Benang Merah 9 bulan: Aku Malu (kembali) Menjadi Guru
Minggu depan tepat 9 bulan saya menjadi pengangguran. Usia pas untuk seorang wanita hamil melahirkan. Di durasi ini banyak kisah tersimpan, saya berjanji membagi rinci kala semua terjelaskan benang merahnya. Sekarang adalah waktu tepat saya membagi seberkas kisah membosankan ini.
Keputusan resign dari pekerjaan yang super nyaman harus saya ambil, katakanlah ini bentuk kenekadan seorang pemudi tak tahu diri. Awalnya saya kira ini adalah strategi, terungkap kemudian ini wujud dari ingkar pada panggilan.
Di bulan-bulan awal saya menjadi pencari kerja, telinga disegarkan dengan kabar peluang untuk bergabung di sebuah lembaga nirlaba untuk menjadi tenaga pendidik di pedalaman. Panggilan ini merupakan titik terang sekaligus penghiburan besar yang tepat sesuai keinginan. "I make my dream come true" kalimat ini ingin segera saya tulis di segala sosial media. Saya menunggu jadwal wawancara dengan antusias sembari mempersiapkan segalanya, tanpa sibuk lagi membagi lamaran kerja. Antusiasme menanti kapan dapat mulai pergi ke wilayah Timur Indonesia untuk membagi ilmu. Seminggu.. dua minggu.. telepon lanjutan tak kunjung datang. Singkat cerita, entah saya dibohongi atau apa, hal itu kandas. Itulah momen terendah saya yang pertama selama menjadi jobseeker. Dalam hati saya menuduh Tuhan sedang mempermainkan saya. Bagaimanapun sangat lebih baik jika panggilan itu tidak pernah datang, pikir saya dalam angan. Ini adalah kabar PHP alias Pemberi Harapan Palsu, tanpa kabar itu saya akan tetap giat mencari kerja tanpa terbuai ke langit ketujuh. Tanda tanya besar saya ajukan dengan nada marah.
Waktu berlalu dan saya sudah pulih dari kecewa. Fokus mempersiapkan tes CPNS adalah strategi saya di sekitar bulan November itu. Di tengah mempersiapkan diri untuk persaingan ketat menjadi abdi negara, saya lagi-lagi absen dari aktivitas menyebar lamaran. Singkat cerita, secara ajaib saya lolos hingga tahap akhir. Tahap demi tahap adalah proses saya semakin menginginkan ini. Setelah dua bulan menunggu –durasi yang cukup lama- rasa gelisah penantian tergantikan dengan air mata. Saya hanya ada di cadangan. Dibutuhkan lebih dari keajaiban untuk membuat saya benar-benar bisa bekerja disana. Tangisan saya di satu hari menjelang hari kasih sayang itu disponsori bukan hanya oleh kesedihan tapi juga amarah, mengapa harus dibawa sampai akhir jika akhirnya gagal? Waktu, dana, dan tenaga terlanjur dihabiskan disini dan berujung percuma.
Tak selang lama, panggilan dari satu tempat yang memang saya inginkan sejak saya lulus kuliah, datang. World Vision Indonesia persisnya. Ini adalah penghiburan luar biasa. Satu per satu tahap saya lewati. Hati saya bersemi, karena jika ini tempat yang Dia pilih, maka saya akan menjalaninya dengan bahagia. Kegagalan CPNS akan menjadi sepenuhnya masuk akal. Ternyata benar, saya dibawa hingga ke Tangerang. Di tengah berbagai polemik pergantian jadwal dari institusi tersebut, saya memperpanjang kesabaran. Selalu ada ruang cukup di hati bagi sesuatu yang sungguh kita ingini. Kesempatan ini benar-benar bisa memulihkan hati saya dari luka sekaligus membuat impian saya menjadi nyata. Berkunjung ke kantornya adalah momen saya makin jatuh cinta. Ora et labora saya terapkan maksimal di tahapan akhir konversi mimpi jadi nyata.
Sekembalinya ke Surabaya, sebuah email dari tim recruitment masuk ke inbox surel saya. Tanpa pikir panjang, dengan antusias saya membuka. Hanya berselang beberapa hari dari tes, hasil final telah keluar. Disana tertulis bahwa saya tidak dapat mengisi posisi tersebut. Saya baca ulang dan baca ulang, berharap ada kesalahan baca. Namun ternyata benar, satu lagi penolakan besar saya alami. Berbeda dengan kabar CPNS yang membuat saya langsung menumpahkan hujanan air mata dan menghampiri banyak kawan, kali itu saya hanya terdiam dan merahasiakannya. Saya duduk dan berdoa. Apa inti semua ini?
