Merayakan Kesedihan dengan Sepenuhnya
Entah sejak kapan kita seakan didoktrin bahwa kehidupan yang
selalu bersukacita adalah tolak ukur keberhasilan iman. Oke, jika itu artinya joy yang adalah rasa damai tanpa
terpengaruhi keadaan, maka itu benar. Tapi jika itu membuat kita mengingkari
kesusahan diri dan kecemasan yang manusiawi, maka alih-alih iman yang kuat, itu
adalah kemunafikan.
Belakangan ini adalah masa berat bagi saya. Tepatnya minggu
ini. Ketika menyadari dalam waktu kurang dari setahun saya akan memulai tapak
di luar zona nyaman pekerjaan saya. Juga tentang keputusan besar yang kekasih
saya ambil. Ada ketakutan pasti. Banyak! Takut salah memilih, takut kekurangan,
dan berbagai ketakutan yang serentak menyerang dan sesekali berhasil mencuri
kedamaian.
Saya yakin kita pernah ada di titik itu. Dan di saat seperti
itu penting bagi kita mendengar bahwa apa yang kita rasakan adalah wajar. Penting
bagi kita untuk tahu bahwa kesedihan kita tidaklah menjadi alasan untuk
ditertawakan dan dituduh “kurang beriman.” Bukan karena kita sudah menyaksikan
begitu baiknya Tuhan dalam kehidupan kita maka secara otomatis kita tidak
merasakan ketakutan sama sekali. Bagi saya sangatlah kejam dan tidak santun
ketika kita meresponi keresahan orang lain dengan sikap “ah gitu aja kok takut,
katanya beriman”, atau macam respons “aku heran kamu kok bisa ketakutan begini,
kan kamu uda lihat penyertaan Tuhan”.
Saya ingin mengutip kalimat dari dua tulisan yang baru saja
saya edit, dan menjadi semacam kekuatan bagi saya.
- “Jadilah pendengar yang mengijinkan orang lain memproses macam-macam emosinya dengan leluasa. Biarkan temanmu tidak menahan-nahan kepedihannya dan tidak lari dari masalahnya. Dengan mengalami emosi-emosi ini secara utuh, setidaknya beban mereka berkurang.” –Ruth Lydia
- “Perasaan ditinggalkan Allah adalah hal yang wajar dialami orang percaya, semua raksasa rohani dalam Alkitab pernah mengalaminya, dan memang Allah merancangnya untuk membentuk kita.” –Kak Himawan
Kadang kita malu untuk menjadi prihatin dan merayakan
kesedihan hanya karena mitos sehari-hari bahwa memiliki Juruselamat membuat kita tidak takut sama sekali dan akan selalu berhasil memasang wajah yang senantiasa berseri. Saat ini, saya justru lebih berani
mengekspresikan kesedihan (bukan tebar
kegalauan atau curhat di sosial media ya!) secara apa adanya, terkhusus di
hadapan Tuhan. Sebab semakin saya berproses dalam turun naik hidup ini, saya
kian menyadari bahwa masa paling tak enak dan kondisi paling mengerikan adalah
momen yang paling saya syukuri akhirnya nanti. Sebab di sana saya menemukan Allah berkarya memproses saya.
Adalah sebuah kemampuan berharga untuk merayakan setiap
musim kehidupan ini dengan sepenuh-penuhnya. Dalam masa bahagia, tak kalah,
masa nestapa. Karena dengan cara begitulah, kita menjadi sebenar-benarnya
manusia.
0 komentar
wanna say something? ^^