Natal ini: saya malu jadi orang miskin
Setahun lalu
natal saya begitu kelabu. Tanpa pekerjaan yang artinya tanpa ada pundi rupiah
di saku. Baju yang saya kenakan di natal tahun lalu tidak lain baju pinjaman
dari kakak perempuan. Atasan putih dengan kain sifon lembut dan rok merah muda,
saya masih ingat benar. Tahun lalu natal saya teramat sepi, tanpa sahabat,
karena dua yang paling karib dengan saya sudah kembali ke tanah asalnya masing-masing. Walau kerap terdefinisikan sebagai sanguin bahkan ekstrovert bagi sebagian besar
orang, namun keterampilan untuk memiliki teman sepenuhnya berbeda dengan
keterampilan menjalin persahabatan. Saya tidak punya banyak sahabat. Tahun lalu
juga tanpa pelayanan dan komunitas. Di natal itu hanya ada saya dan kekasih
saya yang berdampingan memegang lilin dengan tatakan kertas berbentuk lingkaran
berwarna coklat. Semua detail natal tahun lalu saya ingat dengan jelas. Siapa
sangka menu tahun ini begitu berbeda.
Satu-satunya
orang yang menemani saya di natal tahun lalu justru tidak ada di sisi. Namun
semua yang absen tahun lalu, hadir saat ini. Ada pelayanan, ada sahabat datang,
ada pekerjaan, dan pastinya ada baju baru.
Keuangan
saya di bulan ini meningkat tajam, pikiran saya mulai menjelajah untuk membuat
daftar apa saja yang ingin saya beli. Sebotol parfum merk tertentu yang telah
mencuri hati saya bertahun-tahun lalu, beberapa perlengkapan basic make-up, dan beberapa
potong pakaian. Lalu teringat juga bahwa sepatu cantik saya sudah tergolong usang
walau memang masih layak pakai, jika ada uang lebih mungkin saya akan membeli
sepasang yang baru, begitu monolog pikiran saya. Rasanya tidak berdosa untuk
sesekali memanjakan diri, pembelaan diri muncul. Sebulan penuh juga saya terus
berpikir soal iPhone baru. Satu barang utama yang ingin saya beli.
Rencana mengunjungi
pusat perbelanjaan saya atur dalam jadwal. Rencananya sepulang ibadah hari
minggu. Tepatnya di advent ketiga. Saya dengan sengaja mengatur jadwal ibadah
pagi agar ada sisa waktu untuk merealisasikan apa rencana yang ada di angan. “tangan
yang penuh kebaikan” begitu tema ibadahnya. Ketika Firman
diberitakan, dengan pemaparan, visualisasi, dan bumbu-bumbu humor, ada satu
hati yang tertuntuk lesu. Saya diam. Rencana
ke mall saya batalkan dan saya bergegas pulang.
Di tepi
kasur saya duduk, lalu menunduk. Saya melihat malu pada apa yang saya pikirkan
sehari lalu soal apa-apa saja yang hendak saya beli. Natal sempat beralih makna, dari “memberi” menjadi “memanjakan diri.”
Sejujurnya saya merasa begitu berdosa, entah naluri konsumtif dari mana yang
timbul di diri Claudya ini. Biasanya saya tidak begini, saya tidak suka
belanja, saya merasa baik-baik saja dengan hidup yang minimalis, dan sungguh
syarat hidup saya sangatlah ringan.
Sore itu
menjadi titik balik saya menghayati natal ini. Entah ide darimana, saya
tergelitik membuka lemari baju saya dan disana saya temukan tumpukan pakaian
yang lebih dari cukup. Di samping lemari saya memiliki dua kardus pakaian yang
bahkan tidak pernah saya gunakan lagi. Lucu sekali saya merasa tidak punya
cukup pakaian, kecuali memang arwah keserakahan sedang hinggap.
