Papa diam-diam beli Durian
2009
Masa kuliah adalah masa termiskin saya. Minimnya dana tak lain adalah imbas kegagalan pengaturan ekonomi keluarga. Jenjang 8 semester disponsori oleh kebaikan hati seorang saudara ditambah beasiswa untuk menyambung hidup. Di masa itu, bukan hanya saya yang berjuang survive di tanah rantau, tapi juga mama papa di rumah. Ah saya enggan memberikan detail rincinya, karena hari-hari ini begitu menguras hati, dan untuk tulisan ini saya bertekad akan mengarunginya dengan tegar. Tanpa air mata.
Di masa kesulitan ekonomi kami, setiap saya pulang ke rumah, selalu terhidang makanan enak, Tak mahal, kadang hanya sayur bayam dan dadar jagung kesukaan, tapi nikmatnya menjulang luar biasa. Segala keterbatasan juga membuat saya harus tidur di rumah yang tak elok, ada beberapa sisi yang bocor, tapi lagi-lagi tak mengurangi kadar bahagia. Lalu di sebuah siang, dengan sepeda motor bekas yang baru papa beli, ia mengajak saya pergi. Tanpa memberitahu mama apalagi cece.
Tidak jauh dari desa saya: Jatiroto, ada sederet orang yang mengadu nasib dengan berdagang buah favorit kami sekeluarga: durian. Kami menempuh perjalanan sekitar 15 menit, dan sampai pada satu penjual durian yang kami pilih secara acak. Kami duduk, dan makan durian berdua. Sembari melumat dengan lahap setiap biji, kami membicarakan banyak hal. Ia selalu ingin tahu soal kuliah saya, apa ada kendala dan apa saja yang sudah saya pelajari. Iya, itu memang kebiasaannya sejak dulu kala. Saat saya SD, setiap pulang sekolah ia tak pernah absen bertanya: "Belajar apa hari ini, Dis?" dan itu memaksa saya untuk serius memperhatikan saat di kelas agar bisa menjawab pertanyaan demikian dengan mantab.
Setelah hampir usai kami mengosongkn setiap celah di buah tersebut, papa segera membayar sesuai harga yang telah disepakati di awal (setelah tawar-menawar yang hebat!). Sejenak sebelum pulang dan kembali naik ke motor, papa berkata "Dis, jangan bilang cece nanti dia iri papa belum belikan durian. Kalau ada uang lebih nanti gilirannya cece."
Entah bagaimana, orang tua selalu punya kekuatan untuk mencintai anaknya. |
2017
Hari Valentine tiba lagi. Tepatnya, ini kali ketiga saya dan Riyan merayakan sebagai sepasang kekasih. Tahun lalu kami mengisi tanggal ini dengan sepiring rawon pak Pangat di daerah Wonokromo. Kami beri judul "valentine romantis nan ekonomis". Di saat yang sama, lewat instagram kami menyaksikan beberapa kawan mengemas hari yang penuh pro-kontra ini dengan lunch istimewa di berbagai kafe elit. Kami seketika merasa hina.
Hari ini, tak lebih baik. Masih nihil ceremonial. Masih tidak ada bunga dari kekasih saya. Coklatpun tiada, apalagi durian! Aiiih dia pembenci akut buah surga tersebut. Tapi anehnya, saya merasa tak kurang dicintai. Di siang tadi, ia menelpon saya. Sebuah tindakan yang tidak pernah ia lakukan sejak di tempat kerja yang baru. Menyapa hangat dan berderai canda tawa di durasi tak lebih dari 5 menit. Di malam hari, ia yang sudah berpamit tidur, memaksakan dirinya untuk bercengkrama dengan saya terlebih dahulu. Ia kemudian menutup dengan kalimat "semoga tahun depan bisa makan enak merayakan bareng ya".
karena kasih itu mau melangkah bersama, apapun kondisinya. |
---
Kisah 2009 dan 2017 itu punya kesamaan, bahwa baik durian dan telepon siang bolong telah menyuarakan bahasa cinta yang amat besar. Di tengah berbagai distorsi akan makna kasih, keduanya membawa saya pada satu simpulan: Kasih itu berjuang. Dan berharap.
Dengan keterbatasan uang, pengeluaran puluhan ribu untuk durian adalah pemborosan, tapi papa masih saja mencoba membahagiakan saya. Dengan segala kesibukan, keterbatasan dana untuk beli tiket, dan jarak yang membentang, Riyan pun mengupayakan lahirnya perasaan dicintai bagi kekasihnya.
Itulah kasih yang saya hayati hari ini: Kerelaan untuk melewati kesulitan, kesediaan untuk mengusahakan perbaikan, dan pengorbanan melampaui keterbatasan.
Di bagian akhir kisah, selalu ada sebuah harapan yang dilontarkan. Baik dari papa dan juga Riyan. Satu lagi unsur kasih bagi saya adalah: harapan. Bukan hanya tataran perasaan tapi iman dan kesanggupan untuk percaya. Sudah banyak orang yang mati rasa dan berhenti berharap karena dipahitkan keadaan, tapi disitulah kasih berperan. Ia memampukan manusia untuk percaya pada sesuatu yang bahkan belum dilihatnya. Kasih menyanggupkan seseorang bermimpi dan memberi kekuatan untuk menerima segala kemungkinan.
Karena bukan Cinta, jika terlampau pasrah. Bukan Cinta, jika tidak percaya.
Perjuangan dan harapan, itulah inti kisah percintaan yang sesungguhnya. Kadang semahal keberanian mengajak menikah disertai cincin berlian, tapi kadang juga semurah harga durian dan telepon di jam makan siang.
Kado indah, makan malam mesra, hingga sepucuk surat merah muda, semua hanyalah pernak-pernik pemeriah. Tapi yang terpenting:
Kasih itu Berjuang. Sudahkah kita?
0 komentar
wanna say something? ^^