Welcome to our website !

Tentang Sesuatu

Segalau apapun, pasti tetap tentang sesuatu, entah Tempat atau Teman, entah Pendapat atau Pengalaman.

Ketika Tuhan tak Jago Membaca Peta

By Jumat, Agustus 19, 2016

“Kemudian Yesus meninggalkan pula daerah Tirus dan dengan melalui Sidon pergi ke danau Galilea, di tengah-tengah daerah Dekapolis” -Markus 7:31

Ayat ini bukanlah sebuah baris kata yang meaningful jika hanya ditengok sekilas. Bukan sebuah penguatan iman, kalimat janji, ataupun sebuah penghiburan. Ini hanyalah catatan rute pelayanan Yesus. Sekedar rute, jika kita sekedar membaca tanpa menyediakan waktu melihat konteks sesungguhnya.



Mari kita mulai dengan melihat peta. Dari Tirus menuju danau Galilea dengan melalui Sidon. Tidakkah kita pikir ini adalah sebuah rute yang sangat tidak efektif? Apakah Yesus sang Pencipta semesta harus kembali belajar membaca peta?

Sekali-kalipun tidak.

Sidon seakan sebuah persinggahan sebelum menuju ke Danau Galilea.
Apa artinya singgah? Singgah bermakna kita harus berhenti sejenak. Sebuah persinggahan tidak mengubah tujuan utama, namun menjadi titik dan waktu pemberhentian sebelum menuju tujuan akhir itu sendiri.
Hampir sama dengan hidup ini. Masing-masing kita agaknya pernah singgah. Sama seperti Tuhan melakukannya ribuan tahun lalu, Diapun mengijinkan hal itu di skenario-Nya bagi kita. Jika direfleksikan ke diri saya sendiri, saya mengintisarikan bahwa setidaknya ada tiga alasan kenapa Tuhan menghadirkan sebuah persinggahan.


  1. Membabat Kesombongan
Dua tahun lalu saya menjalani masa satu tahun penuh sebagai pengangguran setelah 16 bulan menjadi tenaga pengajar. Eh ndelalah saya kembali menjadi guru. Sebuah kesia-siaan bukan?

Satu tahun itu adalah sebuah masa singgah bagi saya. Masa singgah yang melelahkan, sejujurnya. Setelah saya memurnikan hati dan melihat masa satu tahun itu dengan jernih, saya mengakui bahwa keputusan saya untuk resign awalnya disponsori kesombongan. Dua hal yang saya sombongkan: bahwa mendapatkan pekerjaan adalah hal mudah dan bahwa saya bisa memiliki pekerjaan yang jauh lebih keren dibandingkan hanya menjadi seorang guru.

Hari ini saya dapat melihat secara nyata bahwa satu tahun sebagai jobless tidak sia-sia samasekali. Tidak enak, tapi bermakna. Di masa itu segala kesombongan saya dibabat habis. Dengan segala kedaulatanNya -yang selalu saya kagumi- saya mendapati ada mindset yang sedang diporak-porandakan. Dari anggapan bahwa menjadi guru adalah hal hina hingga soal remehnya mendapatkan pekerjaan.

Sekali lagi saya katakan, kesombongan saya sedang dibabat habis.

Ketika kita berhenti sejenak, kita punya waktu untuk menilik ulang cara pandang kita. Memang saya akhirnya kembali menjadi guru di tempat yang sama persis, tapi saya kembali dengan sebuah pola pikir yang tak lagi sama.



2.  Melatih Kegigihan

Melepas masa SMA, pergumulan penat yang harus saya (dan ribuan orang lain) hadapi adalah masuk Universitas. Saat itu saya dihadapkan kegagalan untuk masuk jalur prestasi di Unair. Jurusan HI yang saya impikan tidak dengan mulus diraih. Kegagalan itu membuat saya singgah ke UM UGM, Simak UI, hingga PMDK umum Unair. Semua ditolak. Tanpa bimbel, saya terus belajar hingga akhirnya berhasil masuk lewat SNMPTN.

Uniknya, baik PMDK prestasi dan SNMPTN keduanya membebankan uang kuliah yang tidak berbeda barang sepeserpun. Apa intinya? Toh sama saja sebenarnya, HI Unair. Kenapa Tuhan tidak membuat saya langsung berhasil di awal? Akan jauh lebih praktis, bukan?

