebihan jika saat kami berpamitan warga hanya menitipkan satu aspirasi untuk kami suarakan nanti: Hadirkan Listrik penuh waktu.

(4) Waktu Luang

Jalan-jalan sore menjadi kegemaran baru kala tak ada kegiatan yang mengisi. Kami pernah menyusuri 3,6 kilometer mencapai pantai yang tak terlalu indah tapi seakan menjadi pantai pribadi. Keceriaan dan kegilaan tumpah sebagai keluarga, bukan lagi sebagai selusin orang asing yang baru saja mengenal beberapa hari. Satu yang unik hari itu adalah hujan yang turun dengan tingkat labil yang tinggi. Tetes air langit yang muncul dan hilang berulang membuat kami akhirnya singgah ke beberapa rumah penduduk. Alih-alih silahturahmi, kami sebenarnya sedang berteduh tapi justru di beberapa singgah itu kami merasakan kesahajaan masyarakat Keramian yang sesungguhnya. 



Seperti rutinitas khas bulan Ramadhan, saya sekejap merasa kesepian kala 10 kawan lain pergi tarawih. Namun sesegera mereka kembali ke rumah, menit-menit 'hangat' lanjut dilakukan kadang hingga larut malam. Kami membicarakan banyak hal. Saya tidak mungkin lupa membagi satu cerita yang membuat kami semua total terbahak-bahak hingga perut terkocok lemas. Sepulang baksos kami diberi hadiah sebutir kelapa muda utuh. Sebuah tantangan bergulir untuk membuka kelapa itu dengan tangan kosong. Setelah bergantian mengupas bagian luar berupa sabut-sabut tebal, tangan kami dapat meraba batok kelapa yang jelas berkontur keras. Tak ada sangka dan tak seorangpun menduga, bukan sulap tanpa sihir, batok kelapa yang begitu keras pecah hanya dengan hantaman tangan kosong Marqi, si adik kembar saya. Sontak tawa meriah tak terelakkan, merayakan kekuatan super yang terpendam di salah satu anggota kelompok kami.

Bonus perjalanan ini adalah kulit yang menghitam pekat, tepatnya setelah mengunjungi pulau Kambing, sebuah pulau kosong kecil di sekitar Keramian. Ada gua, bukit, dan pantai yang mempesona. Namun ada yang lebih indah dari itu semua bagi saya, yaitu durasi saya mengajarkan permainan tahun 90an 'domikado' pada sekelompok anak yang memang ikut pelesir dengan kami berduabelas. Saya menghabiskan masa mengapung pulang dengan riang bermain bersama mereka. Kehidupan selalu LEBIH DARI CUKUP untuk membuat bahagia, itulah pesan tersirat yang selalu diteguhkan lewat senyum tanpa beban anak-anak kecil.



Terlalu banyak kenangan indah yang membuat kisah ini panjang teruraikan. Alinea yang telah adapun telah melewati sortir pilih dan pilah rekam peristiwa. Masih ada bagian tentang cooking class di dapur yang dengan jujur membuktikan perbedaan budaya masing-masing suku. Ingatan tentang para lelaki yang belajar mandi di sumur dikarenakan kamar mandi dimonopoli antrian kaum hawa juga menggelitik saya pada tawa. Begitu juga soal lima perempuan yang terjaga menanti para lelaki yang sedang mencari ikan hingga satu jam menjelang sahur tiba, tak ubahnya istri yang sedang menunggu suami pulang mencari nafkah.

Hanya seminggu tapi begitu banyak kebersamaan terabadikan. Dimulai dari kesediaan menanggung susah senang bersama kala mengabdi, dilanjutkan dengan sikap hangat yang sigap membantu, diisi dengan kisah hidup yang saling dibagi, dan senantiasa diwarnai insiden lucu.

Semua terkemas sesuai nama pulau ini: Keram(a)ian. Ramai dengan tawa, ramai penuh hikmah, ramai meninggalkan kenangan indah.

You Might Also Like

0 komentar

wanna say something? ^^