He has done EVERYTHING WELL
... sebuah pesan yang terus berulang ...
Dimulai dari tepat minggu lalu saat saya dan Riyan menghabiskan hari minggu malam dengan bertukar khotbah, pertama kalinya saya tahu tentang "sero-fenisia". Lalu pengakraban kata itu disusul dengan satu artikel renungan dan satu update status path kawan saya tentang ringkasan khotbah di gerejanya. Ibadah minggu tadi, adalah penguat semua kebetulan ini. Kali ini, saya memberanikan diri untuk memparafrase apa yang saya dapatkan dari semua rangkaian kebetulan tentang wanita sero-fenosia dan seorang tuli dan gagap. Dengan segala keterbatasan pengetahuan alkitab dan juga keterampilan menulis, saya harap tidak mengurangi kesempatan untuk berkat indah ini dinikmati.
_______
Dalam Markus 7:24-37, dipaparkan secuplik adegan saat Yesus mengunjungi wilayah tirus. Disana Yesus dihampiri oleh seorang wanita non-Yahudi yang memohon pertolongan untuk anaknya yang sedang kerasukan setan lalu disusul dengan karya kesembuhan bagi seorang tuli dan gagap.
Agaknya adegan senada sudah pernah terjadi di bagian lain injil, tentang Yesus yang berbelas kasih dan melakukan keajaiban. Namun kenapa perikop ini menjadi unik?
Pertama, mari kita ingat bahwa setiap injil memiliki ciri dan sasaran yang berbeda. Matius misalnya memfokuskan pada pembaca orang Yahudi sehingga tidak mengherankan jika kitab itu dimulai dengan menuliskan silsilah Yesus sebagai ototrisasi perihal Yesus sesuai dengan tradisi Yahudi. Sedangkan Markus adalah injil yang ditujukan bagi para orang non-Yahudi atau dalam bahasa Perjanjian Baru sering diwakilkan dengan sebutan "Yunani" (Gentile, dalam bahasa Inggris). Perikop soal sero-fenisia ini HANYA termuat di kitab Markus, sehingga hampir mustahil hal tersebut dilakukan tanpa tujuan. Markus seakan ingin mengantarkan pesan peneguhan bagi orang-orang yang dianggap tidak terpilih oleh Allah.
Kedua, mari tengok konteks geografis di perikop itu.
Yesus dikatakan mengunjungi Tirus secara sengaja. Signifikansinya adalah bahwa Tirus (dan Sidon) bukan wilayah Yahudi. Anggapan bahwa Yesus rasis dan hanya melayani kaum Yahudi sepenuhnya digagalkan di perikop ini. Kesengajaan Yesus mengunjungi wilayah non-Yahudi adalah bukti bahwa pelayanannya tidak berbatas kesamaan suku bangsa. Selain itu, konteks geografis juga disinggung di ayat 31. Kita akan merasa biasa saja jika hanya membaca kalimat itu tanpa meluangkan waktu melihat konteks lebih besar. Wilayah Tirus, Sidon, dan Danau Galilea semacam segitiga siku-siku dimana Tirus adalah titik pertemuan dua garis tegak lurusnya. Untuk menuju Danau Galilea Yesus SAMASEKALI TIDAK PERLU melewati Sidon. Tapi, Dia memilih untuk melalui wilayah itu. Sekali lagi, disitulah penegasan betapa tudingan rasis pada Yesus adalah hal tidak relevan. Fakta besarnya adalah Sidon bukan hanya dijadikan sebagai bagian dari rute perjalanan oleh-Nya, namun juga tempat pelayanan yang terbukti dengan Dia yang berkenan menyembuhkan seorang tuli dan gagap (ayat 34). Yesus merepotkan diriNya sendiri dengan menambah jauh perjalanan untuk berkarya bagi orang-orang non-Yahudi karena Dia tahu ada orang yang sedang membutuhkan.
Yesus dikatakan mengunjungi Tirus secara sengaja. Signifikansinya adalah bahwa Tirus (dan Sidon) bukan wilayah Yahudi. Anggapan bahwa Yesus rasis dan hanya melayani kaum Yahudi sepenuhnya digagalkan di perikop ini. Kesengajaan Yesus mengunjungi wilayah non-Yahudi adalah bukti bahwa pelayanannya tidak berbatas kesamaan suku bangsa. Selain itu, konteks geografis juga disinggung di ayat 31. Kita akan merasa biasa saja jika hanya membaca kalimat itu tanpa meluangkan waktu melihat konteks lebih besar. Wilayah Tirus, Sidon, dan Danau Galilea semacam segitiga siku-siku dimana Tirus adalah titik pertemuan dua garis tegak lurusnya. Untuk menuju Danau Galilea Yesus SAMASEKALI TIDAK PERLU melewati Sidon. Tapi, Dia memilih untuk melalui wilayah itu. Sekali lagi, disitulah penegasan betapa tudingan rasis pada Yesus adalah hal tidak relevan. Fakta besarnya adalah Sidon bukan hanya dijadikan sebagai bagian dari rute perjalanan oleh-Nya, namun juga tempat pelayanan yang terbukti dengan Dia yang berkenan menyembuhkan seorang tuli dan gagap (ayat 34). Yesus merepotkan diriNya sendiri dengan menambah jauh perjalanan untuk berkarya bagi orang-orang non-Yahudi karena Dia tahu ada orang yang sedang membutuhkan.
