KOLABORASI, BUKAN KOMPETISI
Seorang
asisten dosen saat saya kuliah pernah mengatakan bahwa hidup ini tidak harus melulu
soal kompetisi. Justru menjadi sangat indah ketika itu bergeser menjadi sebuah
kolaborasi, begitu imbuhnya. Dengan mindset bahwa orang lain adalah seorang
pihak yang kita butuhkan untuk bekerja sama dan bukan seorang kompetitor maka
akan banyak irama perlakuan yang berubah. Tindakan selalu menyesuaikan mindset. Berikut adalah beberapa sikap
yang lahir atas sebuah kepercayaan sederhana: hidup ini bukan soal kompetisi.
1. Bahagia untuk kebahagiaan orang lain
Kita sudah
sering mendengar bahwa sahabat yang setia adalah mereka yang hadir bukan saja
saat bahagia namun juga kala susah. Itu sebuah doktrin lawas yang tanpa disadari
membuat kita sukarela mengangguk setuju atasnya. Namun ada satu pandangan lain
yang bagi saya pribadi patut dipikirkan ulang.
“hindari sepenuhnya orang yang hanya dekat-dekat
denganmu pada saat sedih, untuk menawarkan kata penghiburan. Sebab sesungguhnya
inilah yang mereka katakan dalam hati: “aku lebih kuat, aku lebih bijak”.
Dekat-dekatlah pada mereka yang ada di sampingmu saat masa bahagia, sebab
mereka tidak menyimpan iri dan dengki dalam diri mereka; yang ada hanya
sukacita melihatmu bahagia.”
Setahun
menjadi pengangguran, saya membuktikan teori non-mainstream dari penulis cerdas
Paulo Coelho ini benar adanya. Dalam masa sulit itu saya melihat beberapa orang
dengan setia menemani saya. Bukanlah hal yang buruk memang, namun justru
menjadi miris karena saat saya mendapatkan pencapaian, dia (atau mereka) seakan
absen. Ucapan “selamat” seakan terlalu mahal disampaikan. Singkatnya, bagi
sebagian orang, kesusahan orang lain adalah daya pikat tertentu sedangkan topik
keberhasilan cukup diambil lalu.
Memang bukan
berarti semua yang menawarkan penghiburan saat kesulitan datang harus
disinonimkan dengan keirian, tapi yang perlu digarisbawahi adalah penting untuk
memiliki kawan dan menjadi kawan yang dapat tulus bahagia atas keberhasilan
satu sama lain. Dari satu tahun masa gelap itu, saya belajar bahwa
sebenar-benarnya kawan adalah mereka yang ada di dua sisi hidup ini. Mereka
yang tidak tawar di masa susah saya dan juga tidak pahit atas sukses saya.
Mereka yang hadir baik di muram ataupun saat cemerlang. Saat kita memposisikan
orang lain sebagai kawan dan bukan objek kesombongan alias kompetitor kita,
maka tidak akan ada rasa iri dan tidak pula ada serpihan dengki atas
keberhasilan orang tersebut.
2. Memiliki rasa aman
Tidak
menjadikan orang lain sebagi kompetitor juga menghadirkan rasa aman. Sebuah
perasaan yang kerap absen di hingar-bingar hidup masa kini. Selain menjadi
bahagia atas pencapaian orang lain, rasa aman juga menggiring kita pada
penempatan diri yang tepat. Sebuah kombinasi rasa hormat terhadap orang lain,
yang dimulai dengan penghargaan akan diri sendiri.
Selalu,
terlalu mudah bagi siapapun masuk pada sebuah kubu ekstrim tertentu. Beberapa
orang sangat suka mencari kesalahan atau ketidakberesan atas suatu hal atau
atas seseorang. Dari penampilan, karya tangan, kinerja, bahkan postingan
instagram bisa jadi alasan untuk mencela. Sebagian yang lain terlalu mudah
memuji, sedikit-dikit kagum dan merasa wah dengan apa yang dimiliki orang lain
hingga sampai di titik lupa mensyukuri miliknya sendiri. Walau keduanya adalah ekstrim
yang bertolakbelakang namun menurut saya keduanya bersumber dari satu hal: rasa
tidak aman.
Saya pernah
memiliki seorang kawan yang demi mengemas hidupnya menarik, dia menampilkan
banyak kebohongan. Awalnya saya kagum bahkan sempat iri dengan kehidupannya,
namun setelah tahu itu semua hanya karangan, rasa iri berganti dengan kasihan.
Jauh lebih baik kita yang sudah merasa cukup asik dengan kehidupan ala kadarnya
tanpa sibuk menambah bumbu-bumbu dusta.
true! |
Melelahkan
sekali lho jika kita tergolong orang demikian. Kita jadi lupa bersyukur padahal
seharusnya kita tahu persis nilai diri kita. Seorang bijak pernah berkata bahwa
setelah Pencipta membuat setiap orang di dunia ini, Dia langsung menghancurkan
cetakannya. Artinya apa? Setiap orang sudah digariskan untuk unik! Karena itu,
sekarang waktunya kita mencintai diri kita dengan porsi yang tepat. Let
us never feel inferior nor superior.
