Makam atau Garasi (?)
Seorang kakek tua dengan deret panjang angka di rekeningnya memutuskan untuk membeli sepetak tanah. Seperti biasa, tetangga-tetangga yang sirik mulai mencibir. "Si kakek itu sudah tua, pasti tanah itu dipersiapkan untuk makamnya kelak." Begitu ucap seorang ibu yang berlebihan berat badan sekaligus berlebihan prasangka. Namun keputusan sang kakek tampan itu sepenuhnya berbeda, dia mengeluarkan ekstra uang untuk menjadikan sepetak tanah tersebut sebagai garasi untuk mobil klasik barunya. Di meja makan saat melahap santapan malam, sang cucu perempuan dengan polos menanyakan motif pendirian garasi baru itu. Dengan senyum bersahaja lelaki beruban itu menjelaskan "aku bisa saja menggunakan tanah ini untuk makamku, tapi itu berarti aku yakin akan segera meninggal dunia. Sedangkan aku ingin hidup lebih lama lagi. Aku memilih membuat garasi karena aku percaya dan berharap masih ada cukup waktu untukku menambah deretan koleksi. Sebuah kejenakaan besar saat kita berharap hal baik namun tindakan kita menunjukkan hal sebaliknya."
Manusia senantiasa diperhadapkan pada pilihan untuk mengambil tindakan, itulah keniscayaan. Itu sudah fakta lawas bukan? Namun sadarkah kita bahwa setiap pilihan kita selalu didasari akan dua kemungkinan tujuan. Seperti analogi sang kakek, satu pilihan yang diambilnya: membeli tanah. Namun motif pemanfaatannya menjadi jauh berbeda. Pertama adalah menyiapkan untuk makam, yang mencerminkan ketakutan bahwa tidak ada cukup lagi waktu baginya menikmati hidup. Sebuah tindakan was-was akan fakta bahwa usianya sudah semakin mendekati ajal. Sedangkan yang kedua menunjukkan siratan harapan bahwa dia masih memiliki cukup waktu untuk menikmati hidup lewat deretan mobil antiknya. Satu tindakan yang sama, mengandung dua makna motif yang sepenuhnya bertolak belakang: ketakutan atau harapan.
Ketika saya memilih mempertahankan Riyan itu bisa saja karena saya takut tidak ada lelaki lain yang lebih baik dari dia, namun faktanya saya mempertahankan dia karena saya punya harapan baik untuk masa depan kami bersama.
Saat kita memilih mengalokasikan dana khusus membeli sebuah gadget baru, itupun didasarkan dua garis besar motif. Ketakutan dikatakan ketinggalan jaman atau harapan bahwa segala akses kemudahan teknologi akan mempermudah hidup kita.
Saat kita memilih giat menyelesaikan skripsi atau tesis, tak jauh berbeda halnya. Itu antara kita takut malu tertinggal teman seangkatan atau karena kita memang optimis setelah gelar sarjana/master didapat banyak peluang akan terbuka lebar.
Sudah fakta yang populer bahwa kita terus dan terus memilih sesuatu, tapi yang jarang kita ingat adalah kenapa kita memilih hal itu? Serangkaian tindakan yang menindaklanjuti pilihan sangat bergantung pada motif tersebut. Ketika saya membuang kesempatan double degree, itu sepenuhnya didasarkan pada ketakutan. Sebagian orang berkata itu hal realistis, titik diri menyadari kemampuannya. Tapi kemudian terungkap bahwa itu murni sisi pengecut saya yang menolak untuk melakukan usaha ekstra.
Hampir selalu optimisme disinonimkan dengan utopis dan ketakutan dilabeli kata realistis. Seperti si kakek, entah cucu, kerabat, atau tetangganya pasti ada yang terheran dan menertawakan pilihan membangun sebuah garasi. "Wong wes tuwek." Begitu mungkin isi cibirannya. Satu-satunya yang tahu arti harapan dan sukacita soal garasi dan koleksi itu hanyalah dia seorang. Begitu juga kita. Hampir setahun jatuh bangun di pergumulan pekerjaan, saya membuktikan mitos bahwa kadang orang lain cenderung menertawakan pilihan kita yang berlandaskan harapan. Mereka kadang tanpa sengaja melemparkan kosa kata yang merujuk pada ejekan pada kita, murni karena kedangkalan mereka memahami motif atas pilihan tersebut. Tak heran jika Paulo Coelho pernah berucap 'you dont need explain your dream, it belongs to you.' Selama kita tahu persis apa pondasi pilihan kita, suara lain tidaklah terlalu utama.
Penting untuk tegas memilih, namun juga sangat penting untuk memastikan bahwa kita sedang berdiri di batu harapan dan bukan justru berjinjit di tepi jurang ketakutan. Setiap pengalaman pahit yang sesekali saya sesali kebanyakan disponsori tindakan yang mendustai motivasinya. Dalam angan saya berkata percaya, namun tindakan justru mengarah ke hal sebaliknya. Seperti kata kakek, itu sebuah kejenakaan bukan?
"May our choice reflects our hopes not our fears"
Ketika usai memilih sesuatu, tanyakan kembali pada diri kita "apa tindakanku selanjutnya?
Apakah aku sedang mempersiapkan makam ataukah sedang membangun garasi saat ini?"
0 komentar
wanna say something? ^^