Welcome to our website !

Tentang Sesuatu

Segalau apapun, pasti tetap tentang sesuatu, entah Tempat atau Teman, entah Pendapat atau Pengalaman.

Surat dari Praha: Cinta, Musik, Sejarah

By Minggu, April 24, 2016 ,

Ijinkan saya bertanya, di sepertiga tahun 2016 ini, film Indonesia apa yang sudah Anda tonton di bangku bioskop? Kalau saya, "Surat dari Praha" adalah jawabannya. Saya tidak menyesal bahkan faktanya saya begitu terkesan.

Film yang sahabat saya pilih ini merupakan sebuah film yang diinspirasi sebuah kisah nyata. Saya setuju dengan pilihannya dan kami segera bergegas menuju bangku B9-B10 ditemani seporsi kecil pop corn yang agak kelewat asin.

Awal kisah dimulai dari pesan almarhum Sulastri yang diperankan oleh Widyawati kepada anak gadisnya, Larasati, yang diperankan oleh Julie Estelle untuk menghantarkan sebuah kotak dan sepucuk surat untuk Jaya yang dimainkan apik oleh Tyo Pakusadewo di Praha. Berbeda dengan film lain yang menjadikan negera lain menjadi latar, film ini saya acungi jempol karena memperlihatkan sisi sehari-hari sebuah negara dan bukan hanya disorot bagian indahnya saja. Bertabur bintang dengan kemampuan akting sangat natural menambah pesona film ini.

Secara alur dan permainan konflik memang cenderung datar, sehingga kesan dramatisasi klimaks jauh dari film ini. Semua disodorkan alami dan membuat saya sebagai penonton menikmati setiap jengkal permainan kalimat indah namun penuh bobot pesan. Kesempatan jeli mendengar setiap kutipan di film ini akhirnya membuat saya semakin mencintai bahasa persatuan kita: bahasa Indonesia.

Lewat film ini saya begitu mengagumi beberapa fakta sejarah perpolitikan Indonesia yang membuat saya bergelut antara sedih, marah, dan simpatik. Om Jaya merupakan satu di antara banyaknya nasionalis Indonesia yang akhirnya terasingkan bahkan kehilangan kewarganegaraan karena menolak orde baru.

Larasati : apakah Om pernah menyesal dengan pilihan Om?

Om Jaya : tidak pernah. Saya melakukannya dengan kesadaran sehingga tidak perlu ada yang disesalkan. Memang begitu harga keyakinan, harus mahal, tidak boleh murah. Semakin mahal semakin berharga.

Adegan itu membuat saya terkagum akan banyak tokoh di masa perjuangan Indonesia yang begitu mantab akan keyakinannya, bukan nyaman di zona abu-abu. Di adegan yang lain saya dipaksa berdecak kagum menyimak kisah om Jaya dan tiga kawan Indonesia yang mengalami nasib serupa. Mereka dahulu naik kapal dari Medan melewati terusan Suez hingga sampai ke Praha, mendapatkan beasiswa. Sampai akhirnya berkecamuk transisi rezim dan membuat mereka berempat mantab menolak orde baru.


"Kami menolak orde baru namun kami bukan Komunis. Kami NASIONALIS" begitu kata Om Jaya yang saya yakini mewakili banyak suara korban orde baru dulu. Mereka yang dipenjara bahkan mati tanpa diadili.

Mereka menjadi stateless alias kehilangan kewarganegaraan. Iya, mereka ditolak oleh tanah air sendiri. Hingga predikat sarjana teknik nuklir tidak lagi bermakna dan menjadikan om Jaya berkarir sebagai janitor seumur hidupnya. Fakta ini membuat saya menilik ulang arti nasionalisme dan bertanya bagaimana seharusnya respon yang memadai dari pemerintah atas nasionalisme murni seperti ini. Pesan 'cintai tanah airmu' tersirat tepat di hati. Bumbu sejarah yang tepat pada porsinya menjadi pesona utama film ini, selain soal nostalgia cinta pastinya.


Om Jaya : "saya berjanji ke Sulastri dua hal. Satu, saya akan menikahinya. Dua, saya akan mencintainya seumur hidup saya. Namun nasib hidup membuat saya hanya bisa memenuhi janji yang kedua."

Nostalgia cinta di film ini tergolong klasik, namun moral yang saya petik adalah bagaimana 'ikhlas' dan 'memaafkan diri sendiri' tidak selalu datang berpasangan. Film ini tidak mengemas sesuatu menjadi super idealis, justru sangat mengena karena kenyataannya ketika kita ikhlas tidak serta-merta lahir kemampuan memaafkan diri sendiri. Pesan cinta yang kedua adalah tentang bagaimana ketulusan menggerakkan orang untuk tetap setia jauh melebihi apa yang pernah diminta.

sumber gambar: www.rappler.com

Unsur kuat lain di film ini adalah musik gubahan Glenn Fredly. Sangat Indah. Favorit saya adalah Sabda Rindu. Puitis nan merdu. Satu lagi perihal musik di film ini: permainan harmonika! Piano, gitar, bahkan biola, sudah kerap hadir di layar perfilman, namun Harmonika? Cerdas! Berbeda, namun tetap kontekstual dan memperkuat sense musik disana.


Akhirnya saya tidak menyesal samasekali merogoh kocek untuk menikmati karya anak bangsa seperti ini. Saya ingat perkataan Joko Anwar "kalimat -untuk ukuran Indonesia, lumayan lah- adalah kalimat yang merendahkan bangsa sendiri. Sebuah kebiasaan yang harus dihentikan." Saya sepakat. Saya menilai film ini tidak lebih rendah saat saya terkagum dengan berbagai film hollywood lain. Sebuah karya yang layak diapresiasi dan diteruskan jejaknya.
#HariFilmNasional 

You Might Also Like

0 komentar

wanna say something? ^^