Di antara berbagai lamaran, hanya sedikit yang berlanjut pada panggilan. Di antara beberapa proses seleksi HANYA DUA yang sampai ke tahap akhir: CPNS dan WVI. Keduanya adalah point impian saya. Dua biji momentum membuat saya mencicipi kedua gedung tempat saya ingin berkarya namun tanpa kesimpulan bahwa mereka menerima. Merasa bodoh dan kacau. Doa usaha agaknya tak kurang-kurang saya haturkan. Kecewa jelas ada, setelah dibawa ke awan karena dua kerinduan dibimbing hingga tahap akhir, lalu dihempaskan ke dasar laut saat berujung pada penolakan. Sungguhkah seburuk itu saya? Tapi di sela itu diri hina ini meminta dengan sangat untuk rendah hati menyediakan ruang di pikiran untuk mengolah apa inti semua ini. Mungin dan hampir pasti ada sesuatu yang terlewat.
Bagaimanapun TUHAN ITU BAIK, hanya tidak boleh saya kotakkan kebaikanNya dengan apa yang nyaman versi saya. Dalam hening, saya memutar kembali perjalanan pencarian kerja ini. Sebuah proses yang normalnya dialami fresh usai lulus kuliah. Tepat setelah resign dari profesi guru, tawaran pertama yang hadir adalah menjadi guru namun di sekolah lain dan jenjang yang juga berbeda. Kesempatan ini tanpa melewati lamaran senormalnya, sebab sang kepala sekolah sendiri yang memberi tawaran. Saya menolak dengan santun saat itu, karena saya tahu rencana saya ke depan. CPNS, Berkarya di Pedalaman, dan Menulis. Hanya tiga itu. Kembali menjadi guru bukanlah opsi. Sore itu saya tergelitik, jangan-jangan apa yang paling saya ingkari merupakan petunjuk paling nyata. Ah tidak mungkin, saya buyarkan lamunan. Saya tidak ingin kembali menjadi guru. Tegas saya dalam logika.
Durasi perenungan itu berlanjut dengan mengakui bahwa menjadi guru di satu tahun saya sebelumnya merupakan pengalaman luar biasa. Seutas senyuman hadir. Ditengah penolakan saya terhadap pengulangan profesi ini, saya melihat diri sendiri sebagai pribadi yang sudah mengecilkan peran yang telah menghadirkan banyak hal indah dalam 16 bulan kehidupan saya. Dicintai banyak murid dan dapat dianggap berjasa karena membagi ilmu. Saya rasa ini cukup keren. Rasa senang menjadi guru tertutupi rasa malu. Kembali menarik mundur, pikiran ini ternyata mulai mengusik sejak satu malam di Jogja kekasih saya mengatakan dengan jujur bahwa ayahnya menginginkan menantu dengan pekerjaan yang keren. "Oke, waktunya cari pekerjaan yang lebih kece" itulah kira-kira tekad dan kesimpulan seorang Claudya malam itu, demi dapat menjadi menantu idaman sang calon mertua. Akhirnya di paragraf ini air mata saya tumpah, bukan menyalahkan Riyan apalagi ayahnya, tapi murni menertawakan diri sendiri yang dengan mudah mengingkari kebahagiaan demi kepentingan orang lain. Dan makin miris kala tahu bahwa saya telah tidak taat pada Sang Pemilik saya hanya untuk menyenangkan manusia lainnya.
Paradigma bahwa menjadi guru bukanlah hal keren semakin tertanam saat melihat teman-teman sejurusan saya. BPJS, Kemenlu, MT Danone, berbagai Bank besar, dan sebagainya. Seketika saya malu, merasa kecil, dan terkesan gagal membanggakan. Di negara ini atau mungkin masih banyak negara lain, profesi guru bukanlah hal bergengsi, bukan begitu? Sampai suatu siang saya menghampiri sahabat saya yang bijak, Sinta, untuk menceritakan ini. Dan nasihatnya saat itu adalah: sawang sinawang. Semakin kita melihat dan membandingkan, maka tidak akan ada habisnya. Lebih baik fokus melakukan yang terbaik sesuai dengan apa yang diminati. Saya sepakat.
Mungkin kesempatan CPNS dan MT WVI hingga tahap akhir tidak lain sebagai hadiah agar saya dapat mencicipi dua gedung bangunan tempat impian saya berkarya, dua kesempatan saya bertemu sahabat saya Sinta (karena saya selalu menginap disana) dan menambah kesempatan berkencan dengan pacar saya. Entahlah, benar atau tidak. Sang Pencipta selalu layak akan prasangka baik kita. Ini adalah kebetulan yang menyakitkan bagaimanapun. Saya terlampau yakin, Dia tidak pernah berniat jahat dan sekaligus percaya Dia tidak akan nyasar menempatkan anak-Nya. Jangan-jangan ini adalah caraNya mengingatkan ke saya yang keras kepala ini bahwa Keinginan dan Rencana akhirnya kalah dengan apa yang dinamakan PANGGILAN.
