(bukan) Filosofi Kopi
Empat orang
itu bergerombol di suatu sudut di ruang guru. Ada sesuatu yang menggerakkan
mereka mendekat otomatis. Pemandangan itu mengingatkan saya tentang ibu-ibu
perumahan yang langsung menyatu serempak antusias kala penjual sayur datang. Sesuatu
yang memikat empat guru tampan itu masih tersembunyi di balik postur mereka
yang cukup gagah. Tapi… setelah menghidupkan kepekaan indra, saya tahu! Saya kenal
persis aromanya. KOPI! Dugaan saya tepat, salah satu kawan kami yang baru saja
menikah membawakan kopi Bali sebagai buah tangan, sontak semua pecinta kopi di
ruang guru langsung bersatu.
Konon kopi
merupakan minuman favorit kedua di dunia setelah teh yang memang terkenal
dengan bebragai khasiat dan mengandung nilai budaya tinggi di berbagai
peradaban. Sebelum Starbucks yang kita kenal saat ini, kedai kopi sudah ada
ratusan tahun lalu tepatnya di Turki dan bernamakan Kiva Han. Di Indonesia
kedai kopi akrab disebut WarKop, sebuah tempat yang mempertemukan banyak orang
dengan berbagai latar belakang, dan membuat mereka mendadak menjadi politikus
atau ekonom handal mengkritisi pemerintah. Mungkin itu kesaktian kafein. Tidak
heran Eric Warren dalam bukunya Geographical of Bliss menyimpulkan bagaimana
budaya ngopi telah melahirkan banyak
filsuf hebat di Eropa. Mereka membiarkan pikirannya berjam-jam liar ditemani
kopi dan akhirnya menemukan banyak hal.
wajah kedai kopi pertama dunia. source: http://4.bp.blogspot.com |
“Kon gawe susu ga?”
Seketika
lamunan saya sebagai pihak kelima di cerita ini, buyar. Logat Suroboyo kental
itu memancing saya untuk memperhatikan lebih detail keseruan yang ada.
Pertanyaan itu memunculkan banyak respon, atau varian, tepatnya.
“aku pake susu yang banyak, biar ga deg-deg-an”
“punyaku dikasih gula tapi ga mau susu”
“kopi asli itu ya hitam ya pahit, punya saya tanpa susu dan tanpa gula” begitu komentar seorang guru kurus yang memang pecinta kopi.
Nada mereka
bertiga seumpama seorang customer yang
sedang memesan kopi di barista handal. Saya seketika membayangkan jika kumpulan
itu semuanya penyuka kopi susu atau satu suara menjadi fans kopi hitam pekat,
agaknya proses minum kopi siang itu akan menjadi jauh lebih sederhana. Tidak
perlu repot bertanya tidak pula rempong meracik. Namun siapa sangka justru dari
perbedaan selera itu muncul dialog dan kelakar. Seperti saat jawaban “biar ga deg-deg-an” memancing tawa
renyah. Pernyataan polos dari guru paling muda di sekolah kami itu memunculkan
diskusi lalu konklusi bahwa efek kafein memang mirip dengan jatuh cinta.
Seorang guru bahkan menambahkan, bahwa efek itu juga senada dengan perasaan
dag-dig-dug saat bertemu dengan pak Polisi di jalanan yang sedang melakukan
tilang. Kesimpulan yang nyeleneh sepaket
dengan tawa canda ini tidak akan muncul tanpa adanya perbedaan selera. Dari
dulu kewajiban manusia bukanlah menyederhanakan (apalagi meniadakan) perbedaan,
namun justru membentuk harmoni di tengah berbagai perbedaan selera. Kita
mencintai keteraturan bukan homogenitas.
Lagipula… siapa
yang berwenang menetapkan racikan kopi seperti apa yang terbaik? Semua punya
seleranya sendiri. Untuk beberapa orang kopi memang tidak sepantasnya ditambah
susu, tapi siapa yang menjadikan itu aturan mutlak?
Satu yang
mutlak adalah prinsip bahwa kopi harus diseduh dengan air, sesederhana
itu.
Kadang
konflik-tidak-perlu justru terjadi karena sebagian orang memutlakkan yang relatif
dan kekacauan sering muncul akibat merelatifkan apa yang mutlak. Seperti kurang
kerjaan menikmati kopi tanpa air, pernah coba?
source: http://i.telegraph.co.uk |
Empat rekan
saya itu dengan selera kopinya masing-masing mengingatkan saya dengan prinsip
ini:
In
necessariis unitas (unity in necessary things)
in dubiis
libertas (liberty in doubtful things)
in omnibus
caritas (charity in all things)
Premis ketiga dari kutipan latin Augustine of Hippo ini menjadi simpulan terbaik bagi perenungan iseng nan tidak penting yang dimulai dari sebungkus kopi bubuk Bali: "untuk segalanya harus ada kasih!" Kasih yang mau menghargai perbedaan selera. termasuk kasih untuk menawarkan segelas kopi susu super nikmat bagi saya :) *nyengir bahagia*
*this writing is inspired by true event and dedicated to Mr. teguh, Mr. Samuel, Mr. Robin, Mr. Vincent, and Mr. Ivander.
0 komentar
wanna say something? ^^