Nenek Moyangku (bukan) Pelaut
Kapal perintis yang mengantarkan kami ke tiga destinasi: Maselembu, Keramian, dan Matasiri dinamakan kapal Miami. Berwarna hijau tua dan diandalkan sebagai pengantar pasokan bahan makanan, singkatnya kapal ini merupakan sebuah kapal barang. Ada ruang besar yang membuat kami leluasa untuk tidur di segala sudut ditambah fakta bahwa kapal itu memang kami 'monopoli'.
Di kapal itu saya berkenalan dengan dua ABK, seorang Flores dari Larantuka (NTT) yang berpenampilan nyentrik serta Pak Ibrahim seorang Makassar yang besar di Papua. Ini semacam kebiasaan bagi saya. Selalu ada durasi waktu yang saya habiskan untuk meninggalkan keseruan bersama teman-teman lalu mengobrol dengan orang lintas usia dan lintas golongan. Bagi saya ini cara ampuh untuk memperkaya wawasan.
Selama mengarungi lautan, Anjungan kapal merupakan tempat favorit kami berkumpul membunuh rasa bosan. Disitu kami berfoto, memasak, bermain kartu, atau sekedar bersenandung gila. Bonus perjalanan ini adalah membuat kami menyaksikan dengan mata telanjang keindahan matahari terbit dan matahari terbenam. Ah bagi saya pribadi itu keindahan sejati, mengamati secara langsung matahari bergerak turun kala senja. Saya sedang mencicipi kedamaian surga.

Di atas kapal Miami ada beberapa kenangan manis tergoreskan bagi saya pribadi. Misalkan saat Rizal -seorang mahasiswa UB- mendapati saya seorang keturunan Tionghoa (ini fenomena jarang terjadi). Dia merupakan muslim taat yang mengagumkan, namun tak segan untuk menanyakan apa makna di balik Claudya Tio Elleossa. Juga saat saya dan Diah -mahasiswa ITS- saling menatap secara otomatis saat mendengar seorang ibu-ibu di pelabuhan berjualan "nasi bungkusnya, yang huruf A ikan Ayam - yang huruf O ikan Telur" nahloh! Kok gak sinkron.. Hahha saya dan Diah yang akhirnya jadi partner berbagi selimut hanyut dalam tawa yang renyah. Ohya saya juga merinding terkesan melihat kawan-kawan muslim yang tetap menjalankan sholat lima waktu seakan tak menyadari goncangan kapal. Suatu subuh bahkan saya -seorang Kristen- merinding haru mendengarkan Mas Beki -mahasiswa Jogja- mengaji dengan sangat merdu. Sungguh, momen seperti ini membuat saya makin bangga akan keberagaman umat beragama di Indonesia. Pemandangan seperti itu juga menggertak saya untuk menjadi umat beragama yang lebih baik. Terakhir adalah momen kala kebaikan memang selalu termanifestasi lewat tindakan. Di malam pertama pelayaran, saya bersama dua mahasiswa ITS (Diah dan Marqi) dan satu mahasiswa BSI Jakarta (mas Firman) tidur berbagi karpet yang sama. Lalu seorang bocah Jogja bernama Dika tanpa aba-aba menyelimuti kami berempat dan menyisakan dia tidur tanpa selimut samasekali. Entah kenapa ini jadi salah satu bagian mengesankan bagi saya. Kepedulian sederhana kadang bisa meninggalkan kesan mendalam. Terimakasih Dika.
Akhirnya, di kapal Miami itu terungkap kualitas pribadi banyak orang dari yang cuek hingga super peduli, yang menyisakan seorang Claudya untuk kembali belajar. Mengapung belasan jam di gelombang air juga membuat saya mencicipi mabuk laut yang sesungguhnya, dan oleh karenanya kekaguman saya haturkan bagi para pelaut Indonesia. Kapten dan para ABK baik dari kapal penumpang, kapal barang, ataupun kapal ikan di segala penjuru nusantara. Kalian orang hebat!
2 komentar
kang abel mah dimana aja KO tuh alias tidur mulu.. xD
BalasHapusNenek moyang sebagian besar orang Indonesia memang bukan pelaut loh Dis, yg benar-benar pelaut itu hanya nenek moyang orang Bajau.
BalasHapuswanna say something? ^^