Kami ini (hanya) Relawan.
Pagi itu saya buka dengan otak yang berpikir keras hampir semalaman. Menimbang dan memperkirakan banyak hal. Niat saya untuk terjun di kegiatan yang digagas Kemenko Kemaritiman ini masih saja belum utuh, walau sudah jelas saya diperhitungkan sebagai peserta disana. Muncul di permukaan sedikit keraguan, mengingat kondisi fisik yang sempat drop akibat asam lambung yang melunjak. Hanya beralaskan rasa penasaran dan bernaungkan keberanian, kesempatan mengikuti ekspedisi ini akhirnya saya sambut hangat. Alasan kuat lain yang mendorong saya adalah fakta bahwa saya akan segera kembali menjadi guru per 1 Juli, saya HARUS datang pada para siswa dengan oleh-oleh cerita yang nyata tentang Indonesia. Optimisme dan sedikit kedisiplinan mengatur jam makan semoga cukup untuk menjauhkan saya dari nyeri lambung yang sungguh menyiksa.
Tanjung perak adalah titik saya bertemu dengan berbagai kawan dari segala penjuru tempat. Untuk sebagian orang, mendapatkan teman baru sama berharganya dengan mendapati rekening terisi baris angka panjang. Saling berkenalan, adalah kegiatan pertama kami sembari menanti kepastian jam tentang kapal yang akan menjadi sarana bagi 37 orang mewujudkan kerinduan untuk mengabdi.

Empat huruf saja: RELA, itu sebuah perasaan sederhana namun tidak mudah ternyata. Untungnya saya dan 36 orang lainnya cukup beruntung diberi kesempatan mempelajarinya bersama.
Awal episode seminggu luar biasa dimulai oleh sebuah latihan rasa rela. Saya kira ini appetizer yang tidak terlalu buruk, karena pengabdian kadang memang sinonim dengan pengorbanan. Dan ... Bukankah semua pengorbanan selalu menuntut kerelaan?
0 komentar
wanna say something? ^^