Welcome to our website !

Tentang Sesuatu

Segalau apapun, pasti tetap tentang sesuatu, entah Tempat atau Teman, entah Pendapat atau Pengalaman.

Janji

By Sabtu, Maret 05, 2016 ,

Kemejaku berwarna ungu dan kemejamu berwarna merah muda pucat. Dengan rambut yang lebih rapi dibandingkan barisan tentara militer dalam upacara, kau menjemputku. Sepeda motormu tetap satu yang usang itu, walau aku tahu persis kau punya cukup uang untuk membeli yang baru. Entah apa istimewanya ia. Kita pergi bersama, berdua seperti biasanya. Tidak jarang orang menganggap kita kekasih dan kita tidak pernah membantah walaupun asmara sudah kita kubur lama. Dari hujan-hujan saat hendak membeli koper, mendapatkan bantal di sebuah undian kecil di pusat perbelanjaan kala natal, hingga ke ulang tahun ponakanmu, aku tidak mengingat satupun itu sebagai rutinitas biasa. Kau selalu menjadikan segalanya renyah, dan mungkin itu juga pesonamu. Ibarat minuman kau adalah seteguk choco-orange, manis namun tetap energik.

Sore itu kita keluar menghabiskan waktu di sebuah kafe atau resto lebih miripnya. Sofa berwarna abu-abu yang nyaman di area outdoor dekat kolam ikan. Sambil menunggu hidangan tiba aku mengeluarkan bingkisan kecil. Misimu adalah menraktirku entah juga dalam momen apa tepatnya, tapi misiku berbeda. Memberi hadiah adalah satu-satunya agendaku, yang aku tuntaskan dengan ditemani aroma segarnya daun tanaman gantung dan sepiring makanan Italia. Dompet coklat ada disana, ditambah sebingkai typography indah karya tangan seorang sahabat yang sudah aku pesan berminggu-minggu sebelumnya. Kau sangat terharu, sisi melankolismu seketika mencuat. Dalam posisi tulang leher sedikit merendah kau meminta maaf karena tak ada satupun hadiah yang kau siapkan. Kau hanya berjanji bahwa tahun depan, di bulan Desember, kau akan berikan satu hadiah balasan.

Di dompet itu aku jejalkan potongan kertas parfum dengan pesan-pesan tertentu. Anggap saja itu usahaku menjadi anti-mainstream dalam mengemas kartu ucapan. Di ruang transparan yang seharusnya berisi foto, aku isi kalimat doa supaya kamu segera menemukan sosok yang tepat mengisi ruang itu. Ruang hatimu dan ruang di dompetmu. Bisik itu tanpa ku sangka dikabulkan cepat oleh Pencipta. Kau kini berpasangan. Dengan motor baru kau ke kostku dan memberikan kabar secara tatap muka bahwa tambatan hati telah kau temukan dan pilihan telah kau tetapkan. Rona syukurmu tidak kalah cerah dari fajar pagi, sumringah yang gagal menyembunyikan bahagia. Aku turut bahagia walau ada bumbu cemas sulit diabaikan.

Beberapa bulan berjalan saat berbagai isu di televisi muncul hilang bergantian. Frekuensi komunikasi kita berkurang dan itu wajar. Persahabatan selalu berubah sedikit ataupun drastis saat salah satu sudah berpasangan. Kabar barunya adalah kau akan segera bertunangan. Undanganmu menorehkan senyum, sebab ternyata aku masih kau perhitungkan sebagai kawan dekat. Tanpa pikir panjang, aku lincah mencari tiket menuju pulaumu. Cuti juga aku ajukan untuk menyempatkan hadir melihatmu bertukar cincin untung-untung jika sekaligus dapat mengunjungi danau Toba, destinasi impianku.

