Sebuah Konklusi dengan miss Fanny
“manusia menajamkan sesamanya”
Halo miss Fanny. Bagian di alkitab ini singkat,
padat, tapi tidak mudah. Dan bersyukur diijinkan Tuhan sekali lagi masuk
memaknai ayat itu dan bersama Anda. Untuk itulah di tengah segala kesibukan saya khususkan menulis untuk Anda. Semata-mata karena saya yakin konflik yang terjadi di antara kita begitu
berharga untuk dipelajari.
Kembali ke frasa pertama di
tulisan ini. Apa yang terjadi pada kita berdua *cie* merupakan proses
menajamkan. Dan selaiknya besi saling menajamkan, pasti proses gesekan itu tak
enak dan menyakitkan. Rasa sakit itu
akan menjadi sia-sia dan tidak setimpal jika tidak disertai dengan sebuah
pelajaran signifikan yang dipetik.
- Pertama saya minta maaf sekali jika kalimat teguran saya menyakiti Anda. Terlalu offensive mungkin, di benak Anda. Seakan menyudutkan. Dan untuk itu, tanpa pembelaan barang sebijipun saya minta maaf J
- Kedua, saya tertarik menyoroti kalimat miss “seperti burung gagak yang dikirim” nah kedua, saya minta maaf saya bukan seekor gagak. Saya orang berdosa yang suka perhitungan. Untuk itu, saya juga haturkan maaf.
Saya yakin satu hal miss, yang
miss pasti lebih paham sebagai hamba Tuhan, bahwa “aku emang gitu” bukanlah sebuah
pembelaan. Pembenaran terbaik yang harus
kita gunakan adalah kasih. Itulah alasan mengapa berbulan-bulan saya
menebengi dan mengalahkan segala sisi karakter ‘transaksional’ ini. Murni karena
“saya mengasihi miss” dan sebagai
ucapan syukur saya telah diberikan berkat punya motor. Sesungguhnya, melankolis dan sanguin itu hanya karakter namun bukan identitas. "Miss fany bukan seorang melankolis yang Kristen" tapi 'seorang Kristen yang melankolis'. Pun adiss adalah seorang Kristen yang sanguin. Bukan sebaliknya. Maka segalaaaa konflik harus dihadapi sesuai identitas kita. Dan identitas kita adalah: kasih.
Kasih seperti kita tahu bukan
hanya batin atau perasaan tapi tindakan aktif. Ada lima bahasa kasih menurut Gary
Chapman. Saya mencoba membahasakan kasih ke miss dengan bahasa act of service. Lupakan uang bensin, galon,
traktiran, dan semuanya, malam itu saya hanya berharap bahasa kasih yang
serupa: act of service.
Dalam kondisi begitu kepepet dan
dikecewakan (terlepas miss masih merasa saya salah karena tidak diberi petunjuk
rinci), kasih saya berganti pada
keadilan. Jika saja, kartu itu bukan bisnis, jika saja kartu itu hanya saya
pake untuk keperluan pribadi, maka saya akan anggap lalu. Tapi sayangnya,
tidak. Sehingga selain kasih, as we know,
ada keadilan. Dan saya minta miss ganti supaya keadilan dilakukan lalu kita
bisa kembali berdiri pada pondasi kasih. Tapi saya paham, sebagai melankolis
pasti urusan tidak sesederhana itu. Ketika saya baca balesan miss saat Senin
malam, saya merasa “wah puji Tuhan”. Mendapatkan rekan yang bergesekan namun
dapat dewasa menterjemahkan konsep kasih-adil dan menyelesaikan dengan segera. Malam
itu, saya merasa tenang. Sampai kemarin miss juga balik offensive dan menuturkan segala unek-unek, saya tahu dugaan awal
saya kurang tepat.
Kalau dari percakapan depan pintu
kamar nomor 4, saya menangkap segala kesalahpahaman dan gesekan kita berakar
dari komunikasi. Ketika itu ditariiiiik lagi lebih jauh, sederhana karena keberdosaan kita. Dua orang yang penuh dosa dan “self oriented” lebih ingin dilayani.
“miss juga ga pernah ke tempat saya buat berusaha kenal”
Kita berdua sama-sama mengatakan
itu dan pertanda betapa kita masing-masing sangat egois. Dan untuk itu, kita
harus minta ampun ke Tuhan sendiri. karena gagal meneladani kasihNya yang fokus
melayani daripada dilayani. Ketika miss dengan enteng berkata “saya bahkan ga
tahu miss Adiss ngajar apa” disitu saya super sedih sih. Literally. Saya semakin yakin bahwa enam bulan kita bareng semotor
bagi miss hanya urusan tolong-ditolong. Tidak lebih, dan ternyata tidak
diusahakan lebih.
Nasi sudah menjadi bubur, tapi
pilihan kita mau menjadikan itu bubur enak atau tidak. Maka untuk memberi bumbu
bubur ini dan mengenyangkan kita berdua, saya sodorkan sebuah konklusi.
Sudah menjadi kebiasaan bahwa
setiap kali konflik saya akan membuat konklusi, maka tidak terlewatkan konflik
kali ini. Semoga konklusi saya dapat diterima dengan lapang dada dan membuat
kita rendah hati berproses menjadi lebih baik dalam segala relasi ke depan.
1.
Adiss belajar
mengungkapkan teguran dengan cara yang lebih santun dan bukan menghakimi
apalagi menyudutkan.
2.
Adiss
belajar jika ada unek-unek lebih baik disampaikan dari awal saja.
3. Miss fany
dan miss Adiss belajar melayani daripada meminta dilayani
4.
Miss fany
mau melebur dan berbaur dengan budaya dan ekspektasi orang di bandingkan hanya
dengan pembenaran “aku emang begini”
5.
Miss fany
lebih berinisiatif membahasakan kasih kepada siapapun dan tidak menganggap
semua orang adalah gagak kiriman Tuhan
Puji Tuhan, ada hal baru lagi untuk
dipelajari menjelang natal.
Mari berhenti
saling menyalahkan dan fokus pada karakter kita masing-masing yang harus
berbenah. Saya sudah mengampuni miss
Fany, saya sudah minta ampun ke Tuhan atas sikap saya menyakiti miss, saya
sudah mengampuni diri saya sendiri.
Kini sekali lagi, saya minta maaf ke miss Fany. Atas puzzle karakter saya yang ga klop dengan puzzle karakter Anda.
Terimakasih sudah berproses dan
menjadi rekan yang menajamkan saya. Semoga miss segera bisa mengalahkan sisi
melankolis dan meningkatkan akselerasi pengampunan ke saya, supaya miss juga
kembali damai. Jangan trauma miss, dalam kasih tidak ada ketakutan :) God bless
*nb: jika masih mau memberi oleh-oleh
dari Bandung, boleh kok miss! Hahaha
0 komentar
wanna say something? ^^