Kasih kepada yang renta: Mendengar dan Memberi
Setiap kita sudah tentu memiliki sebuah konsep “pemberian
terbaik”. Ada yang menakarnya dari harga, ada pula dari kualitas, atau
mementingkan nilai fungsi. Begitu pula ketika kita sedang berusaha “memberi”
untuk orang lain. Bagi saya pribadi, pemberian terbaik adalah pemberian yang disertai penyangkalan diri namun tetap dipenuhi
rasa sukacita. Perdebatan “lebih baik memberi uang” atau “lebih baik
memberi waktu” menjadi begitu sia-sia, sebab setiap orang bergumul dengan
penyangkalan diri tertentu. Semisal saya ketika kuliah yang sangat minim budget
namun melimpah waktu luang, memberi dalam bentuk uang adalah tantangan
terbesar. Namun kini, dengan gaji –yang lebih dari cukup, menyediakan waktu
menjadi sebuah penyangkalan diri. Atas dasar itulah, ketika memikirkan proyek
kasih, titik tekan saya adalah tentang waktu
dan ketelatenan. Apakah saya dan teman-teman saya akan sanggup?
Tercetuslah satu kegiatan untuk memberi para oma-opa di
Panti Werda sebuah kado sesuai keinginan mereka. “As They Wish” begitulah
kalimat yang baru saja mencuat di kepala.
Saat itu hari Minggu usai persekutuan guru Gloria, kami
bergegas untuk mencari tahu apa keinginan oma-opa dengan berkunjung ke panti
tersebut. Siapa sangka, 15 Oma dan 3 Opa menyambut kami dengan hangat.
Kami berbincang untuk mencari tahu apa yang diinginkan
masing-masing mereka. Awalnya saya pribadi mengira itu akan dijawab semacam “selendang”
atau “daster” atau “kaos”, namun siapa sangka permintaan oma opa itu spesifik,
lucu, dan mengharukan. Misalnya Oma Arlina yang meminta jas hujan. Ketika kami
tanya, jawabannya sangat sederhana namun tangkas menegur kami. “Supaya kalau
hujan, tetap bisa jalan kaki ke gereja”. Rasanya saya begitu malu,
dengan motor dan jas hujan kadang saya menjadikan rintik air sebagai alasan
untuk membolos ibadah. Sedangkan seorang Oma dengan tubuhnya yang renta,
mencari cara untuk tetap menemui Penciptanya di gereja.
Oma kedua yang kami tanyakan adalah Oma yang sangat ceria. Ketika
kami bertanya, dia berpikir lalu menoleh ke arah lantai. Seketika dia berkata “oma
mau sepatu kayak nonik ini”, jawabnya sambil menunjuk ke arah sepatu yang
sedang dikenakan ce Jessica. Oma Evy Maria kemudian mencoba sepatu itu agar
kami dapat memperkirakan nomor kakinya. “Wah ini pas banget, ini buat oma aja
ya,” ditutup dengan gelak tawa yang menyenangkan. Kami tak berhenti tersenyum.
Permintaan ada yang begitu sederhana seperti “selendang yang
lembut” atau “daster pink”, namun ada pula permintaan semacam “daster dengan
renda di bagian leher, berlengan, motif batik, dan ada kantongnya”. Bagian soal
renda di leher itu membuat kami sekelompok kebingungan hingga berakhir dengan
miss Ona yang menjahitkan renda manual di satu daster yang kami beli.
Pertemuan pertama ini membuat saya paham betapa mereka ingin didengarkan, bahwa mereka juga
memiliki selera dan keinginan. Saya makin bersyukur dengan konsep proyek
kasih kami. Tidak sekadar memberi namun dapat tepat sesuai keinginan hati.
Seusai keinginan hadiah direkap, kami berenam segera membagi
tugas. Siapa beli apa. Tidak ada samasekali pertimbangan rata atau tidak. Komitmen
semata. Dan lagi-lagi saya paham, memang menyenangkan memiliki orang yang
sehati dan seidealisme dengan kita.
Setelah sebulan pencarian kado dilakukan, hari ini menjadi
pertemuan kedua dan puncak acara. Kami hadir dengan 18 kado, dan makan siang. Tak
kalah, hati yang siap bersukacita bersama. Respon mereka di tengah siang panas
Surabaya hari ini memastikan bahwa jerih lelah kami tak sia-sia. Mereka menyambut
kami dan segera berkumpul untuk persekutuan kecil. Uniknya, di usia mereka yang
senja, ketika ada kesempatan untuk persembahan pujian, selalu saja ada oma yang
mengajukan diri. Dari lagu “setinggi-tingginya langit” dan lagu tahun 70an yang
sesungguhnya tidak pernah saya dengar sebelumnya. Saya bahagia melihat
kebersamaan kami.
