Welcome to our website !

Tentang Sesuatu

Segalau apapun, pasti tetap tentang sesuatu, entah Tempat atau Teman, entah Pendapat atau Pengalaman.

Sebuah Konklusi dengan miss Fanny

By Senin, Desember 06, 2010

“manusia menajamkan sesamanya”

Halo miss Fanny. Bagian di alkitab ini singkat, padat, tapi tidak mudah. Dan bersyukur diijinkan Tuhan sekali lagi masuk memaknai ayat itu dan bersama Anda. Untuk itulah di tengah segala kesibukan saya khususkan menulis untuk Anda. Semata-mata karena saya yakin konflik yang terjadi di antara kita begitu berharga untuk dipelajari.

Kembali ke frasa pertama di tulisan ini. Apa yang terjadi pada kita berdua *cie* merupakan proses menajamkan. Dan selaiknya besi saling menajamkan, pasti proses gesekan itu tak enak dan menyakitkan. Rasa sakit itu akan menjadi sia-sia dan tidak setimpal jika tidak disertai dengan sebuah pelajaran signifikan yang dipetik.


  • Pertama saya minta maaf sekali jika kalimat teguran saya menyakiti Anda. Terlalu offensive mungkin, di benak Anda. Seakan menyudutkan. Dan untuk itu, tanpa pembelaan barang sebijipun saya minta maaf J
  • Kedua, saya tertarik menyoroti kalimat miss “seperti burung gagak yang dikirim” nah kedua, saya minta maaf saya bukan seekor gagak. Saya orang berdosa yang suka perhitungan. Untuk itu, saya juga haturkan maaf.

Saya yakin satu hal miss, yang miss pasti lebih paham sebagai hamba Tuhan, bahwa “aku emang gitu” bukanlah sebuah pembelaan. Pembenaran terbaik yang harus kita gunakan adalah kasih. Itulah alasan mengapa berbulan-bulan saya menebengi dan mengalahkan segala sisi karakter ‘transaksional’ ini. Murni karena “saya mengasihi miss” dan sebagai ucapan syukur saya telah diberikan berkat punya motor. Sesungguhnya, melankolis dan sanguin itu hanya karakter namun bukan identitas. "Miss fany bukan seorang melankolis yang Kristen" tapi 'seorang Kristen yang melankolis'. Pun adiss adalah seorang Kristen yang sanguin. Bukan sebaliknya. Maka segalaaaa konflik harus dihadapi sesuai identitas kita. Dan identitas kita adalah: kasih.

Kasih seperti kita tahu bukan hanya batin atau perasaan tapi tindakan aktif. Ada lima bahasa kasih menurut Gary Chapman. Saya mencoba membahasakan kasih ke miss dengan bahasa act of service. Lupakan uang bensin, galon, traktiran, dan semuanya, malam itu saya hanya berharap bahasa kasih yang serupa: act of service.

Dalam kondisi begitu kepepet dan dikecewakan (terlepas miss masih merasa saya salah karena tidak diberi petunjuk rinci), kasih saya berganti pada keadilan. Jika saja, kartu itu bukan bisnis, jika saja kartu itu hanya saya pake untuk keperluan pribadi, maka saya akan anggap lalu. Tapi sayangnya, tidak. Sehingga selain kasih, as we know, ada keadilan. Dan saya minta miss ganti supaya keadilan dilakukan lalu kita bisa kembali berdiri pada pondasi kasih. Tapi saya paham, sebagai melankolis pasti urusan tidak sesederhana itu. Ketika saya baca balesan miss saat Senin malam, saya merasa “wah puji Tuhan”. Mendapatkan rekan yang bergesekan namun dapat dewasa menterjemahkan konsep kasih-adil dan menyelesaikan dengan segera. Malam itu, saya merasa tenang. Sampai kemarin miss juga balik offensive dan menuturkan segala unek-unek, saya tahu dugaan awal saya kurang tepat.



Kalau dari percakapan depan pintu kamar nomor 4, saya menangkap segala kesalahpahaman dan gesekan kita berakar dari komunikasi. Ketika itu ditariiiiik lagi lebih jauh, sederhana karena keberdosaan kita. Dua orang yang penuh dosa dan “self orientedlebih ingin dilayani.
“miss juga ga pernah ke tempat saya buat berusaha kenal”
Kita berdua sama-sama mengatakan itu dan pertanda betapa kita masing-masing sangat egois. Dan untuk itu, kita harus minta ampun ke Tuhan sendiri. karena gagal meneladani kasihNya yang fokus melayani daripada dilayani. Ketika miss dengan enteng berkata “saya bahkan ga tahu miss Adiss ngajar apa” disitu saya super sedih sih. Literally. Saya semakin yakin bahwa enam bulan kita bareng semotor bagi miss hanya urusan tolong-ditolong. Tidak lebih, dan ternyata tidak diusahakan lebih.

Nasi sudah menjadi bubur, tapi pilihan kita mau menjadikan itu bubur enak atau tidak. Maka untuk memberi bumbu bubur ini dan mengenyangkan kita berdua, saya sodorkan sebuah konklusi.

Sudah menjadi kebiasaan bahwa setiap kali konflik saya akan membuat konklusi, maka tidak terlewatkan konflik kali ini. Semoga konklusi saya dapat diterima dengan lapang dada dan membuat kita rendah hati berproses menjadi lebih baik dalam segala relasi ke depan.

1.       Adiss belajar mengungkapkan teguran dengan cara yang lebih santun dan bukan menghakimi apalagi menyudutkan.
2.       Adiss belajar jika ada unek-unek lebih baik disampaikan dari awal saja.
3.      Miss fany dan miss Adiss belajar melayani daripada meminta dilayani
4.       Miss fany mau melebur dan berbaur dengan budaya dan ekspektasi orang di bandingkan hanya dengan pembenaran “aku emang begini”
5.       Miss fany lebih berinisiatif membahasakan kasih kepada siapapun dan tidak menganggap semua orang adalah gagak kiriman Tuhan

Puji Tuhan, ada hal baru lagi untuk dipelajari menjelang natal.
Mari berhenti saling menyalahkan dan fokus pada karakter kita masing-masing yang harus berbenah. Saya sudah mengampuni miss Fany, saya sudah minta ampun ke Tuhan atas sikap saya menyakiti miss, saya sudah mengampuni diri saya sendiri. Kini sekali lagi, saya minta maaf ke miss Fany. Atas puzzle karakter saya yang ga klop dengan puzzle karakter Anda.

Terimakasih sudah berproses dan menjadi rekan yang menajamkan saya. Semoga miss segera bisa mengalahkan sisi melankolis dan meningkatkan akselerasi pengampunan ke saya, supaya miss juga kembali damai. Jangan trauma miss, dalam kasih tidak ada ketakutan :) God bless


*nb: jika masih mau memberi oleh-oleh dari Bandung, boleh kok miss! Hahaha

You Might Also Like

0 komentar

wanna say something? ^^