Welcome to our website !

Tentang Sesuatu

Segalau apapun, pasti tetap tentang sesuatu, entah Tempat atau Teman, entah Pendapat atau Pengalaman.

(bukan) Filosofi Kopi

By Kamis, Maret 31, 2016 , ,

Empat orang itu bergerombol di suatu sudut di ruang guru. Ada sesuatu yang menggerakkan mereka mendekat otomatis. Pemandangan itu mengingatkan saya tentang ibu-ibu perumahan yang langsung menyatu serempak antusias kala penjual sayur datang. Sesuatu yang memikat empat guru tampan itu masih tersembunyi di balik postur mereka yang cukup gagah. Tapi… setelah menghidupkan kepekaan indra, saya tahu! Saya kenal persis aromanya. KOPI! Dugaan saya tepat, salah satu kawan kami yang baru saja menikah membawakan kopi Bali sebagai buah tangan, sontak semua pecinta kopi di ruang guru langsung bersatu.


Konon kopi merupakan minuman favorit kedua di dunia setelah teh yang memang terkenal dengan bebragai khasiat dan mengandung nilai budaya tinggi di berbagai peradaban. Sebelum Starbucks yang kita kenal saat ini, kedai kopi sudah ada ratusan tahun lalu tepatnya di Turki dan bernamakan Kiva Han. Di Indonesia kedai kopi akrab disebut WarKop, sebuah tempat yang mempertemukan banyak orang dengan berbagai latar belakang, dan membuat mereka mendadak menjadi politikus atau ekonom handal mengkritisi pemerintah. Mungkin itu kesaktian kafein. Tidak heran Eric Warren dalam bukunya Geographical of Bliss menyimpulkan bagaimana budaya ngopi telah melahirkan banyak filsuf hebat di Eropa. Mereka membiarkan pikirannya berjam-jam liar ditemani kopi dan akhirnya menemukan banyak hal.

wajah kedai kopi pertama dunia. source: http://4.bp.blogspot.com


“Kon gawe susu ga?”


Seketika lamunan saya sebagai pihak kelima di cerita ini, buyar. Logat Suroboyo kental itu memancing saya untuk memperhatikan lebih detail keseruan yang ada. Pertanyaan itu memunculkan banyak respon, atau varian, tepatnya.


aku pake susu yang banyak, biar ga deg-deg-an
punyaku dikasih gula tapi ga mau susu
kopi asli itu ya hitam ya pahit, punya saya tanpa susu dan tanpa gula” begitu komentar seorang guru kurus yang memang pecinta kopi.


Nada mereka bertiga seumpama seorang customer yang sedang memesan kopi di barista handal. Saya seketika membayangkan jika kumpulan itu semuanya penyuka kopi susu atau satu suara menjadi fans kopi hitam pekat, agaknya proses minum kopi siang itu akan menjadi jauh lebih sederhana. Tidak perlu repot bertanya tidak pula rempong meracik. Namun siapa sangka justru dari perbedaan selera itu muncul dialog dan kelakar. Seperti saat jawaban “biar ga deg-deg-an” memancing tawa renyah. Pernyataan polos dari guru paling muda di sekolah kami itu memunculkan diskusi lalu konklusi bahwa efek kafein memang mirip dengan jatuh cinta. Seorang guru bahkan menambahkan, bahwa efek itu juga senada dengan perasaan dag-dig-dug saat bertemu dengan pak Polisi di jalanan yang sedang melakukan tilang. Kesimpulan yang nyeleneh sepaket dengan tawa canda ini tidak akan muncul tanpa adanya perbedaan selera. Dari dulu kewajiban manusia bukanlah menyederhanakan (apalagi meniadakan) perbedaan, namun justru membentuk harmoni di tengah berbagai perbedaan selera. Kita mencintai keteraturan bukan homogenitas. 

Lagipula… siapa yang berwenang menetapkan racikan kopi seperti apa yang terbaik? Semua punya seleranya sendiri. Untuk beberapa orang kopi memang tidak sepantasnya ditambah susu, tapi siapa yang menjadikan itu aturan mutlak?

Satu yang mutlak adalah prinsip bahwa kopi harus diseduh dengan air, sesederhana itu.
Kadang konflik-tidak-perlu justru terjadi karena sebagian orang memutlakkan yang relatif dan kekacauan sering muncul akibat merelatifkan apa yang mutlak. Seperti kurang kerjaan menikmati kopi tanpa air, pernah coba?

source: http://i.telegraph.co.uk

Empat rekan saya itu dengan selera kopinya masing-masing mengingatkan saya dengan prinsip ini:
In necessariis unitas (unity in necessary things)
in dubiis libertas (liberty in doubtful things)
in omnibus caritas (charity in all things)
Premis ketiga dari kutipan latin Augustine of Hippo ini menjadi simpulan terbaik bagi perenungan iseng nan tidak penting yang dimulai dari sebungkus kopi bubuk Bali: "untuk segalanya harus ada kasih!" Kasih yang mau menghargai perbedaan selera. termasuk kasih untuk menawarkan segelas kopi susu super nikmat bagi saya :) *nyengir bahagia*


*this writing is inspired by true event and dedicated to Mr. teguh, Mr. Samuel, Mr. Robin, Mr. Vincent, and Mr. Ivander.

You Might Also Like

0 komentar

wanna say something? ^^