3. Pick your inner circle
Bertemanlah dengan semua orang, tapi pilihlah
dengan siapa kamu bergaul
Saya tidak
percaya premis bahwa kita adalah tokoh tunggal yang memutuskan siapa diri kita.
Setiap karakter dan kebiasaan merupakan produk kombinasi lingkungan dan
karakter bawaan. Bagaimanapun kita perlu berhati-hati, Kita
menganggap semua orang adalah kawan, tapi kita tetap berkewajiban untuk memilah
dengan siapa kita akan berpartner karib. Kita memberikan senyum tulus kepada
semua orang namun menentukan dengan siapa kita akan masuk ke ruang rapat.
”be good for someone you don’t like it’s not fake, it simply you mature enough to keep your good attitude through your dislike.”
Kecerobohan
memilih rekan kerja sama saja sedang merusak investasi tertentu. Ini samasekali
bukan soal menemukan orang yang persis sama dengan kita. Ini tentang mereka
yang berbeda namun hadir idealisme senada, dengan karakter yang membangun, dan
minat yang saling nyambung. Misalnya
begini, idealisme tentang ketepatan waktu. Merepotkan bukan jika kita tergolong
disiplin dalam ketepatan waktu harus berpartner dengan mereka yang sangat abai
akan hal tersebut.
4. (a) Honest not rude
Sekali lagi
menjadi ekstrimis tertentu tidaklah bijak dalam pergaulan. Ekstrim pertama
adalah sebuah gelembung eksklusif. Hal itu seringnya diatasnamakan slogan “be yourself” atau “ini gaya gue!”. Pada
beberapa kasus lain, gelembung eksklusif itu berlabelkan “passion” atau “style”
yang membuat orang bangga menjadi nyeleneh
dan menolak segala hal yang terlihat mainstream. Sebenarnya ada pembeda besar
antara menjadi jujur mengekspresikan diri dengan menjadi tidak sopan. Garis
pembatasnya memang sangat tipis, tapi tetap berbeda. Kita boleh dan memang
harus memiliki minat khusus serta idealisme tertentu namun samasekali tidak
berarti kita harus dikekang oleh hal itu. Stay
current, kalau kata mbak Diana Rikasari. Tetap memberi makan minat kita sendiri tanpa menolak segala obrolan soal bidang lain, agaknya itu lebih tepat.
4. (b) never being hypocrite! Just adapt.
Ekstrim selanjutnya
adalah soal peleburan. Rasanya hampir mustahil untuk menihilkan ketidakcocokan
dalam sebuah pergaulan. Setiap orang punya berbagai faktor pembeda, katakanlah
soal karakter, kebiasaan, dan selera. Demi membuat harmoni kita dihadapkan pada
kewajiban untuk melebur. Kita memberikan ruang tertentu dalam diri kita untuk
diubah demi memberikan ruang bagi orang lain untuk menjadi dirinya sendiri. Bagaimanapun
itu tidak sinonim dengan kemunafikan. Melebur adalah produk dari kerendahan
hati dan adaptasi, berbeda dengan pemasangan seribu wajah hanya untuk selalu
diterima di segala lingkungan. Saya sepakat dengan kutipan pendek dari Paulo
Coelho, penulis favorit saya: “Jika kamu berusaha menyenangkan semua orang maka
kamu akan kehilangan hormat mereka.”
Suatu hari
saya pernah tertekan karena merasa begitu kesulitan untuk menjadi pribadi yang
menyenangkan bagi semua orang. Faktanya adalah it’s nice to be nice. Tapi ini fakta kedua: it’s wise to be wiser. Baik Riyan dan dua sahabat dekat saya
mengatakan hal yang sama persis malam itu: Tuhan
tidak pernah meminta saya untuk menjadi menyenangkan bagi semua orang. Saya
cukup harus melakukan yang BENAR. Karena akhirnya saya tidak bisa merangkul
SEMUA orang, hanya sebagian saja yang benar-benar dipercayakan Tuhan untuk
menjadi sahabat saya. Maka dari itu sangat penting untuk lebih berfokus menjaga
mereka yang hanya sebagian itu. Pesan itu meredefinisi arti persahabatan bagi
saya pribadi, dan pesan yang sama inilah yang ingin saya tegaskan kepada
siapapun yang terkadang merasakan hal yang serupa.
4. (Kesimpulan)
Like and dislike adalah sesuatu yang tidak
bisa dihindari, berita baiknya adalah tujuan hidup kita bukanlah untuk menjadi
disukai (apalagi dibenci). Memang hidup kadang memaksa kita menjadi multiperan.
Sesekali menjadi konyol, lain waktu menjadi serius penuh wibawa. Sesekali jadi
lincah selayaknya anak kecil lain waktu harus penuh bahasa kedewasaan. Itu
semua tergantung tempat, kondisi, dan dengan siapa kita sedang berhadapan. Itu semua
soal kemasan luar, bukan soal nilai diri pun bukan tentang prinsip dan
identitas. Kita menjadi fleksibel soal SIKAP tanpa menjadi bunglon soal PRINSIP. Kita perlu memiliki porsi yang tepat: antara
jujur namun tetap sopan dan melebur adaptif tanpa menjadi munafik.
---
0 komentar
wanna say something? ^^