Kompleksitas Manis Hukum Tabur Tuai
“tabur yang baik, maka kamu juga akan menuai yang baik.”
Ponsel
lama saya akhirnya pensiun, setelah saya mendapat sebuah ponsel baru.
Dibandingkan menjual, saya memilih memberinya sebuah cuti di laci. Saya hanya
ingin (sekaligus yakin) suatu hari jika ada seorang kerabat membutuhkan alat
komunikasi secara mendesak, ponsel putih itu dapat unjuk gigi. Ternyata benar,
seorang teman terpaksa merawat-inap-kan ponsel pintarnya. Saya tawarkan ponsel lama
saya untuk dipinjam. Saya sedang berusaha berbuat baik. Apakah untuk menabur?
Dalam bulan ini saya sudah dua kali menampung adek kelas dari luar kota untuk menginap karena ada keperluan di Surabaya. Menjadi tuan rumah sebaik mungkin, jelas merupakan hasrat tersendiri. Menjemput, mengantar, dan menemani ke destinasi yang ingin dituju. Saya juga sedang berusaha berbuat baik disini. Apakah untuk menabur?
Dalam bulan ini saya sudah dua kali menampung adek kelas dari luar kota untuk menginap karena ada keperluan di Surabaya. Menjadi tuan rumah sebaik mungkin, jelas merupakan hasrat tersendiri. Menjemput, mengantar, dan menemani ke destinasi yang ingin dituju. Saya juga sedang berusaha berbuat baik disini. Apakah untuk menabur?
"Dis anterin dong kesana.."
"Dis
bisa ga jemput aku disini?"
Jika
tidak ada halangan, permintaan mengantar alias nebengi tidak akan saya tolak.
Kadang capek, tapi toh tidak rugi apapun bagi saya. Saya sedang berusaha
berbuat baik sekali lagi. Apakah untuk menabur?
TIDAK! Saya tidak sedang berusaha menabur. Saya hanya sekedar meneruskan sebuah benih ke orang lain. Saya hanya berusaha sekedar TAHU DIRI.
TIDAK! Saya tidak sedang berusaha menabur. Saya hanya sekedar meneruskan sebuah benih ke orang lain. Saya hanya berusaha sekedar TAHU DIRI.
Kenapa begitu?
Saat
saya mengurungkan niat menjual HP lama, saya hanya teringat pada sahabat saya
dulu: Chyntia namanya. Dulu saya kuliah dengan modal super pas-pasan, sehingga tidak punya cukup uang untuk mengganti HP bobrok saya. Saat itu dia dengan besar hati
meminjamkan HP lamanya berbulan-bulan. Tanpa sedikitpun ongkos
Saat saya menerima adek kelas untuk menginap, pikiran saya hanya tertuju pada satu nama: Sinta. Dia berkali-kali harus saya repotkan selama saya sibuk menyandang status jobseeker dan singgah ke Jakarta. Bukan hanya menampung, namun memberikan perlakuan yang selalu menyenangkan. Bahkan pernah suatu waktu di tengah hujan dia membagi payungnya hanya untuk mengantar saya ke stasiun KRL.
Saat saya memilih untuk mengantar teman ke berbagai tempat, saya dibawa pada kenangan saat saya diantar oleh Artha, kak Ajeng, dan pastinya Helen. Entah berapa kali saya nebeng. Di tengah kesibukan masing-masing, mereka selalu menyediakan waktu untuk mengantar.
Pada akhirnya tiga kebaikan yang saya sebut tadi samasekali bukan bentuk menabur, tapi wujud tahu diri. Sebagai orang yang sudah menerima kebaikan, selayaknya juga membagi kebaikan serupa.
Mungkin Chyntia, Sinta, Artha, kak Ajeng, Helen, tidak menerima tuaian dari taburannya secara langsung dari saya. Terkesan saya sedang salah alamat dalam membalas budi, tapi itu karena saya ingin memastikan bahwa benih kebaikan mereka dicicipi banyak orang lain.
Pay
it forward kalau istilah kerennya.
Meneruskan kebaikan kepada orang lain dan menjadikan kebaikan tersebut terus
menyebar. Hukum tabur tuai itu bukan mentah-mentah menabur lalu pasti menuai
dari orang yang sama. Tidak sepolos itu. Namun percayalah kebaikan yang sudah
ditabur tidak akan pernah sia-sia. Sekali-kalipun tidak pernah sia-sia.
Ini
memang berawal dari hukum tabur tuai yang dikenal dalam berbagai agama dan
kebudayaan. Kita ditanamkan keyakinan bahwa benih yang baik akan menghasilkan
panenan yang baik, dan sebaliknya pula. Anggapan itu menyemangati kita untuk
menabur sebanyak mungkin benih kebaikan, atas dasar sebuah keyakinan bahwa
suatu hari kita akan menuai hasilnya. Hasil yang baik. Hasil yang tidak
mengecewakan.
Faktanya
beberapa orang menganggap utopis prinsip ini. Kenapa? Karena mereka pernah atau
bahkan sering dikecewakan. Jika tidak salah, kutipan yang sering mereka
cantumkan senada demikian "adalah
bodoh untuk mengharap orang lain kembali baik pada kita, setelah kita berbuat
baik pada mereka. Seperti percaya bahwa seekor singa tidak akan memangsa kita,
hanya karena kita tidak memangsa mereka".
Banyak kekecewaan. Merasa sudah berlaku baik ke seseorang tapi tidak merasa ada pengembalian setimpal dari orang yang sama. Kebaikan yang bertepuk sebelah tangan tampak begitu menyakitkan. Padahal prinsip tabur tuai sebenarnya jauh lebih agung dari insting sok tahu manusia.
Tiga cerita soal benih kebaikan diawal cerita ini membuat saya makin mantab dengan kebenaran bahwa benih kebaikan itu tidak akan terbuang percuma, terlepas jika orang yang menerima benih itu tidak dapat memberikan balas budi yang memadai secara langsung. Jangan jemu berbuat baik karena apabila sudah datang waktunya kita akan menuai.
FREE HAIRCUT FOR HOMELESS Source: www.takepart.com |
Kita tidak bisa memastikan dari siapa tuaian itu, seberapa subur benih itu, semanis apa buahnya, dan seberapa banyak panenannya. Bukan bagian kita untuk menebak apalagi mengatur, bagian kita adalah menggerakkan tangan terus untuk menabur benih baik. Toh sebenarnya kita tidak murni sedang menyemai benih, kadang kita hanya sekedar meneruskan benih itu dari seseorang ke orang lain.
"Help people, even when you know they can't help you back. Because helping people, can be a cure. Not just for those who in need but for your soul as well." -Marinela Reka
1 komentar
ijin share ya dis di FB..
BalasHapuswanna say something? ^^