Welcome to our website !

Tentang Sesuatu

Segalau apapun, pasti tetap tentang sesuatu, entah Tempat atau Teman, entah Pendapat atau Pengalaman.

Merayakan Kesedihan dengan Sepenuhnya

By Jumat, September 29, 2017

Entah sejak kapan kita seakan didoktrin bahwa kehidupan yang selalu bersukacita adalah tolak ukur keberhasilan iman. Oke, jika itu artinya joy yang adalah rasa damai tanpa terpengaruhi keadaan, maka itu benar. Tapi jika itu membuat kita mengingkari kesusahan diri dan kecemasan yang manusiawi, maka alih-alih iman yang kuat, itu adalah kemunafikan.

Belakangan ini adalah masa berat bagi saya. Tepatnya minggu ini. Ketika menyadari dalam waktu kurang dari setahun saya akan memulai tapak di luar zona nyaman pekerjaan saya. Juga tentang keputusan besar yang kekasih saya ambil. Ada ketakutan pasti. Banyak! Takut salah memilih, takut kekurangan, dan berbagai ketakutan yang serentak menyerang dan sesekali berhasil mencuri kedamaian.

Saya yakin kita pernah ada di titik itu. Dan di saat seperti itu penting bagi kita mendengar bahwa apa yang kita rasakan adalah wajar. Penting bagi kita untuk tahu bahwa kesedihan kita tidaklah menjadi alasan untuk ditertawakan dan dituduh “kurang beriman.” Bukan karena kita sudah menyaksikan begitu baiknya Tuhan dalam kehidupan kita maka secara otomatis kita tidak merasakan ketakutan sama sekali. Bagi saya sangatlah kejam dan tidak santun ketika kita meresponi keresahan orang lain dengan sikap “ah gitu aja kok takut, katanya beriman”, atau macam respons “aku heran kamu kok bisa ketakutan begini, kan kamu uda lihat penyertaan Tuhan”.

Saya ingin mengutip kalimat dari dua tulisan yang baru saja saya edit, dan menjadi semacam kekuatan bagi saya.

  • “Jadilah pendengar yang mengijinkan orang lain memproses macam-macam emosinya dengan leluasa. Biarkan temanmu tidak menahan-nahan kepedihannya dan tidak lari dari masalahnya. Dengan mengalami emosi-emosi ini secara utuh, setidaknya beban mereka berkurang.” –Ruth Lydia
  • “Perasaan ditinggalkan Allah adalah hal yang wajar dialami orang percaya, semua raksasa rohani dalam Alkitab pernah mengalaminya, dan memang Allah merancangnya untuk membentuk kita.” –Kak Himawan

Kadang kita malu untuk menjadi prihatin dan merayakan kesedihan hanya karena mitos sehari-hari bahwa memiliki Juruselamat membuat kita tidak takut sama sekali dan akan selalu berhasil memasang wajah yang senantiasa berseri. Saat ini, saya justru lebih berani mengekspresikan kesedihan  (bukan tebar kegalauan atau curhat di sosial media ya!) secara apa adanya, terkhusus di hadapan Tuhan. Sebab semakin saya berproses dalam turun naik hidup ini, saya kian menyadari bahwa masa paling tak enak dan kondisi paling mengerikan adalah momen yang paling saya syukuri akhirnya nanti. Sebab di sana saya menemukan Allah berkarya memproses saya.


Adalah sebuah kemampuan berharga untuk merayakan setiap musim kehidupan ini dengan sepenuh-penuhnya. Dalam masa bahagia, tak kalah, masa nestapa. Karena dengan cara begitulah, kita menjadi sebenar-benarnya manusia.



You Might Also Like

0 komentar

wanna say something? ^^