Trump, Ancaman Bom, dan Kasih Sayang
Sekitar
jam 9 pagi, di ruang guru saya bersama guru bahasa Inggris membahas soal
US Election. Kabar yang sementara kami dapat, Trump unggul memenangkan sebagian
besar suara. Kami geleng-geleng. Entah kenapa dunia semakin gonjang-ganjing.
Ada begitu banyak hal yang tak terduga. Wawasan soal Donald Trump sejauh ini
hanya saya dapat dari tulisan dosen saya. Dan di titik itu, saya kira Hillary Clinton
lah yang akan memenangkan mayoritas suara. Entah kenapa yang terjadi justru
sebaliknya. Di tengah obrolan dua orang yang juga tak paham benar, tiba-tiba
pengumuman sentral sekolah menggelegar.
“semua anak-anak di lantai dua harap keluar. Hentikan semua pembelajaran.”
Source: http://quoteshunter.com/ |
Obrolan Donald Trump pun beralih fokus.
Saya dan guru bahasa Inggris, saling menatap dan kebingungan. Kami sudah
menduga, ada sesuatu sepertinya. Sesuatu yang salah. Tanpa banyak bertanya,
kami berdua memutuskan mengikuti instruksi. Para guru dikomando untuk
menenangkan siswa dan mengatur agar semuanya terkendali. Di detik itu, kami masih
nihil petunjuk apa yang sebenarnya terjadi. Banyak asumsi, tapi terlalu tergesa
untuk menyimpulkan sesuatu.
Semua
siswa sudah di luar gedung sekolah, namun mereka dan kami para guru masih terus
menebak. Ada yang mengira konstruksi bangunan sedang bermasalah hingga menduga ini (hanya) simulasi penanganan bencana, hingga satu ekspresi serius
menjelaskan berbagai tanda tanya.
Seorang
guru senior dengan penuh wibawa menjelaskan bahwa ada sebuah ancaman bom kepada
sekolah kami. hmmm tunggu dulu.. BOM? Sepersekian detik saya mengira ini prank, tapi dari nada pengumuman hingga
berbagai ekspresi, saya tahu ini hal serius. Ketika kami di depan gedung
sekolah kami mendapati ada beberapa mobil pihak berwajib berjejer. Lalu terlihat
sekelompok gegana berjalan memasuki gedung. Ternyata sekitar pukul 7.40 staff
SMA Gloria Pakuwon City menerima telepon ancaman bahwa akan ada ledakan tiga
kali. Tak tinggal diam, dari pihak sekolah langsung menghubungi polsek
Mulyorejo. Singkat cerita, satu gedung dinyatakan aman. Di saat yang sama,
orang tua sudah terlanjur tahu. Kabar menyebar dengan begitu cepat, begitu pula
aroma kepanikan. Satu per satu orang tua dengan ekspresi cemas menjemput
anaknya. Itu terjadi sekitar pukul 10.
Siswa
semakin banyak yang dijemput, guru jadi sasaran, satpam kewalahan, dan pers
mulai datang. Salah satu orang tua murid memanggil saya, dan saya tahu jelas
siapa beliau. Dia meminta tolong saya mencarikan tiga anaknya. Sesegera saya
menemukan mereka, saya menuntun mereka menuju gerbang. Sangat refleks, mereka
memeluk mama mereka. Salah satu di antara mereka, pecah dalam tangis. Seketika hati
saya terenyuh. Haru sekaligus marah. Terharu, karena kasih sayang orang tua
yang selalu bertindak tangkas. Terharu melihat saktinya sebuah pelukan yang
menghembuskan rasa aman. Tapi juga marah. Sebuah amarah terhadap siapapun yang
menelepon dan menyebarkan isu tak benar ini. Entah apa motifnya, dan terlepas
berujung ledakan atau tidak, harus digarisbawahi bahwa terorisme bukan hanya
soal ledakan namun penyebaran rasa takut. Dan siang itu, kami merasakannya. Kami
para guru, siswa, dan tentunya para orang tua.
Saya
tidak tahu apakah tulisan ini akan sampai ke siapapun yang melakukan keisengan
tak lucu ini. Tapi bagi kita semua, percayalah bukan hidup penuh ketakutan yang
kita inginkan. Bukan kebencian yang harus kita bagikan.
Lalu
apa hubungannya, Trump, ancaman bom, dan kasih sayang? Tiga poin itu saya pilih
sebagai ringkasan hari ini. Lagipula mau tidak mau kejadian tadi menguatkan
fakta bahwa banyak lelucon yang terjadi tanpa terlebih dulu meminta ijin.
Untuk itulah, dibutuhkan kesigapan yang tepat sasaran. Trump terpilih dengan segala pro kontranya dan ancaman bom dengan segala aroma ketakutannya, harus dikalahkan dengan sebuah pesan damai. Kesadaran akan kasih sayang menjadi semakin vokal dibutuhkan justru di kondisi semacam ini.
Untuk itulah, dibutuhkan kesigapan yang tepat sasaran. Trump terpilih dengan segala pro kontranya dan ancaman bom dengan segala aroma ketakutannya, harus dikalahkan dengan sebuah pesan damai. Kesadaran akan kasih sayang menjadi semakin vokal dibutuhkan justru di kondisi semacam ini.
Bukan saling menuding dan menyalahkan, bukan menghakimi apalagi menebarkan rasa benci, tapi memberikan bahasa kasih seperti ibu dan satu anak murid saya yang larut hangat dalam satu pelukan rasa aman.
0 komentar
wanna say something? ^^