Welcome to our website !

Tentang Sesuatu

Segalau apapun, pasti tetap tentang sesuatu, entah Tempat atau Teman, entah Pendapat atau Pengalaman.

Atom yang Tetap kalah

By Sabtu, Desember 31, 2016

Saya masih percaya, bahwa hidup ini bukanlah sebuah pertandingan. Tapi dalam beberapa kondisi, saya harus mengakui konsep menang-kalah tak dapat ditampikkan.
Di penghujung 2016 ini, ketika melihat kembali ke belakang, ada berbagai hal telah hadir. Entah yang fenomenal, biasa saja, kecewa, atau kepuasan. Lalu apa intinya? Rata-rata orang yang membaca tulisan ini juga tetap menjadi ‘orang biasa’. Seberapapun kita telah patuh pada nasihat Mario Teguh soal "nobody to somebody", dan mengikuti berbagai petunjuk dari buku "cepat kaya dan sukses sedari muda", ternyata toh kita tetap bukan siapa-siapa. Anak gang sebelah aja paling ga tahu nama kita. Tak banyak dikenal dan tak menjulang pencapaian. Saya pasti tak sendirian dalam meratapi hidup yang gini-gini aja.
Perenungan ini dicerahkan ketika saya pulang kampung halaman. Setelah tenikmati sayur bayam dan dadar jagung nikmat, saya nongkrong di depan TV bersama mama menonton salah satu film favorit saya: Real Steel.
Jika Anda sudah pernah menontonnya, pasti familiar dengan peran Atom. Dia adalah sebuah robot rongsokan yang ditemukan di kala hidup Charlie Kenton sedang berada di titik rendah. Bukan robot yang istimewa tapi berhasil sampai ke sebuah ajang kompetisi bergengsi.

Oke sampai sana dulu.
Mungkin sebagian dari kita melihat 2016 dengan lega karena berhasil mencapai beberapa hal. Memenangkan lomba, menambah komunitas, gaji meningkat, banyak melakukan perjalanan, membuka bisnis, atau mendapatkan prestasi di tempat kerja. Menyenangkan bukan? Saya merasakan persis sama. Banyak pencapaian yang tiba dan dipercayakan oleh Pencipta. Singkatnya, saya dan Anda semua seketika merasa layak membusungkan dada dengan senyum bangga.
Lalu semua itu runtuh ketika kita tersadar…. Teman kita sudah ke Maldives ketika kita hanya bangga dengan Bandung atau Batu (Malang). Teman kita sudah menjadikan Eropa dan Indonesia tak jauh beda dengan Surabaya-Sidoarjo, ketika kita masih mengandalkan tiket promo 0 rupiah atau hadiah lomba buat pergi kemana-mana. Teman kita sudah bisa membelikan papanya mobil dan ibunya tas hermes asli, ketika kita masih memilih es teh di restoran hanya karena itu yang paling murah. Kita tertunduk lesu. “ah ternyata.. belum apa-apa aku ini.” Saya merasakan itu, setiap detailnya.
Persis seperti Atom, dia sampai di kejuaraan bergengsi namun pulang dengan kekalahan. Sia-sia. Bukankah banyak dari kita seperti itu? Kita mencapai banyak hal, tapi tetap pecundang kala disandingkan dengan kemegahan keberhasilan orang lain. Lalu apa intinya?


Zeus, lawan Atom, dinyatakan menang.

Atom kalah. Itu fakta dan hasil akhir, namun bukan kisah keseluruhan. Di balik kekalahan itu, hubungan Charlie dan Max sebagai ayah dan anak dipulihkan. Sebagai bonus, passion bertinju dari Charlie juga dapat disalurkan. Walau Atom kalah, ada yang berharga di baliknya. Sayangnya banyak dari kita yang masih fokus pada hasil semata, baik dalam melihat diri sendiri atau orang lain.