JamahanNya, bukankah dari situ kita seharusnya tersentuh dengan betapa murahnya Penebus kita?Dengan cara-Nya sendiri Ia tahu bagaimana akan menyalurkan pertolongan bagi kita.
Ketiga, mari kita berpindah ke konteks tradisi. Di perikop itu dikatakan bahwa seorang Wanita sero-fenosia menghampiri Yesus (ayat 26). Terlihat sangat sangat sederhana memang sebelum kita menyadari pemetaan perbedaan besar antara Yesus dan Wanita tsb. Yesus adalah seorang laki-laki Yahudi sedangkan wanita tersebut adalah seorang wanita non-Yahudi. Konteks tradisi saat itu adalah sangat tidak sopan untuk wanita menghampiri pria di kawasan publik, APALAGI jika itu bersebrangan suku bangsa. Apa yang dilakukan wanita itu adalah sikap iman yang besar. Bahkan tanpa kita sadari dari tindakan itu termanifestasi tiga hal besar sekaligus: Iman, Pengharapan, dan kasih. Iman yang meyakini bahwa Yesus MAMPU menolong, pengharapan bahwa Yesus akan MAU menolong, dan kasih kepada anaknya yang sedang menderita.
(ditambahkan 8 Maret) Selain tiga konteks yang ada di atas, ada hal unik lain yang khas di perikop ini. Keempat: konteks kebiasaan. Beralih dari wanita Sero-fenisia menuju ke karya Yesus pada seorang tuli dan gagap (ayat 31-35). Di banyak kisah penyembuhan yang lain Tuhan Yesus terlebih sering menggunakan pernyataan tegas yang membawa mukjizat, namun di peristiwa ini Yesus melakukan setidaknya tiga tindakan aktif untuk suatu karya penyembuhan. Pertama tindakan mengajak orang tuli dan gagap tersebut untuk menjauh dari keramaian sehingga mereka dapat secara personal berinteraksi (ayat 32). Hal ini menjadi berkesan ketika kita menyadari bahwa seseorang yang tuli dan gagap adalah orang yang sangat sulit bersentuhan secara sosial. Bayangkan, tuli dan gagap! Bukan buta dan lumpuh yang membuat mobilitas terganggu namun komunikasi dapat tetap berjalan. Ajakan yesus untuk mereka memisahkan diri dari orang banyak menyuarakan empati personal tak terhingga. Kedua adalah tindakan Yesus yang memasukkan jari dan meraba lidah untuk mengantarkan sebuah kesembuhan. Kenapa tidak hanya lewat kata-kata seperti biasanya? Mungkin dapat menjadi perenungan bahwa terkadang belas kasih tidak boleh hanya berhenti lewat doa dan kalimat simpatik namun tangan dan kaki yang bergerak. Ketiga, Yesus menengadah ke langit (ayat 34), disini diekspresikan sebuah kerendahan hati besar dari kepada Bapa. Jika Dia yang juga Allah penuh kuasa dapat sedemikian merendahkan hati dan mengandalkan Bapa, bagaimana kita manusia yang samasekali bukan maha-kuasa bahkan tidak tahu apa yang terjadi barang sejam ke depan?
(ditambahkan 8 Maret) Selain tiga konteks yang ada di atas, ada hal unik lain yang khas di perikop ini. Keempat: konteks kebiasaan. Beralih dari wanita Sero-fenisia menuju ke karya Yesus pada seorang tuli dan gagap (ayat 31-35). Di banyak kisah penyembuhan yang lain Tuhan Yesus terlebih sering menggunakan pernyataan tegas yang membawa mukjizat, namun di peristiwa ini Yesus melakukan setidaknya tiga tindakan aktif untuk suatu karya penyembuhan. Pertama tindakan mengajak orang tuli dan gagap tersebut untuk menjauh dari keramaian sehingga mereka dapat secara personal berinteraksi (ayat 32). Hal ini menjadi berkesan ketika kita menyadari bahwa seseorang yang tuli dan gagap adalah orang yang sangat sulit bersentuhan secara sosial. Bayangkan, tuli dan gagap! Bukan buta dan lumpuh yang membuat mobilitas terganggu namun komunikasi dapat tetap berjalan. Ajakan yesus untuk mereka memisahkan diri dari orang banyak menyuarakan empati personal tak terhingga. Kedua adalah tindakan Yesus yang memasukkan jari dan meraba lidah untuk mengantarkan sebuah kesembuhan. Kenapa tidak hanya lewat kata-kata seperti biasanya? Mungkin dapat menjadi perenungan bahwa terkadang belas kasih tidak boleh hanya berhenti lewat doa dan kalimat simpatik namun tangan dan kaki yang bergerak. Ketiga, Yesus menengadah ke langit (ayat 34), disini diekspresikan sebuah kerendahan hati besar dari kepada Bapa. Jika Dia yang juga Allah penuh kuasa dapat sedemikian merendahkan hati dan mengandalkan Bapa, bagaimana kita manusia yang samasekali bukan maha-kuasa bahkan tidak tahu apa yang terjadi barang sejam ke depan?