Dengan berusaha lembut saya mengoreksi diri, mungkin ini adalah konsekuensi ketidaktaatan saya dari awal. Perjalanan panjang menjadi jobseeker ini telah menumpaskan tabungan dari 16 bulan saya bekerja. Pahitnya, kebanyakan dialokasikan untuk pergi ke Ibu kota beberapa kali untuk DUA proses seleksi itu: CPNS dan WVI.
Sampai detik kala mengetik ini, saya masih berusaha membuktikan bahwa saya tidak harus kembali menjadi guru. Di tengah keberdosaan, saya masih ingin ingkar lalu ngotot sebenarnya ada ladang SELAIN PENDIDIKAN yang bisa saya garap. Kalaupun saya menyadari bahwa ini adalah ladang yang bisa membahagiakan hati, saya masih ketakutan dengan rasa malu dari para murid saya dahulu, rekan kerja, teman sejurusan, dan banyak orang lain. Mama dan cece, dua orang yang paling saya repoti justru tidak saya khawatirkan. Semata karena saya paham persis bahwa mereka akan selalu memberikan dukungan tanpa padam, apapun pekerjaan yang saya pilih nantinya. Ketakutan karena ketidakmampuan membanggakan justru tertuju pada orang tua Riyan. Jika saya menjadi guru, nantinya saya perlu usaha ekstra untuk menjadi (calon) menantu yang membanggakan. Pikiran ini mengganggu tidur lelap saya.
Sembari memikirkan tentang apa arti panggilan, memori saya memunculkan seorang alumni Persekutuan kampus yang pernah bercerita tentang hal senada. Masih ingat persis dia mengatakan bahwa kita tidak bisa mengelak dari sebenar-benarnya panggilan kita. Lewat belokan-belokan tajam sekalipun Dia bisa menarik kita kembali ke ladang yang Dia siapkan, enak atau tidak enak bagi kita. Saya tidak ragu dan justru mengagumi hal itu. Yang saya tidak terima adalah jika panggilan saya ternyata di bidang yang dianggap tidak keren dan tidak menghasilkan banyak pundi rupiah. Faktanya adalah, saat saya sering mengingatkan orang lain untuk taat, saya sendiri sulit melakukannya *tawa miris*
Setelah perenungan berakhir, saya berusaha menguji hipotesis bahwa saya memang dipanggil di dunia pendidikan. Tidak baik menjadi manusia yang hanya terus berpikir tanpa bertindak. Kata Kevin DeYoung, di bukunya Just Do Something, perlu tindakan untuk terus memperjelas apa kehendakNya dan bukan hanya duduk diam merenung. Saya belajar taat dengan melamar ke sekolah-sekolah. Setiap hasil yang keluar akan jadi petunjuk nyata untuk membuktikan kebenaran hipotesis awal. Pertama kalinya dalam 9 bulan, strategi saya mulus. Upaya saya memurnikan hipotesis menunjukkan titik terang. Empat dari enam sekolah yang saya lamar merespon dengan sangat baik. Bagi saya ini adalah tanda seru besar dari Pencipta. Saya sedang ada di H-1 memilih antara dua sekolah di Surabaya. Antara galau, malu, dan senang berpadu berbalutkan satu perasaan khas hasil ketaatan: damai sejahtera. Dimanapun itu, saya ingin menjalaninya dengan kemantaban hati karena saya tahu ini adalah kepercayaanNya. Saya ingin menjadi guru yang memiliki hati terpanggil sebuah pembeda besar dari seorang Miss Adiss yang dahulu.
Durasi panjang pontang-panting pergumulan ini bagaimanapun masih layak disyukuri. Masa jobless ini membuat saya memiliki banyak waktu untuk keluarga saya, bersama mama yang sendirian di rumah dan menjadi saksi kerempongan cece yang sedang hamil anak pertama. Pun membuat saya semakin sering punya waktu mendoakan satu per satu sahabat saya dan menanyakan kabar mereka. Masa ini juga membuat saya dapat banyak menulis, satu hobi yang kadang tak sempat saya lakukan kala sibuk bekerja. Walau tidak enak, tapi rentang waktu hampir 10 bulan ini bukanlah masa yang buruk. Masih terselip beberapa kabar baik, memenangkan lomba menulis kompas dan menjadi kontributor di sebuah antologi (yang semoga segera diterbitkan) adalah salah satunya.
