kopi susu dan siswa nakal
Di tengah sore hari Jumat usai meyeruput segelas kopi susu instan favorit, telingaku nakal menguping percakapan para kawan guru lain. Topiknya tentang beberapa siswa yang populer belakangan akibat segala ulah mereka. Hampir semua guru sudah dibuat geleng-geleng oleh mereka yang (untungnya) terpencar di berbagai kelas. Mereka yang masih gres melepas seragam putih-merahnya membawa berbagai kejutan.
Menghadapi berbagai karakter 'unik' itu memang menciutkan nyaliku. Aku sesekali takut. Di saat yang lain kadang aku terjebak untuk melabeli beberapa di antara mereka dengan sebutan "aneh" atau kadang menghakimi tanpa suara dengan julukan "nakal". Dan aku juga sesekali angkuh.
Ada serpihan enggan saat melihat tabel jadwalku saatnya mengunjungi mereka. Raga yang hadir tak lebih dari sekedar wujud tanggung jawab. Iya, memang kasih dan secuil dedikasi tidak pernah absen walau sesekali itu semua diselubungi pekat rasa takut.
Masih dengan segelas kopi susu yang tersisa separuhnya, tanganku yang tak berhias cat kuku mulai membuka lembar demi lembar catatan siswa tentang satu topik renungan.
Senyap menyelinap, aku abaikan es kopi susu nikmatku.
Senyap menyelinap, aku abaikan es kopi susu nikmatku.
Aku merasa bersalah, seketika.
Hidup mereka tak serenyah tawa yang dihadirkan di lorong-lorong sekolah kala 40 menit durasi istirahat tiba. Dengan membiarkan punggung jatuh di sandaran kursi kerjaku aku terkesiak tentang fakta bahwa banyak kisah tak mulus di celah kebisingan yang mereka ciptakan. Orang tua yang kurang perhatian, mama papa yang tak ubahnya dua peserta kompetisi debat, hingga pengabaian besar yang harus dirasakan bertahun-tahun.
Deretan nama yang acap memancing onar ternyata tak instan menjadi demikian.
Selalu ada sebab. Semua ada awalnya.
Terbingkai kisah sendu atau peran antagonis sebagai sponsor segala karakter kurang baik itu.
Tidak ada seorangpun yang dikodratkan menjadi pribadi yang buruk. Tak seorangpun juga yang sengaja diciptakan 'nakal' oleh Sang Khalik. Segala ke-khas-an negatif itu adalah sebuah produk berbagai faktor kompleks. Keluarga, kadang adalah penyebab utamanya. Di lembar yang sama mereka mengaku, tak mudah untuk mengucap syukur atas kondisi keluarganya.
Selalu ada sebab. Semua ada awalnya.
Terbingkai kisah sendu atau peran antagonis sebagai sponsor segala karakter kurang baik itu.
Tidak ada seorangpun yang dikodratkan menjadi pribadi yang buruk. Tak seorangpun juga yang sengaja diciptakan 'nakal' oleh Sang Khalik. Segala ke-khas-an negatif itu adalah sebuah produk berbagai faktor kompleks. Keluarga, kadang adalah penyebab utamanya. Di lembar yang sama mereka mengaku, tak mudah untuk mengucap syukur atas kondisi keluarganya.
There isn't anyone you couldn't love once you've heard their story -Aister
Membaca ataupun mendengar secuil penjelasan tu sudah berhasil meluluhkan hati, ketakutan dan kesombongan pun turut larut. Dari heran penuh gemas bergeser menjadi sendu kasihan. Mereka yang terlihat aneh, mereka yang gemar membuat onar, dan mereka yang hobi menabung daftar panjang pelanggaran justru adalah pribadi yang paling membutuhkan kelembutan dan kasih bukan justru omelan semata. Kadang yang mereka butuh adalah telinga yang siaga mendengar dan didikan yang dibahasakan dengan kepedulian.
Kadang aku (dan mungkin beberapa guru lain) hanya terlalu sombong, merasa lebih dewasa, lebih normal, dan lebih tahu. Miris memang saat predikat 'guru' membuat kami menjadi hakim atas sesama kami dan bukan justru menjadi perban yang membalut luka.
Bagaimanapun benar memang bahwa baik antara rasa takut dan sombong hanya cocok bersanding dengan sesuatu yang tak utuh kita pahami. Setelah menyimak sedikiiit saja rangkai kalimat jujur siswa, seketika gelas kaca berisi air keruh kopi susu itu menjadi cermin untukku, seraya menegur "lihatlah lebih dekat dan dengarlah lebih jernih, lalu kau akan bisa mengasihi dengan lebih tulus."
1 komentar
...menjadi guru yang benar-benar guru memang tidak mudah yaa...terima kasih Ms.Adis melalui tulisan ini mengingatkan saya untuk memakai kaca mata Tuhan (seperti renungannya Mr. El) dalam memandang anak-anak, dan kiranya ketulusan menjadi sikap hati kita selama melayani mereka. Gbu.
BalasHapuswanna say something? ^^