Welcome to our website !

Tentang Sesuatu

Segalau apapun, pasti tetap tentang sesuatu, entah Tempat atau Teman, entah Pendapat atau Pengalaman.

Sarjana HI kok jadi Guru

By Minggu, Januari 31, 2016

Saya tahu jelas, tidak semua pertanyaan perlu dijawab dan pandangan miring melelahkan untuk ditanggap. Dan... saya paham benar beberapa orang bertanya bukan karena peduli, bukan pula disponsori kerinduan melihat lebih jauh sebuah kisah dari sudut pandang orang pertama, namun murni sekedar penasaran.

Bagaimanapun saya ingin tetap menjawab banyak tipe pertanyaan semacam ini "anak HI kok jadi guru akhirnya? Ga eman?" Atau sebuah tanda tanya yang memojokkan "magang di luar negeri kok ujung-ujungnya (cuma) jadi guru?"

Di akhir Januari ini tepat 3 tahun lalu saya mulai melakukan magang di KBRI Bangkok, dan saat ini bukannya di Kemenlu ataupun KBRI tertentu, saya memilih menjadi guru. Aneh kah?



Perjalanan hidup tidak selalu terduga, bukan?! Dimulai dari guru paruh waktu empat bulan, satu tahun menjadi guru penuh waktu, satu tahun penuh menganggur, hingga saya menyadari bahwa ini panggilan hidup.

Pernah satu kali saudara Riyan bertanya hal senada, dan saya menangis seketika merasa terpojokkan dan sekelibat hina. Saya bersembunyi di punggung kekasih saya itu menutupi sudut mata yang basah. Riyan dengan kharisma penuh kasih melindungi dan mewakili saya memberi jawab: "iya soalnya itu panggilannya adiss dan disitu dia nyaman, mbak."

Kalimat yang sama akan saya berikan kepada semua orang yang terheran kenapa seorang sarjana HI memilih menjadi guru: rasa nyaman dan wujud ketaatan akan panggilan.

Sekali lagi.. Jika ada yang mau bertanya kenapa saya jadi guru, hanya itu jawabannya yaitu karena saya mau taat ke Pencipta dan itu membuat saya bahagia. Tidak kurang tidak lebih. Kalau panggilan hidup bisa kita tawar-tawar saya juga tidak akan memilih bidang yang membuat saya harus menampung banyak pandangan sinis ini. Saya akan memilih panggilan hidup sebagai presiden atau setidaknya di dunia perpolitikan dan mengambil andil signifikan dalam pemerintahan Indonesia yang semrawut ini. Tapi setelah satu tahun yang rumit saya paham bahwa ruang kelas adalah ladang yang Tuhan percayakan.

Lalu apakah eman sudah kuliah HI namun berujung menjadi guru? Sekali-kalipun tidak. Saya yakin pasti bahkan urusan sesederhana tanggal lahirpun Dia atur, maka keputusan dan kesempatan sebesar kuliah di HI Unair samasekali bukan kebetulan. Bertemu banyak dosen yang penuh wawasan, membaca banyak buku kelas dunia, bertemu banyak orang hebat, dan pastinya berlatih menulis. Tidak sedikitpun saya sesali ini.

Begitu juga soal magang di luar negeri. Magang di KBRI dan menjadi guru, adalah dua hal yang berbeda dan tidak relevan disandingkan. Setidak relevan kalimat "kamu pernah mendaki gunung kok sekarang jadi manager fashion retailer" #nahloh Tidak harus toh semua keputusan langsung berhubungan dengan tujuan hidup ini. Misalkan seorang dokter apakah tidak boleh memiliki pengalaman mengajar? Dan tidak selalu kan yang dulu aktif di LSM penghijauan harus menjadi menteri lingkungan hidup. Ketika saya melihat kawan saya yang dulu lulusan Harvard Model United Nation kini bekerja di bidang yang sepenuhnya berbeda, tidak ada sedikitpun pandangan aneh. Artinya, tidak seharusnya kita menjadi orang yang memaksakan satu pengalaman tertentu harus berkaitan erat dengan tujuan masa depan. Bukankah kita justru harus terbuka dengan banyak pengalaman? Karena akhirnya pengalaman itu selalu memperkaya, apapun pekerjaan kita akhirnya.

Orang yang berkata 'eman' hanyalah mereka yang menyempitkan hidup ini sebatas garis normatif "jika-maka". Jika kuliah hukum maka harus jadi notaris. Jika kuliah sastra maka minimal jadi penulis. Padahal hidup tidak sesempit dan selurus itu. Tapi justru disitulah keindahannya, penuh kelokan misterius yang membawa banyak pesan.

Menjelaskan hal inipun pasti masih memiliki celah untuk dihakimi. Tapi omongan orang tidak menambahkan sehastapun dalam hidup saya. Penjelasan ini akhirnya bisa terang-terangan saya bagi adalah karena saya sudah berdamai dengan semua pandangan miring semacam itu. Tanda bahwa kita sudah tuntas memaafkan adalah dengan keberanian untuk me-reka-ulang kejadian yang membawa luka. 

Awal saya memilih menjadi guru saya terus menyembunyikan rasa tidak aman dibalik kalimat 'cuma satu tahun kok'.  Tapi sekarang saat saya mendalami profesi ini, saya tidak peduli lagi soal durasi. Apalagi setelah keluarga kekasih saya senada berkata 'udah dis, terus jadi guru aja'. Kalimat super sederhana yang mengejutkan karena awalnya mereka terus menuntut saya memiliki pekerjaan yang lebih 'keren'. Bagi saya pribadi perubahan hati mereka hingga memberi dukungan semacam itu adalah sebuah perpanjangan tangan restu-Nya. Dan sama seperti banyak aspek dalam hidup, Restu Tuhan itu lebih dari cukup. Kali ini restu itu membuat saya mantab menenggelamkan jiwa di dunia pendidikan.

Saya sarjana Hubungan Internasional Unair dan sekarang saya seorang guru, saya bangga dengan itu :)

Tidak ada penjelasan tambahan. Ini bukan keanehan. Ini keyakinan, kenyamanan, ketaatan, dan keputusan penuh kesadaran. 

You Might Also Like

2 komentar

  1. Hi claudia, Lega sekali rasanya saya membaca postingan anda. I know exactly how you feel karena saya juga mempunyai jejak yang sama dengan kamu. Saya adalah seorang guru lulusan hubungan internasional. Perih rasanya hati ini disaat orang menyiyir dengan kalimat "kok lulusan HI -Kelas internasional pula- kerja nya guru?". I can't do anything bout it because I do feel that this job is my calling too. I love being a teacher. Some people just don't know how lucky it is to work in a field you loved. Go claudia!

    BalasHapus

wanna say something? ^^