a little proud
"aku tau ini semua adalah kesia-siaan. tapi Tuhan, raja tua ini juga ingin merasa bangga akan dirinya sendiri"
kutipan dari novel Alchemist karya Paul Coelho menjadi cerminan hati saya di tengah perjuangan mencapai puncak di pendakian perdana ini.
lupakan sejenak quote itu. mari mundur dan biarkan saya menceritakan kisah ini dari awal.
kawan saya Daniel (fro) dalam obrolan kami dengan iseng mengajak saya naik ke penanggungan. saya tau itu hampir mustahil untuk saya iya-kan mengingat kapasitas tubuh saya. tapi somehow teman saya satu ini berhasil meyakinkan bahwa gunung tersebut tidak terlalu mengerikan untuk pemula. asal tubuh fit dan tanpa beban pikiran, cukup.
dasar saya memang ingin, tanpa banyak ragu sayapun mengiyakan.
persiapan yang saya lakukan hanyalah main badminton untuk melatih fisik dan nafas. walaupun saya tau tidak akan berguna banyak. hehe
perjalanan dimulai di siang bolong dari surabaya. bersama dua teman dari Ekonomi Pembangunan Unair. pikir saya: "lagi-lagi menyusup"
setelah melakukan hal senada di perjalanan ke pulau menjangan.
setelah melewati gerimis kecil di daerah porong, kami melanjutkan perjalanan hingga masuk ke daerah trawas. singkat cerita kami sampai di pelawangan gunung tsb saat matahari sudah bersiap terbenam. perjalanan menuju puncak bayangan kami mulai sekitar setengah enam. keuntungan perjalanan malam adalah tidak melihat seberapa jauh rute yg masih haus ditempuh.
saya belajar sesuatu, kadang kita harus melupakan sejenak keseluruhan perjalanan dan cukup memikirkan dua hal: satu tapak di depan dan puncak itu sendiri.
empat jam kemudian kami sudah siap memasang tenda dan memasak makan malam di tengah rasa pegal kaki dan badan. susu sereal hangat ditambah sandwich ala kadarnya benar-benar terasa nikmat.
rute yg dilewati cukup sulit mengingat malam itu hujan tak kunjung lelah. licinnya tanah menambah tantangan. namun bayangan puncak sungguh menguatkan.
kami hanya tidur tiga jam. sebelum jam 3 pagi bergerak dari puncak bayangan menuju puncak sesungguhnya.
lelah raga terlupa, dengan semangat keindahan matahari terbit di ketinggain 1653 mdpl tersebut. dari berempat hanya saya dan fro yang memutuskan lanjut hingga puncak. untungnya ada teman fro, si moth dan rekan se-UKM nya (sinematografi) yg meramaikan rute miring dan curam khas penanggungan. bukan hanya kaki yg bekerja, otak dan tangan pun wajib berkoordinasi dengan baik memilih tapak-tapak yang aman.
saya sempat jalan sendirian cukup jauh, karena fro menemani lina yang akhirnya memutuskan berhenti di tengah jalan dan kembali ke tenda. di saat itu, saya menangis (dalam artian sesungguhnya), saya tidak percaya bahwa saya bisa. membuktikan ke sisi pengecut saya bahwa dia salah, itu MELEGAKAN.
hingga di puncak, air mata haru harus ditahan akibat terlalu ramai pendaki lain. kekaguman akan lukisan Pencipta dengan matahari dan awannya sungguh membayar perjalanan 6 jam yang sungguh basah dan membuat lelah.
seperti kutipan di awal tulisan ini, ini hanya kesia-siaan. toh yang menganggap ini hal besar hanya saya sendiri. hanya saya yang tahu arti bangga akan 1653 mdpl itu. tapi, biarlah, siapa peduli. to give your self a credit and proud, is a must!
jika ditanyakan apa saya akan mengulangi melakukan pendakian(?) jelas saya jawab IYA. tak peduli berapa biru njarem di sekujur kaki, tak peduli seberapa hitam warna kulit bertransformasi, saya akan tetap melakukannya.
saya masih lebih mencintai pantai, tapi puncak gunung memberikan apa yang tidak pernah diberikan oleh hamparan laut: KEBANGGAAN.
2 komentar
Adis hebat, akhirnya nyampe di puncak Penanggungan juga... Harusnya pulang lewat jalur Jolo Tundo biar bisa lihat candi-candi peninggalan Majapahit...
BalasHapuswaah.. bang Rotua muncul lagi setelah sekian lama menghilang.
Hapusnamanya juga nyusup bang, asal ngikut aja jalur-jalurnya. hehe
btw ajak2 aku bang kalo ada puncak lain yg masuk akal aku daki :p hihihi
wanna say something? ^^