Dulu saat
kuliah saya pernah menjual baju-baju saya bersama dua sahabat saya,
mengumpulkan pundi rupiah lalu membelikan cemilan-cemilan kecil untuk dibagi di
orang-orang segang kosan dari anak-anak hingga manula. Pernah pula saya
berjualan online hanya untuk bisa berbagi sembako saat natal seperti ini. Tanpa
gaji, sebagai mahasiswa perantauan dengan uang bulanan tidak lebih dari satu
juta, saya bisa berbuat banyak bagi orang lain. Kini adiss telah jatuh miskin
dengan gaji diatas UMR setiap bulannya.
Orang dikatakan kaya bukan karena memiliki banyak namun karena sanggup memberi banyak. Saya malu ke Tuhan dan diri sendiri.
Sendirian saya mengambil waktu untuk merenung. Kita kadang terlalu larut dalam hingar bingar
natal hingga lupa apa makna natal sesungguhnya, apa yang terbesar harus kita
koreksi di penghujung tahun, apa yang Tuhan rindu kita lakukan.
Dengan tanda tanya saya keheranan kenapa saya menjadi begitu ingin tampil cantik dengan pakaian
up-to-date. Tidak lain adalah karena saya melihat betapa banyak kawan saya yang
bisa berpenampilan menawan dan saya tidak. Iri, selalu jadi masalah saya sejak dulu. parahnya itu membuat saya menjadi
orang yang pelit berbagi. Saya telah menjadi seburuk-buruknya manusia dan
semiskin-miskinnya pribadi.
Kita tidak bisa berbagi bukan karena kita kurang memiliki, namun karena lupa seberapa banyak kita sudah diberkati.
Ingatan saya melangkah mundur dan mengurai kebaikan Tuhan di masa lampau dengan mengijinkan
saya mencicipi banyak pengalaman yang saya rindukan; ikut sidang PBB, mengajar di pedalaman dan berlayar, lulus usia 20tahun, kerja sebelum sarjana, hingga melayani lewat menulis, semua yang sekedar saya ucapkan
sebagai kerinduan, Dia kabulkan. Saya ingat sekali telah menulis “ke ranukumbolo”
di 12 Juli 2014, Dia kabulkan tepat dua minggu setelahnya. Saya dibawa ke momen
saat saya mendapatkan helm keroppi dengan keajaiban. Dari dulu banyak kawan
seiman saya berujar soal saktinya doa saya, karena mereka terus menyaksikan
betapa banyak pengabulan doa yang saya nikmati. Faktanya adalah itu semua TIDAK
PERNAH saya doakan. Saya tidak pernah meminta,
percayalah! Saya hanya berkeinginan dan Tuhan terlewat baik mengabulkan itu
sebagai kenyataan. Inilai prinsip saya (dulu): “lupakanlah dirimu, maka Dia
akan mengingatmu.”
Tahun ini
prinsip itu terbuai dengan banyak godaan komparasi, hingga saya terlalu fokus
dengan diri sendiri. Citra diri saya sempat terdistraksi dengan banyak hal di
dunia maya. As we grow older, as we
financially improve and have more access to the many things this world has to
offer, it’s really easy to get carried away and forget our identity.
Akhirnya saya
berdamai, sejumlah uang yang awalnya ingin saya habiskan sendiri saya belokkan
untuk melakukan misi “menjadi berkat” dan damai sejati hadir. Sebuah keasyikan tersendiri untuk meletakkan diri kita di urutan terakhir. Memang adalah
jauh lebih bahagia untuk memberi daripada menerima. Kepuasan itu nyata. Sebelum
natal hati saya babak belur, dan tepat saat natal tiba hati yang hancur itulah
yang saya bawa, sebuah bentuk hati yang paling cocok dalam menyambut kelahiranNya:
Hati yang remuk dan siap dibentuk kembali.
1 komentar
Iseng buka kak, keren 👍👍👍
BalasHapuswanna say something? ^^