Hidden Strength
Jika ditarik pola tentang apa yang terjadi seminggu ini, awalnya aku ingin memberi judul "seminggu berwajah palsu", namun kemudian aku tahu ada kalimat lain yang lebih tepat.
Menjadi wali kelas tahun ini tidaklah mudah, anak-anak yang dipercayakan kepadaku tidak seperti dua tahun lalu. Ada terlalu banyak hal yang menjebakku pada keinginan untuk membandingkan. Penatku juga disponsori oleh pikiran betapa sulitnya aku kembali stabil secara finansial setelah menjadi pengangguran setahun penuh. Sesekali sisi pemikirku mengalahkan segala kecuekan seorang sanguin. Di tengah itu semua, lelakiku di seberang sana ada di kondisi yang juga tidak terlalu baik. Tekanan untuknya memulai KPR semakin terasa, sayangnya keinginan kuat tak cukup. Berbagai faktor pertimbangan tak jarang menjadi aral yang merintangi deal pembelian. Baik soal lokasi, luas tanah, ataupun harga. Kala lelakiku berkeluh kesah, dengan otomatis aku lupakan bebanku sendiri. Sedari awal aku tahu bahwa tugas wanita adalah meringankan beban pria, itulah mengapa wanita disebut dengan istilah "penolong".
Di satu malam aku ajak dia memainkan game sambung kalimat, di malam lain dengan penuh nada manja aku menggombalinya, dan melakukan berbagai strategi hanya untuk mengembalikan sukacitanya. Dasar orang melankolis, bagi Riyan terlalu sulit untuk sekedar mengabaikan apalagi dengan cepat mengubah raut mood nya menjadi kembali ceria. Dia tertawa, tapi aku tahu persis itu hanyalah tawa yang ditujukan agar aku merasa dihargai atas setiap usaha menghibur. Di saat penat juga kepalaku, aku harus menghapus muram kekasihku. Tak hanya sehari, beberapa kali hal senada terjadi dalam seminggu. Di tengah kesal lahir aku menghibur diri dengan menulis ini :
There are some moments in life we should ignore our own burden. It's not fake, simply pretending that we can be stronger than we ever thought, and the fact is when we trying to lift someone little higher or just cheering up someone's day, we are not pretending anymore.
We've already been strong.
Our hidden strength somehow appears just in moment when we try to be selfless
Tak selang lama, hari jumat ini tepatnya. Berbalut pakaian khas biru ala officer Girls Brigade dengan iPhone jadul di tanganku, aku tergetak dengan suara tanda masuknya sebuah surat elektronik di kotak masukku. Ternyata satu lagi penundaan konversi mimpi harus aku hadapi. Di ruang guru aku menahan tangis, tapi aku memilih untuk meletakkan sejenak sedihku di tumpukan koreksian yang menunggu. Masuk ke kelas, hal yang tak jauh berbeda terjadi, dedikasi atau sekedar janji profesional tetap memampukanku membagi ilmu dengan senyum. Pengingkaran demi pengingkaran kadang membawa pada pedih yang lebih dalam. Merasa begitu lemah, aku menghalalkan kejujuran untuk membagi beban dengan seorang kawan. Aku berniat setelah makan siang akan mengijinkan diriku jatuh dalam pengakuan semata murni untuk meringankan tekanan, ternyata jalan cerita sepenuhnya berbeda. Di kantin saat pelayan catering sibuk meladeni barisan siswa, seorang ibu penjaga koperasi meminta tolong aku menenangkan bocah yang terdiam dalam isak. Kejadian itu mengubah segalanya.
Anak itu gemuk, seorang lelaki yang biasanya membuat onar. Siang itu dia di hadapan piring makan siangnya duduk menghapus tetes air mata. Aku masih ingat jelas bulir air jernih keluar dari sudut luar matanya. Hatiku hanyut. Aku yang hari itu menahan tangis seharian, duduk lemas dan kalah. Aku pakai jariku menghapus air matanya. Dengan nada sabar dan lembut aku coba tanyakan alasan dari tangis itu. Siang itu, aku bergumam "masih ada waktu lain untuk mimpiku -yang tertunda karena email tadi pagi- digenapi, tapi air mata seorang anak kecil tidak akan bisa menanti." Ternyata siang itu bukanlah kekalahan yang meletakkanku pada tindakan tersebut, justru merupakan sebuah kemenangan. Iya, aku menang mengalahkan ego untuk hanya memikirkan diri sendiri.
Hari itu aku tahu bahwa yang aku tulis semalam sepenuhnya benar. Kekuatan tersembunyi akan keluar saat kita berusaha untuk tidak egois dengan masalah kita sendiri. "Yang kuat menopang yang lemah" begitu nasihat berharga yang kita acap dengar. Kadang kita tidak layak dikatakan kuat, kadang kita semata mencoba menjadi "tidak lebih lemah" untuk layak menopang beban orang lain. Kita semua punya masalah, jika berlandaskan itu maka semua kita akan jadi egois dan enggan merepotkan diri untuk memikirkan beban orang lain. Padahal justu saat kita berusaha menguatkan orang lain, kitapun dikuatkan. Sebuah pedang bermata dua, bukan?!
Saat aku menahan tangis dan harus menghapus air mata orang lain, disitu aku sudah tidak lagi sedang berpura-pura, saat itu aku sedang menjadi versi super dari seorang Claudya. Walaupun mungkin tidak ada seorangpun menganggap penting apa yang aku lakukan siang itu di kantin, bahkan ketika Riyan dan bocah itu juga tidak mawas tentang upayaku menghiburnya, itu bukanlah masalah besar bagiku. Hanya sedikit berharap penduduk surga menengokku sejenak, dan memperhitungkan itu sebagai kebaikan. Sebuah kebaikan yang diawali dengan kepalsuan dan dibungkus dengan kekuatan, sebuah kebaikan yang membuatku menang.
Dan akhirnya aku tahu judul yang tepat untuk minggu ini adalah: "seminggu menikmati kekuatan tersembunyi."
0 komentar
wanna say something? ^^