Waktu untuk membagi kadopun tiba. Pukul 11.30 adalah
jam makan siang mereka, maka sekalian kami bagi sekotak nasi. Sebelum berpindah
ke ruang makan, kami sempatkan foto bersama lalu berpamit. Namun beberapa oma
menahan kami dengan jabatan tangan terima kasih yang berulang. Sebuah respon yang
manis, hangat, dan lagi-lagi membahagiakan. Kami yang juga masih betah
menghabiskan waktu disana, menyempatkan singgah ke kamar Opa Agus yang sedang
terbaring sakit. Kami menyerahkan hadiah buatnya. Saat saya di ambang pintu,
saya tak sengaja melihat Oma Liang yang telah membuka kadonya. Sesuai permintaan,
tas coklat ia dapatkan. Namun responnya menjadi sangat berharga untuk saya
kenang. Dia berlari dan memamerkan tas barunya. Oma yang lain menyambut
dengan tawa berbalut ekspresi ingin segera menyelesaikan makan siang untuk
membuka kado.
Dari dua kunjungan ini, kami yang niatnya membuat bahagia
justru dibuat bahagia tak kurang-kurang. Memang benar, ketika kita sibuk membahagiakan orang lain alih-alih menjadi egois
dengan hidup sendiri, maka bahagia pula yang kita tuai.
Ini sebenarnya proyek kasih kedua saya bersama teman KTB
guru di Gloria. Pertama, kami memilih yayasan anak kanker sebagai penyaluran
bahasa kasih. Kali ini, panti werda.
Tadi di perjalanan, Wisye berucap dan berterima kasih karena
gagasan proyek kasih yang saya ajukan. Berselang hitungan detik, saya menimpali
bahwa sayalah yang sesungguhnya bersyukur sebab dikelilingi orang yang mau
mendengar, mengindahkan, dan mewujudkan gagasan itu bersama. Bahkan ce Jess
dengan sabar menahan malu menemani saya menjual baju bekas di pasar Mulyosari.
Ini adalah konsep kegiatan kedua setelah proyek “Dedicated
for a Life” yang juga saya gagas dengan menggunakan prinsip ATM. Amati (dari
lembaga nirlaba tertentu), Tiru, dan Modifikasi. Bersama Helen dan kak Ajeng
dua sahabat saya, kami berjerih lelah penuh sukacita bersama dan mengajak rekan
pemuda GKI Residen Sudirman untuk bergabung.
Saya mungkin hanyalah seorang konseptor –yang hanya bisa
memodifikasi ide yang sudah ada. Namun juga seorang pengecut karena tidak pernah berani melakukan sebuah
aksi sendirian. Hanya saja, Tuhan memang tahu benar kelemahan ini dan
menganugerahkan saya rekan untuk mengeksekusi sebuah gagasan. Kata orang “niat
baik akan selalu mendapatkan jalan”, saya yakini hal tersebut tepat adanya.
Tulisan yang saya tulis sembari terus tersenyum dan hampir mencapai
1000 kata ini, tidak lain untuk menyemangati kita bersama untuk melakukan sesuatu
sebagai ucapan syukur. Menurut saya pribadi, masa bekerja adalah masa emas
untuk berbagi. KSeperti yang terus terulang di caption atau di sela tulisan,
saya merasa lebih dari cukup dengan gaji yang Tuhan beri. Saya bisa pergi ke
luar kota untuk belajar atau sekadar pelesir, membeli buku, atau makan
kekinian. Maka, akan sangat egois jika saya (dan kita semua) lupa berbagi.
Sekarang saya akan memikirkan sebuah konsep proyek kasih
yang lain. Saya tidak tahu kawan mana lagi yang akan Tuhan beri sebagai rekan
sepelayanan, saya juga tidak tahu kapan itu akan terealisasi. Satu saja yang
saya yakini, untuk niat baik akan selalu
menemukan jalan.
Selamat berbagi, teman-teman. Di luar sana ada begitu banyak
orang yang kesepian atau setidaknya ingin sedikit lebih diperhatikan. Mari jangan
jemu berbuat baik, karena apabila datang waktunya kita akan menuai, jika kita
tidak menjadi lemah.
“how far you go in life, depends on your being tender with the young, compassionate with the aged, sympathetic with the striving, and tolerant of the weak and strong. Because someday in life you will have been all of these.” –George Washington Carver
0 komentar
wanna say something? ^^