Ketika Tuhan tak Jago Membaca Peta
“Kemudian Yesus meninggalkan pula daerah Tirus dan dengan melalui Sidon pergi ke danau Galilea, di tengah-tengah daerah Dekapolis” -Markus 7:31
Ayat ini bukanlah sebuah baris kata yang meaningful jika hanya ditengok sekilas.
Bukan sebuah penguatan iman, kalimat janji, ataupun sebuah penghiburan. Ini
hanyalah catatan rute pelayanan Yesus. Sekedar rute, jika kita sekedar membaca
tanpa menyediakan waktu melihat konteks sesungguhnya.
Mari kita mulai dengan melihat peta. Dari Tirus menuju danau Galilea dengan
melalui Sidon. Tidakkah kita pikir ini adalah sebuah rute yang sangat tidak
efektif? Apakah Yesus sang Pencipta semesta harus kembali belajar membaca peta?
Sekali-kalipun tidak.
Sidon seakan sebuah persinggahan sebelum menuju ke Danau Galilea.
Sidon seakan sebuah persinggahan sebelum menuju ke Danau Galilea.
Apa artinya
singgah? Singgah bermakna kita harus berhenti sejenak. Sebuah persinggahan tidak
mengubah tujuan utama, namun menjadi titik dan waktu pemberhentian sebelum
menuju tujuan akhir itu sendiri.
Hampir sama dengan hidup ini. Masing-masing
kita agaknya pernah singgah. Sama seperti Tuhan melakukannya ribuan tahun lalu, Diapun
mengijinkan hal itu di skenario-Nya bagi kita. Jika direfleksikan ke diri saya
sendiri, saya mengintisarikan bahwa setidaknya ada tiga alasan kenapa Tuhan menghadirkan
sebuah persinggahan.
- Membabat Kesombongan
Dua tahun
lalu saya menjalani masa satu tahun penuh sebagai pengangguran setelah 16 bulan
menjadi tenaga pengajar. Eh ndelalah
saya kembali menjadi guru. Sebuah kesia-siaan bukan?
Satu tahun itu adalah sebuah masa singgah bagi saya. Masa singgah yang melelahkan, sejujurnya. Setelah saya memurnikan hati dan melihat masa satu tahun itu dengan jernih, saya mengakui bahwa keputusan saya untuk resign awalnya disponsori kesombongan. Dua hal yang saya sombongkan: bahwa mendapatkan pekerjaan adalah hal mudah dan bahwa saya bisa memiliki pekerjaan yang jauh lebih keren dibandingkan hanya menjadi seorang guru.
Satu tahun itu adalah sebuah masa singgah bagi saya. Masa singgah yang melelahkan, sejujurnya. Setelah saya memurnikan hati dan melihat masa satu tahun itu dengan jernih, saya mengakui bahwa keputusan saya untuk resign awalnya disponsori kesombongan. Dua hal yang saya sombongkan: bahwa mendapatkan pekerjaan adalah hal mudah dan bahwa saya bisa memiliki pekerjaan yang jauh lebih keren dibandingkan hanya menjadi seorang guru.
Hari ini saya dapat melihat secara nyata bahwa satu tahun
sebagai jobless tidak sia-sia
samasekali. Tidak enak, tapi bermakna. Di masa itu segala kesombongan saya dibabat habis. Dengan segala
kedaulatanNya -yang selalu saya kagumi- saya mendapati ada mindset yang sedang diporak-porandakan. Dari anggapan bahwa menjadi
guru adalah hal hina hingga soal remehnya mendapatkan pekerjaan.
Sekali lagi saya katakan, kesombongan saya sedang dibabat habis.
Ketika kita
berhenti sejenak, kita punya waktu untuk menilik ulang cara pandang kita. Memang
saya akhirnya kembali menjadi guru di tempat yang sama persis, tapi saya kembali
dengan sebuah pola pikir yang tak lagi sama.
2. Melatih Kegigihan
Melepas masa
SMA, pergumulan penat yang harus saya (dan ribuan orang lain) hadapi adalah
masuk Universitas. Saat itu saya dihadapkan kegagalan untuk masuk jalur
prestasi di Unair. Jurusan HI yang saya impikan tidak dengan mulus diraih. Kegagalan
itu membuat saya singgah ke UM UGM, Simak UI, hingga PMDK umum Unair. Semua
ditolak. Tanpa bimbel, saya terus belajar hingga akhirnya berhasil masuk lewat
SNMPTN.
Uniknya,
baik PMDK prestasi dan SNMPTN keduanya membebankan uang kuliah yang tidak
berbeda barang sepeserpun. Apa intinya? Toh sama saja sebenarnya, HI Unair.
Kenapa Tuhan tidak membuat saya langsung berhasil di awal? Akan jauh lebih
praktis, bukan?
