Welcome to our website !

Tentang Sesuatu

Segalau apapun, pasti tetap tentang sesuatu, entah Tempat atau Teman, entah Pendapat atau Pengalaman.

Natal ini: saya malu jadi orang miskin

By Jumat, Desember 25, 2015 ,

Setahun lalu natal saya begitu kelabu. Tanpa pekerjaan yang artinya tanpa ada pundi rupiah di saku. Baju yang saya kenakan di natal tahun lalu tidak lain baju pinjaman dari kakak perempuan. Atasan putih dengan kain sifon lembut dan rok merah muda, saya masih ingat benar. Tahun lalu natal saya teramat sepi, tanpa sahabat, karena dua yang paling karib dengan saya sudah kembali ke tanah asalnya masing-masing. Walau kerap terdefinisikan sebagai sanguin bahkan ekstrovert bagi sebagian besar orang, namun keterampilan untuk memiliki teman sepenuhnya berbeda dengan keterampilan menjalin persahabatan. Saya tidak punya banyak sahabat. Tahun lalu juga tanpa pelayanan dan komunitas. Di natal itu hanya ada saya dan kekasih saya yang berdampingan memegang lilin dengan tatakan kertas berbentuk lingkaran berwarna coklat. Semua detail natal tahun lalu saya ingat dengan jelas. Siapa sangka menu tahun ini begitu berbeda.

Satu-satunya orang yang menemani saya di natal tahun lalu justru tidak ada di sisi. Namun semua yang absen tahun lalu, hadir saat ini. Ada pelayanan, ada sahabat datang, ada pekerjaan, dan pastinya ada baju baru.

Keuangan saya di bulan ini meningkat tajam, pikiran saya mulai menjelajah untuk membuat daftar apa saja yang ingin saya beli. Sebotol parfum merk tertentu yang telah mencuri hati saya bertahun-tahun lalu, beberapa perlengkapan basic make-up, dan  beberapa potong pakaian. Lalu teringat juga bahwa sepatu cantik saya sudah tergolong usang walau memang masih layak pakai, jika ada uang lebih mungkin saya akan membeli sepasang yang baru, begitu monolog pikiran saya. Rasanya tidak berdosa untuk sesekali memanjakan diri, pembelaan diri muncul. Sebulan penuh juga saya terus berpikir soal iPhone baru. Satu barang utama yang ingin saya beli.

Rencana mengunjungi pusat perbelanjaan saya atur dalam jadwal. Rencananya sepulang ibadah hari minggu. Tepatnya di advent ketiga. Saya dengan sengaja mengatur jadwal ibadah pagi agar ada sisa waktu untuk merealisasikan apa rencana yang ada di angan. “tangan yang penuh kebaikan” begitu tema ibadahnya. Ketika Firman diberitakan, dengan pemaparan, visualisasi, dan bumbu-bumbu humor, ada satu hati yang tertuntuk lesu.  Saya diam. Rencana ke mall saya batalkan dan saya bergegas pulang.

Di tepi kasur saya duduk, lalu menunduk. Saya melihat malu pada apa yang saya pikirkan sehari lalu soal apa-apa saja yang hendak saya beli. Natal sempat beralih makna, dari “memberi” menjadi “memanjakan diri.” Sejujurnya saya merasa begitu berdosa, entah naluri konsumtif dari mana yang timbul di diri Claudya ini. Biasanya saya tidak begini, saya tidak suka belanja, saya merasa baik-baik saja dengan hidup yang minimalis, dan sungguh syarat hidup saya sangatlah ringan.

Sore itu menjadi titik balik saya menghayati natal ini. Entah ide darimana, saya tergelitik membuka lemari baju saya dan disana saya temukan tumpukan pakaian yang lebih dari cukup. Di samping lemari saya memiliki dua kardus pakaian yang bahkan tidak pernah saya gunakan lagi. Lucu sekali saya merasa tidak punya cukup pakaian, kecuali memang arwah keserakahan sedang hinggap.