Setelah memahami konteks besar bacaan, mari beralih ke hal-hal detail di bacaan tersebut dan mengambil intisari teladan.
Ayat 24 "... Ia tidak mau ada orang yang mengetahui kedatanganNya ..." ditambah ayat 36, tersingkap attitude Yesus: giat dalam diam. Baru beberapa waktu lalu saya hadir dalam sebuah KKR remaja, seorang hamba Tuhan yang agaknya memang populer di Surabaya tak sedikit menyinggung kiprah dan prestasinya dalam pelayanan di sela-sela pelayanan Firman. Walau terlihat rohani untuk menyatakan berapa banyak jiwa yang sudah dilayani, agaknya itu tetap bukanlah hal yang Yesus teladankan. Ketika hendak memulai pelayanan disana, Yesus bahkan berusaha menyembunyikannya. Sungguh miris jika kita anak Tuhan masih sibuk mencari pengakuan dengan menggembar-gemborkan hal baik yang kita lakukan.
Dalam ayat 27-28 termuat kalimat soal anjing dan reremahan roti. Terlihat keras dan sesekali membenarkan soal tudingan rasisme Yesus. Tapi justru di kalimat ini sedang ditunjukkan integritas Yesus yang tetap berbalut kasih ditambah ekspresi iman dari wanita Sero-fenisia tsb. Dari sini kita dapat menegaskan sekali lagi tentang besarnya Kemurahan Allah. Seruan iman seorang non-Yahudi pun Ia balas dengan sebuah sentuhan mukjizat, apalagi seruan anak-anakNya.
Ayat 36, adalah soal kesaksian. Kita tahu bahwa bersaksi adalah bagian lekat dari seorang anak Tuhan. Tapi acapkali kita seakan enggan, karena merasa tidak perlu dan tidak cukup penting. Padahal secara mendasar respon kita sebagai orang yang tahu diri ketika usai menerima kebaikan adalah menceritakan itu. Saya pernah mendengarkan analogi indah ini.
Analogi itu hanyalah perkara darah jasmani yang pada akhirnya tidak berguna lagi saat kita mati karena usia nantinya. Tapi anehnya kita lebih bisa tahu diri ke yang memberi hal sementara dibandingkan ke Yang memberi kekekalan. Kita manusia cenderung lupa betapa banyak dan keren yang Tuhan sudah anugerahkan, sehingga akhirnya tidak merasa berkewajiban untuk bersaksi. Jadi sekarang, masih malas bersaksi?
"Kita tertimpa kecelakaan dan sedang membutuhkan dengan sangat donor darah, padahal darah tsb tergolong sulit, lalu seorang datang tanpa dibayar mau memberikan donor darah. Apakah respon kita? Pertama adalah kita akan berterimakasih karena bantuannya kita batal mati. Kedua kita akan berusaha membalas budi, dengan mengirimkan hadiah atau apapun itu. Terakhir secara otomatis kita akan bercerita ke teman kita 'orang itu lho yang sudah selamatkan aku, karena donor darahnya'."
Analogi itu hanyalah perkara darah jasmani yang pada akhirnya tidak berguna lagi saat kita mati karena usia nantinya. Tapi anehnya kita lebih bisa tahu diri ke yang memberi hal sementara dibandingkan ke Yang memberi kekekalan. Kita manusia cenderung lupa betapa banyak dan keren yang Tuhan sudah anugerahkan, sehingga akhirnya tidak merasa berkewajiban untuk bersaksi. Jadi sekarang, masih malas bersaksi?
Terakhir dari ayat 37, sebuah penutup yang SANGAT INDAH. Kita dapat tahu bahwa Allah membuat segala sesuatunya BAIK. Mungkin terlihat rumit dan aneh seperti pilihanNya menentukan rute menuju danau Galilea, namun itulah kedaulatanNya! Walau kadang terkesan tidak rasional, taruhlah iman! Bahwa Dia sungguh jago mentransformasi yang usang menjadi baru, yang lunglai menjadi kokoh, dan yang suram menjadi cerah! Amin.
Sumber:
1. khotbah GPIB MORIA Jaksel, 31 Agutus 2015.
2. Khotbah GKI Residen Sudirman Surabaya 06 September 2015.
3. Renungan harian Wasiat 4 September 2015
4. Khotbah HKBP Denpasar 06 September 2015
5. Renungan Pagi Guru 8 Maret 2016
5. Renungan Pagi Guru 8 Maret 2016
0 komentar
wanna say something? ^^