Sayangnya, Pencipta kita mengetahui persis arti penting sebuah proses. Dia menciptakan semesta tidak serta-merta dengan hentakan jari, bahkan walaupun Dia bisa. Dia menggunakan 7 hari, tak lain menekankan bahwa menjadi praktis bukanlah sebuah tujuan. Tetap masuk HI unair, namun dengan sebuah latihan kegigihan.

Persinggahan sekitar tiga bulan ini juga mengajarkan bahwa impian tak pernah gratis didapatkan.





3. Menguji Refleks Iman

Kadang sebuah persinggahan dapat berumur setahun, beberapa bulan, atau bahkan beberapa jam saja! Begitu pula yang saya alami bersama rekan terkasih saya. Kadang Tuhan memang humoris, ketika Dia membuat kami kaget bahkan deg-degan penuh kecemasan.

Waktu itu, ketika Riyan hendak memulai KPR, kami bergumul untuk jangka waktu KPR maksimal 15 tahun, untung-untung jika diijinkan kurang dari itu. Malam itu kami tutup dengan doa, dan keesokannya nego dimulai.

Saat itu hari Jumat, saya ingat benar, tiba-tiba HP saya berdering. Riyan di seberang sana dengan nada getir menceritakan apa yang terjadi. Pihak bank menolak pengajuan 15 tahun dan menjadikannya 20 tahun. Saya begitu kaget dan berbalut kecewa, tapi siang itu saya hanya mengajak Riyan berdoa. Kami belajar pasrah sambil mengajukan banding. Kami masih mantab dengan angka 10-15 tahun, yang berarti jika Bank masih kekeuh maka kami akan melepas rumah itu.

Konon banding dengan Bank akan memakan proses 3-7 hari. Ajaibnya saat itu, hanya beberapa jam berselang, pihak bank menyetujui di angka 12 tahun. Saat itu kami hanya tertawa haru bercampur geli. “Tuhan sedang bercanda ama kita,” begitu celetuk kami berdua.

Walau beberapa jam saja, bagi kami itupun sebuah persinggahan. Durasi sekitar 180 menit itu menguji refleks iman kami, apakah menggerutu atau penuh ketakutan atau justru aktif dalam kepasrahan iman.



Walau tiga persinggahan yang saya bagi memiliki alasan dan durasi yang berbeda, ketiganya menuntut satu hal yang sama: sikap yang tepat.

Ketika Tuhan seakan sedang mengajak kita berputar, ketika Dia mengijinkan perjalanan yang seakan tak efektif terjadi, bagaimana sikap kita? Apakah kita mau menginsafi sebuah proses atau justru berbantah? Apakah kita dengan lapang dada berkata “terjadilah seturut kehendakMu” atau justru ngotot dengan rencana diri sendiri.

“Sidon” setiap orang berbeda, ada soal putus cinta, penyakit, kegagalan, dan banyak hal lain. Tapi lagi-lagi kesamaannya adalah pasti ada sesuatu yang Tuhan ingin kita pelajari.

Ayat 37 di perikop ini menutup dengan sangat manis, bahwa rute tak efektif dan persinggahan yang kadang melelahkan itu selalu bersumber satu janji sentral: Dia menjadikan segala-galanya baik!


Kita tidak bisa mengatur persinggahan kita, tapi kita selalu bisa menentukan bagaimana sikap saat singgah. 



*Perikop yang saya angkat ini adalah sebuah ayat personal dalam perjalanan iman saya. Dalam kurun waktu delapan hari, saya mendengarkan dan membaca pendalaman soal perikop ini di banyak sisi yang berbeda. Dimulai dari sharing khotbah GPIB lewat Riyan, renungan pagi guru dari khotbah Gereja Katolik, notes facebook seorang kawan dari HKBP Denpasar, renungan harian penuntun saat teduh, hingga ditutup saat saya mendengarkan sendiri di GKI Ressud. Bagi saya, diperlukan lebih dari sekedar kebetulan untuk membuat pengulangan intens semacam ini.


You Might Also Like

0 komentar

wanna say something? ^^