Kami ini (hanya) Relawan.
Pagi itu saya buka dengan otak yang berpikir keras hampir semalaman. Menimbang dan memperkirakan banyak hal. Niat saya untuk terjun di kegiatan yang digagas Kemenko Kemaritiman ini masih saja belum utuh, walau sudah jelas saya diperhitungkan sebagai peserta disana. Muncul di permukaan sedikit keraguan, mengingat kondisi fisik yang sempat drop akibat asam lambung yang melunjak. Hanya beralaskan rasa penasaran dan bernaungkan keberanian, kesempatan mengikuti ekspedisi ini akhirnya saya sambut hangat. Alasan kuat lain yang mendorong saya adalah fakta bahwa saya akan segera kembali menjadi guru per 1 Juli, saya HARUS datang pada para siswa dengan oleh-oleh cerita yang nyata tentang Indonesia. Optimisme dan sedikit kedisiplinan mengatur jam makan semoga cukup untuk menjauhkan saya dari nyeri lambung yang sungguh menyiksa.
Tanjung perak adalah titik saya bertemu dengan berbagai kawan dari segala penjuru tempat. Untuk sebagian orang, mendapatkan teman baru sama berharganya dengan mendapati rekening terisi baris angka panjang. Saling berkenalan, adalah kegiatan pertama kami sembari menanti kepastian jam tentang kapal yang akan menjadi sarana bagi 37 orang mewujudkan kerinduan untuk mengabdi.
Seperti saya singgung di tulisan sebelumnya, sedikit sentuhan keajaiban surga membuat saya dapat mengikuti sebuah kegiatan yang menjadi manifestasi pemenuhan mimpi saya: berlayar dan mengabdi. Nama kegiatannya adalah Ekspedisi Nusantara Jaya, yang berlandaskan misi menjangkau daerah terluar Indonesia, terkhusus pulau-pulau kecilnya. Ada banyak hal yang terjadi di luar ekspektasi, maklum kegiatan ini memang perdana dilaksanakan pun oleh kemeknnterian yang masih tergolong balita. Hingga satu titik saya dan para kawan lainnya sadar bahwa kami bukan sekedar 'peserta' disini namun merupakan kumpulan orang bersemat sebutan 'relawan'. "Relawan ya harus rela," begitu celetuk seorang bersahaja bernama Vita yang kebetulan juga sekelompok dengan saya. Kerelaan itu tentang kesabaran akan jadwal kapal perintis yang serba tak jelas juga tentang janji-janji soal fasilitas. Akibat serba tak pasti, peserta menyurut dari 98 menjadi hanya 37. Drastis bukan?
Empat huruf saja: RELA, itu sebuah perasaan sederhana namun tidak mudah ternyata. Untungnya saya dan 36 orang lainnya cukup beruntung diberi kesempatan mempelajarinya bersama.
Awal episode seminggu luar biasa dimulai oleh sebuah latihan rasa rela. Saya kira ini appetizer yang tidak terlalu buruk, karena pengabdian kadang memang sinonim dengan pengorbanan. Dan ... Bukankah semua pengorbanan selalu menuntut kerelaan?
0 komentar
wanna say something? ^^