Dulu saat kuliah saya pernah menjual baju-baju saya bersama dua sahabat saya, mengumpulkan pundi rupiah lalu membelikan cemilan-cemilan kecil untuk dibagi di orang-orang segang kosan dari anak-anak hingga manula. Pernah pula saya berjualan online hanya untuk bisa berbagi sembako saat natal seperti ini. Tanpa gaji, sebagai mahasiswa perantauan dengan uang bulanan tidak lebih dari satu juta, saya bisa berbuat banyak bagi orang lain. Kini adiss telah jatuh miskin dengan gaji diatas UMR setiap bulannya.
Orang dikatakan kaya bukan karena memiliki banyak namun karena sanggup memberi banyak. Saya malu ke Tuhan dan diri sendiri.




Sendirian saya mengambil waktu untuk merenung. Kita kadang terlalu larut dalam hingar bingar natal hingga lupa apa makna natal sesungguhnya, apa yang terbesar harus kita koreksi di penghujung tahun, apa yang Tuhan rindu kita lakukan.

Dengan tanda tanya saya keheranan kenapa saya menjadi begitu ingin tampil cantik dengan pakaian up-to-date. Tidak lain adalah karena saya melihat betapa banyak kawan saya yang bisa berpenampilan menawan dan saya tidak. Iri, selalu jadi masalah saya sejak dulu. parahnya itu membuat saya menjadi orang yang pelit berbagi. Saya telah menjadi seburuk-buruknya manusia dan semiskin-miskinnya pribadi.
Kita tidak bisa berbagi bukan karena kita kurang memiliki, namun karena lupa seberapa banyak kita sudah diberkati.
Ingatan saya melangkah mundur dan mengurai kebaikan Tuhan di masa lampau dengan mengijinkan saya mencicipi banyak pengalaman yang saya rindukan; ikut sidang PBB, mengajar di pedalaman dan berlayar, lulus usia 20tahun, kerja sebelum sarjana, hingga melayani lewat menulis, semua yang sekedar saya ucapkan sebagai kerinduan, Dia kabulkan. Saya ingat sekali telah menulis “ke ranukumbolo” di 12 Juli 2014, Dia kabulkan tepat dua minggu setelahnya. Saya dibawa ke momen saat saya mendapatkan helm keroppi dengan keajaiban. Dari dulu banyak kawan seiman saya berujar soal saktinya doa saya, karena mereka terus menyaksikan betapa banyak pengabulan doa yang saya nikmati. Faktanya adalah itu semua TIDAK PERNAH saya doakan. Saya tidak pernah meminta, percayalah! Saya hanya berkeinginan dan Tuhan terlewat baik mengabulkan itu sebagai kenyataan. Inilai prinsip saya (dulu): “lupakanlah dirimu, maka Dia akan mengingatmu.”

Tahun ini prinsip itu terbuai dengan banyak godaan komparasi, hingga saya terlalu fokus dengan diri sendiri. Citra diri saya sempat terdistraksi dengan banyak hal di dunia maya. As we grow older, as we financially improve and have more access to the many things this world has to offer, it’s really easy to get carried away and forget our identity.

Akhirnya saya berdamai, sejumlah uang yang awalnya ingin saya habiskan sendiri saya belokkan untuk melakukan misi “menjadi berkat” dan damai sejati hadir. Sebuah keasyikan tersendiri untuk meletakkan diri kita di urutan terakhir. Memang adalah jauh lebih bahagia untuk memberi daripada menerima. Kepuasan itu nyata. Sebelum natal hati saya babak belur, dan tepat saat natal tiba hati yang hancur itulah yang saya bawa, sebuah bentuk hati yang paling cocok dalam menyambut kelahiranNya: Hati yang remuk dan siap dibentuk kembali.

You Might Also Like

1 komentar

wanna say something? ^^