Sayangnya,
Pencipta kita mengetahui persis arti penting sebuah proses. Dia menciptakan
semesta tidak serta-merta dengan hentakan jari, bahkan walaupun Dia bisa. Dia
menggunakan 7 hari, tak lain menekankan bahwa menjadi praktis bukanlah sebuah
tujuan. Tetap masuk HI unair, namun dengan sebuah latihan kegigihan.
Persinggahan sekitar tiga bulan ini juga mengajarkan bahwa impian tak pernah gratis
didapatkan.
3. Menguji Refleks Iman
Kadang
sebuah persinggahan dapat berumur setahun, beberapa bulan, atau bahkan beberapa
jam saja! Begitu pula yang saya alami bersama rekan terkasih saya. Kadang Tuhan
memang humoris, ketika Dia membuat kami kaget bahkan deg-degan penuh kecemasan.
Waktu itu,
ketika Riyan hendak memulai KPR, kami bergumul untuk jangka waktu KPR maksimal
15 tahun, untung-untung jika diijinkan kurang dari itu. Malam itu kami tutup
dengan doa, dan keesokannya nego dimulai.
Saat itu
hari Jumat, saya ingat benar, tiba-tiba HP saya berdering. Riyan di seberang sana
dengan nada getir menceritakan apa yang terjadi. Pihak bank menolak pengajuan
15 tahun dan menjadikannya 20 tahun. Saya begitu kaget dan berbalut kecewa,
tapi siang itu saya hanya mengajak Riyan berdoa. Kami belajar pasrah sambil
mengajukan banding. Kami masih mantab dengan angka 10-15 tahun, yang berarti
jika Bank masih kekeuh maka kami akan
melepas rumah itu.
Konon
banding dengan Bank akan memakan proses 3-7 hari. Ajaibnya saat itu, hanya beberapa jam berselang, pihak
bank menyetujui di angka 12 tahun. Saat itu kami hanya tertawa haru bercampur
geli. “Tuhan sedang bercanda ama kita,” begitu celetuk kami berdua.
Walau
beberapa jam saja, bagi kami itupun sebuah persinggahan. Durasi sekitar 180
menit itu menguji refleks iman kami, apakah menggerutu atau penuh ketakutan
atau justru aktif dalam kepasrahan iman.
Walau tiga persinggahan
yang saya bagi memiliki alasan dan durasi yang berbeda, ketiganya menuntut satu
hal yang sama: sikap yang tepat.
Ketika Tuhan seakan sedang mengajak kita berputar, ketika Dia mengijinkan perjalanan yang seakan tak efektif terjadi, bagaimana sikap kita? Apakah kita mau menginsafi sebuah proses atau justru berbantah? Apakah kita dengan lapang dada berkata “terjadilah seturut kehendakMu” atau justru ngotot dengan rencana diri sendiri.
Ketika Tuhan seakan sedang mengajak kita berputar, ketika Dia mengijinkan perjalanan yang seakan tak efektif terjadi, bagaimana sikap kita? Apakah kita mau menginsafi sebuah proses atau justru berbantah? Apakah kita dengan lapang dada berkata “terjadilah seturut kehendakMu” atau justru ngotot dengan rencana diri sendiri.
“Sidon”
setiap orang berbeda, ada soal putus cinta, penyakit, kegagalan, dan banyak hal
lain. Tapi lagi-lagi kesamaannya adalah pasti ada sesuatu yang Tuhan ingin kita
pelajari.
Ayat 37 di perikop ini menutup dengan sangat manis, bahwa rute tak efektif dan persinggahan yang kadang melelahkan itu selalu bersumber satu janji sentral: Dia menjadikan segala-galanya baik!
Ayat 37 di perikop ini menutup dengan sangat manis, bahwa rute tak efektif dan persinggahan yang kadang melelahkan itu selalu bersumber satu janji sentral: Dia menjadikan segala-galanya baik!
Kita tidak
bisa mengatur persinggahan kita, tapi kita selalu bisa menentukan bagaimana sikap
saat singgah.
*Perikop yang saya angkat ini adalah sebuah ayat personal dalam perjalanan iman saya. Dalam kurun waktu delapan hari, saya mendengarkan dan membaca pendalaman soal perikop ini di banyak sisi yang berbeda. Dimulai dari sharing khotbah GPIB lewat Riyan, renungan pagi guru dari khotbah Gereja Katolik, notes facebook seorang kawan dari HKBP Denpasar, renungan harian penuntun saat teduh, hingga ditutup saat saya mendengarkan sendiri di GKI Ressud. Bagi saya, diperlukan lebih dari sekedar kebetulan untuk membuat pengulangan intens semacam ini.
0 komentar
wanna say something? ^^