Di titik manapun kita berada sekarang, penting untuk mengingat bahwa: pertama, proses tak pernah kalah penting dibandingkan hasil. Mungkin gaji tak meningkat drastis, tapi kita telah berani mencoba berbagai hal baru dan terus menantang diri. Kedua, tentang progress. Bahwa, pertandingan sesungguhnya bukan antara kita dan orang lain, tapi “kita yang sekarang” dibandingkan “kita yang dulu”. Poin ini patut jadi perenungan besar. Sudahkah kita menjadi versi yang lebih baik? Atom yang kalah itu, telah berangkat dari rongsokan menuju pentas dunia. Lonjakan besar!
Kamu anak desa, belum ke Eropa tapi sudah survive di perantauan? Berbanggalah! Orang tuamu hanya bisnis kecil-kecilan tapi kamu bisa sarjana hingga mendukung finansial keluargamu? Berbanggalah! Kamu sudah bisa mendapatkan uang dari hobimu? Oh jelas kamu boleh berbangga! Yang salah adalah saat kita terlampau pasrah dengan “hidup gini-gini aja” tanpa berusaha lebih. Kewajiban kita selalu soal: berjuang.
Mungkin sampai akhirnya kita akan ‘kalah’ dan menjadi orang biasa-biasa saja. Lalu kenapa?
Saat ini tagar semacam #lifegoal, #relationshipgoal, dan segala goal lain kerap mendistraksi penghargaan yang lebih esensi: secuplik proses dan segenggam progress. Semua goal klise kekinian yang membuat sebuah perjalanan hidup menjadi kalah saat tak bisa mengikuti standar tertentu (Sandy Yeriko, 2016). Standar yang mana? Sosial media kita sudah dibanjiri olehnya. Soal popularitas dan besaran income, misalnya. Ambil contoh kalimat ini:
work until you shop without looking the price tag
atau kalimat macam:
work hard until you don’t need to introduce yourself”.
Jika memang standarnya demikian, ayo angkat tangan bagi yang merasa sudah mencapai titik tersebut. Adakah? Saya sendiri tak berani mengacungkan jari. Saya masih sering diresahkan dengan harga yang tercantum di pusat perbelanjaan. Kabar baiknya, itu tak masalah!
Pasti kita tetap perlu goal. Teman saya Sandy Yeriko dari band hateaway menuliskan begitu apik bagian ini:
  • “kita perlu punya tujuan, faktanya tujuan itu akan sangat penting bagi masa depan kita. Tapi jangan sampai tujuan kita berbahan bakar keirian sosial sehingga kita lebih berorientasi pada ‘terlihat keren’ dibandingkan ‘beneran keren’. Memang, mengembangkan citra keren itu lebih gampang dan less sacrificial daripada ngembangin potensi diri, tapi itu akan membuat dunia kita tidak tersentuh berbagai pengalaman, pikiran kita berkelana dalam kekecewaan, dan mimpi kita yang sebenarnya tidak sempat diperjuangkan.”

Ambisi untuk tampil senantiasa ‘menang’ dan menggapai berbagai utopisme, membuat kita gagal fokus pada potensi dan mimpi yang sebenarnya. Terlebih, membuat kita pelit apresiasi. Padahal, mungkin sampai akhirnya kita akan menjadi gini-gini aja. Tidak terkenal dan tidak menjadi milyuner Indonesia. Kita masih tetap di strata tengah sebagian besar orang di BUMI ini, dan sekali lagi, itu tak masalah!
Dengan menerima diri, kita sanggup untuk mengarahkan mimpi. Dengan meredefinisi arti sukses, kita sanggup berdamai bahkan merayakan kegagalan. Dan, dengan menghargai proses dan progress, maka kita akan semakin mampu menghargai hal-hal sederhana dalam hidup.
Kita akan belajar mengukur diri sendiri dengan cara yang lebih sehat: dari indahnya berteman, membuat karya sesuai idealisme, membantu orang yang kesulitan, membaca buku yang bagus, dan tertawa bersama mereka yang kita sayangi. Terdengar membosankan, bukan? Itu karena hal-hal tersebut adalah perkara remeh yang biasa-biasa saja. Tetapi mungkin tergolong biasa-biasa saja karena suatu alasan: bahwa itulah yang sebenarnya berarti (Parafrase tulisan Mark Manson oleh Akbar Saputra).
Source: www.fontysblogt.nl


Selamat tinggal 2016. Atom (dan kita) tetap kalah tahun ini, tapi yang terpenting:
kita bahagia!

You Might Also Like

0 komentar

wanna say something? ^^