SEMUA BAIK. Hikmah perjalanan ini akan membuat saya semakin mengenal Pencipta saya, mengenal siapa sebenarnya sahabat saya, dan mengenal diri saya sendiri. Dia masih sutradara yang punya skenario terbaik. Mengapa adegan ini terjadi dan mengapa adegan yang itu harus dihapus. Saya yakin sama seperti sangat-sangat banyak hal lain yang bisa membuat saya terkagum dengan cara-Nya berkerja yang Maha kreatif, suatu hari saya akan melihat masa ini dengan haru bahwa ternyata Dia memang selalu punya rambu lalu lintas-Nya sendiri. Peta-Nya selalu jelas, hanya saja saya dan mungkin banyak manusia lainnya kadang berkacamata buram untuk membaca peta itu dengan baik. Atau sesekali Dia memang mengijinkan kita berpetualang di rimba, tak lain demi latihan ketahanan.
By the way, saya 'menikmati' masa ini dengan menghabiskan kitab Ayub, disana tersodor kisah yang luar biasa indah. Bukan karena ketabahannya, justru karena saya tahu bahwa seorang Ayub-pun pernah mencicipi masa mempertanyakan Pencipta dengan sedemikian.
Bersyukur dapat mencicipi secuil dari ujung kuku perenungan Ayub. Semoga akhirnya saya keluar sebagai seorang yang murni sama seperti dia, dan berujung pada kesimpulan: “aku tahu Engkau sanggup melakukan segala sesuatu dan TIDAK ADA rencana-Mu yang gagal” (Ayub 42:2)
3 komentar
Speechless, Dis....
BalasHapusHai mbak adis ini ara. Sebenarnya aku tadi random blogwallking aja sampai akhirnya di blogmu. Baca tulisanmu ini membuatku melihat dari perspektif yang beda, aku jadi berpikir sepertinya kita kebalik ya mbak. Sejujurnya aku kaget mbak waktu hari pertama training MT nggak ketemu kamu secara aku merasa kamu pasti lolos dan aku sendiri sebenarnya nggak yakin bisa sampai di tahap ini. Kalau aku boleh share pengalamanku mbak, sejujurnya aku malah ingin jadi guru. Karena waktu kuliah aku ambil major psikologi pendidikan, aku ingin bekerja di bidang pendidikan dan bercita cita mendirikan sekolah (entah kapan) aku ingin sek. Berbekal pengalaman pernah magang jadi guru dan label lulusan psikologi unair aku dengan pd-nya daftar menjadi guru mulai dari indonesia mengajar sampai sekolah negeri di surabaya. Entah kenapa semua usahaku gagal, bahkan dari lowongan yg sebenearnya diberikan teman yg sdh kerja di salah satu sekolah negeri untuk aku, yang harusnya nggak terlalu susah masuknya tapi aku ditolak sama dinas pendidikan karena alasan administratif yang kurang jelas. Terus terang aku frustasi banget waktu itu mbak. Waktu ada kabar lolos tahap awal dari wvi, ya aku senang meskipun nggak yakin yakin banget kalo aku bakal lolos karena merasa kompetensiku bukan disitu. Aku sebenarnya jg sempat mendaftar di beberapa tempat saat di wvi sudah sampai interview. Ketika ada kabar aku lolos ke tahap berikutnya dan berikutnya lagi sejujurnya aku berharap aku dapat kabar dari tempat tempat lain yang aku apply. Sampai akhirnya aku dapat email dari wvi yang menyatakan aku ketrima mt, aku masih bimbang, kenapa bisa sampai sejauh ini. Beberapa hari aku pergumulkan apa yang jadi maksud Tuhan sampai akhirnya aku tahu bahwa kalau aku bisa sampai sejauh ini, pastu itu bukan karena kemampuanku, ada maksud dan rencana Tuhan yang baik, dan tugasku adalah melakukan apa yang menjadi kehendak Tuhan. Sama seperti kamu mbak, awalnya aku merasa aneh karena ini jauh dari rencana masa depan versiku. Tapi seiring berjalannya waktu aku belajar bahwa pencipta kita memang luar biasa, Dia sudah mempersiapkan, merancang dan mengatur segala sesuatunya dengan sangat baik, hanya saja sebagai manusia kita terlalu sering melihat dari perspesktif kita. Tetap semangat mbak adis. Dimanapun Tuhan menempatkan kita, yang penting kita tetap mau setia dan taat dalam melakukan kehendakNya dan mengerjakan panggilanNya. Gbu mbak :)
BalasHapusHalooo Araa :) seneng banget baca komenmu ini lagi dan lagi.. Minta kontak dong :) biar tetep bisa keep in touch..
Hapuswanna say something? ^^