Walau musim sudah berantakan karena pemanasan global, tapi gerimis rutin masih setia hadir di akhir tahun. Desember ini basah seperti tahun-tahun lalu. Sebagai tuan rumah kau mengganti kesediaanku merogoh kocek lebih untuk tiket pesawat dan gaji yang berkurang akibat cuti, dengan layanan prima. Kau menawarkan untuk menjemputku di bandara. Tapi... lagi-lagi ada sesuatu yang mengusikku. Entah apa itu. Aku tak berani menebak karena walaupun sesekali intuisiku tajam tapi di banyak waktu yang lain otakku begitu bising namun ompong tiada akurat. Tidak tahu lagi soal kali ini.
"Tunggu di lobby ya. Aku akan menjemputmu bersama Janice"
Begitu kalimatmu yang hampir tertelan berisik angin dan hujan. Antusiasme membanjiriku karena secara perdana akan berkenalan dengan Janice gadis pujaanmu, seseorang yang kau sebut 'anak gadis yang manis'. Tetap, secercah firasat penuh ambiguitas terus menjerit.

10 menit.. Setengah jam.. Hingga satu jam berlalu dengan penantian kosong di lobby bandara. Satu gelas choco-orange kesukaanku sudah habis namun kau serta Janice tak kunjung hadir. Inisiatifku mengambil handphone bertepatan persis dengan satu panggilan masuk dari nomor yang tidak aku kenal. Aku angkat tanpa sedikitpun berpikir, isak tangis terdengar dari seberang sana. Firasatku benar. Mamamu mengabari berita terburuk yang dalam sepersekian detik aku umpamakan sebagai ilusi semata.

Kau kecelakaan dan meninggal di perjalanan menjemputku. Hatiku remuk.

Diantar taksi, aku bergegas ke rumah sakit yang diinfokan mamamu dengan gontai. Di ruang itu aku melihat tubuh wanita, yang aku tahu pasti adalah Janice, penuh luka. Tidak banyak barang yang diselamatkan dari jenasahmu, hanya dompet yang aku kenal persis dan jam tangan yang sudah pecah. Handphonemu entah diambil siapa. Aku tidak menangis barang sedikitpun di senja itu, bukan berarti nihil sedih namun karena tidak cukup mampu. Kadang orang lupa bahwa meneteskan air mata juga butuh kekuatan. Aku tidak punya itu.

Aku tak peduli lagi soal cuti, dipecatpun aku acuh. Hanya satu inginku, terus bersama mamamu yang sendirian setelah kepergian papamu dan (calon) tunanganmu yang sedang memulihkan tubuh sekaligus jiwa yang tergoncang. Aku berusaha hadir utuh, memberikan kekuatan yang juga sebenarnya abstrak di sisiku. Pekan berganti bulan. Kami bertiga semakin erat: aku, mamamu, dan Janice.

Kesedihan itu menyatukan kami. Sebagai mama yang kehilangan anak, gadis yang kehilangan kekasih, dan aku yang kehilangan sahabat. Kami menjadi kompak dan saling menguatkan bahkan bertahun setelahnya.

Tanyakan kabar kami sekarang, maka aku beritakan kepadamu dengan lega: Mamamu yang sempat sangat kurus sudah doyan makan dan mau hadir lagi di arisan keluarga. Janice berlatih membuka hati, tanda dia sudah mulai pulih. Dan aku disini? Entah apa yang berubah drastis, tapi aku bisa tersenyum dan dengan bangga kukatakan bahwa sahabat terbaikku sudah menepati janji. Kau memberikanku hadiah dua wanita hebat di Desember ini sebagai ganti hadiah yang lupa kau siapkan tahun lalu.





Sekarang di dompet coklatmu itu aku taruh foto kami bertiga, karena aku tahu pasti inilah tiga wajah yang mengisi ruang hatimu. Sekarang pergilah dengan tenang, kami saling menjaga dan akan baik-baik saja..

You Might Also Like

4 komentar

  1. Ah jadi iri...

    Btw, sepertinya memang paling gampang memulai menulis cerpen dengan gaya seperti ini ya Dis. Sudut pandang orang pertama. Seolah kita sendiri yg menjadi pelakunya. Dan seringnya mungkin memang seperti itu.

    Koreksi dikit juga Dis, nulis danau Toba kayaknya lebih tepat jadi Danau Toba.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ayoo bikin juga bang. Nanti share link-nya. Tapi memang betul komenmu bang, menulis dengan sudut pandang pertama begini jauh lebih mudah buat pemula. Untuk koreksinya, sudah aku benerin.. Makasih bang :)

      Hapus

wanna say something? ^^