Telapak Kaki Imut ku
Kampung halaman adalah sebutan bagi tempat kemana hati ini berpulang. Berupa sebuah ruang aman untuk lari dari hiruk pikuk tempat perantauan. Seringnya dia hanyalah alasan bermalasan menikmati nyaman rumah, tapi kali ini saya ingin menjelajah. Tak harus selalu jauh, menguak keindahan alam atau memenuhi kepuasan jalan-jalan bisa dimulai dari kota tempat kita bertumbuh besar. Itulah perjalanan kali ini.
Seperti biasa tawa selalu mengisi perjalanan, di sela-sela obrolan hangat khas kawan lama. Sebagian karena kalimat-kalimat humor dengan logat yang kental. Sisanya murni disponsori oleh rasa geli dari kekonyolan lampau kala masih bersekolah.
Air terjun di daerah perbatasan Lumajang dan Malang merupakan pilihan pemuas kaki gatal kami. Sebuah objek wisata yang membuat kami berempat rela menempuh jarak cukup jauh dengan medan yang relatif ekstrim. Nama tempatnya adalah Coban Sewu, jika diartikan dalam bahasa Indonesia maka bermakna air terjun seribu. Tidak mengherankan mengapa penduduk memberi nama demikian sebab di satu lokasi yang sama berdiri kokoh sangat banyak jalur vertikal untuk air jatuh dengan akselerasi tinggi.
Setelah puas mengabadikan dalam jepretan ponsel, kaki kami bergegas menelesuri rute menuju goa tetes. Satu perjalanan, dua objek wisata didapatkan. Cerita ini baru benar-benar dimulai disini.
Sumber foto: jawapos.com Sebagai gambaran kondisi terjal yang dihadapi di Coban Sewu |
Hutan, jembatan bambu buatan warga, dan susur sungai, adalah menu pembukanya. Uji nyali sesungguhnya adalah saat kami harus menapakkan kaki di bebatuan licin tepat dimana air mengalir. Tebing tinggi disana hanya sebentar mencuri perhatian, selebihnya saya hanya terpengeranga heran. Untuk sepersekian detik saya harap itu hanya sebuah rute cadangan dan adalah opsi lain yang lebih mudah, tapi sama seperti dalam perjuangan mencapai impian kadang jalan yang tak mulus itu adalah pilihan tunggal. Dengan kaki yang tak terlalu piawai satu persatu batu saya lewati hingga posisi semakin tinggi. Di setiap trek curam tersedia tali karet berwarna hitam pekat untuk membantu pengunjung berpegangan. Dengan jersey barcelona, celana jeans panjang warna hitam pudar, tas ransel kucel, dan sandal jepit kegedean, saya memaksa diri untuk tidak terlalu merepotkan ketiga teman saya. Air keringat bercampur dengan tetes air alam, mereka membawa pergi sedikit sisi manja saya, namun tetap dibumbui rasa takut yang khas.
Setelah ada di lokasi yang landai, tiga teman saya bersantai menikmati rokok mereka. Saat itu saya menoleh kembali ke susunan batu bersudut lebih lancip dari 45 derajat yang awalnya saya sinonimkan dengan kemustahilan. Jika dipikir, saya samasekali bukan penakut terhadap hal-hal seperti itu. Katakanlah wahana penguji adrenalin, hampir semua siap saya sambut. Tapi dibebatuan itu keberanian saya sempat menguap. Selagi teman saya masih asik dengan tembakau gulungnya, saya menemukan alasan sederhana: kepercayaan. Ketika saya naik wahana permainan pengadu adrenalin kebanyakan saya menikmati tanpa rasa takut sebab saya tahu persis sekaligus percaya bahwa setiap alat telah diperhitungkan oleh kaum ahli dan telah teruji aman. Di Coban Sewu, kedamaian itu absen sebab menyadari bahwa tali karet yang tersediapun tak terjamin, tidak ada yang tahu siapa yang membuatnya dan saya tidak cukup yakin apakan itu kuat untuk dijadikan pegangan.
Kepercayaan adalah faktor penting.
Dari perjalanan super mendadak hari itu, saya memahami makna dari sebuah quote terkenal "bird sitting on a tree is not afraid of the branch breaking, because its trust is not on the branch but on its wings." Menyelesaikan trek itu adalah simbolis bahwa saya mampu menaruh kepercayaan pada tapak kaki saya sendiri bukan pada seutas tali karet tersebut.
Rute yang sulit ditambah sumber daya yang meragukan, kadang kita jumpai dalam hidup ini. Di saat seperti itulah kita sedang diuji, siapakah yang sedang kita andalkan? Sesuatu di luar kita yang serba tidak pasti atau justru kekuatan yang diam-diam terkumpul dalam diri kita sendiri.
Setelah mengambil durasi merenung singkat, energi saya kembali terkumpul untuk meneruskan perjalanan pulang. Dengan paha penuh asam laktat, saya sempatkan menunduk lalu berbangga akan sepasang telapak kaki mungil ukuran 36 yang telah bekerja keras itu dan membuktikan bahwa saya tak salah telah percaya pada mereka. Saya berjanji akan memanjakan mereka dengan air panas sesampainya di rumah, saya tahu mereka membutuhkan itu :')
0 komentar
wanna say something? ^^