Perjalanan Melewati Krisis Kepercayaan Diri
Tidak ada wanita yang tidak suka dibilang cantik. Satu yang berbeda
adalah tidak semua orang akan menginvestasikan waktu dan uangnya untuk hal itu. Saya sendiri ingin cantik untuk kekasih saya dan saya butuh merasa cantik untuk diri saya sendiri. Repot bukan, kita tidak
berminat dengan produk kecantikan tapi menolak apa adanya diri. *fiuhh
Di penghujung melepas usia 23 tahun, saya mengalami sindrom krisis kepercayaan diri. Cukup parah,
agaknya. Keminderan satu per satu tiba, dari soal gigi berantakan, kulit wajah dengan
bercak hitam, rambut mengembang, hingga selera fashion yang engga banget.
Benar-benar gejolak aneh yang semestinya hadir ketika saya masih usia belasan
tahun.
Suatu siang saya menangis sejadi-jadinya dan membatalkan kencan bersama
Riyan. Entah kenapa saya merasa tidak cukup modis dan benar-benar old-fashion. Saya
enggan meninggalkan rumah. Riyan tidak marah, pun tidak menenggalamkan saya dengan
berbagai petuah apalagi penghakiman. Justru, segelas es krim mcFlurry dia
tawarkan, dan itu menjadi solusi paling teduh. Sembari saya menghabiskan es
krim lembut dengan remahan oreo di atasnya, dia setia mencari tahu kesusahan
hati kekasihnya ini.
Hipotesis kala itu adalah keminderan akibat komparasi terhadap pesona menawan para kawan wanita seumuran saya. Mereka piawai berdandan dan
memadumadan pakaian, sedangkan saya? sudahlah *pasrah.
Di tengah obrolan, saya melemparkan sebuah guyonan dan Riyan tertawa dengan
lepasnya. Terbahak-bahak seakan tak ada beban di dunia. Dia kemudian menarik
nafas, dan dengan begitu tulus berkata "udah.. kamu kayak gini aja. Ga usah susah payah mikirin penampilan.
Kamu menggila kayak gini aja aku uda bahagia banget."
Merasa berhasil menghadirkan kebahagiaan, kadang menjadi kebutuhan hakiki. Menjadi cantik atau tidak cantik seketika tak lagi terlalu penting.
Akhirnya yang tersisa dan mungkin yang paling penting adalah soal
prasyarat apa dan kondisi bagaimana kita merasa menarik, dan orang-orang
seperti apa yang membuat kita merasa selalu cukup cantik.
Di momen sebelumnya, ketika batal memasang kawat gigi, saya meminta maaf
ke Riyan. Tiba-tiba perasaan gagal menjadi sosok kekasih yang menawan,
menghantui pikiran.
"Apa aku pernah mengeluh soal penampilanmu?"
Hanya pertanyaan itu yang dia lemparkan. Tanda tanya itu memancing saya berpikir, kenapa adiss berubah? Kenapa kecuekan saya soal penampilan sebelum pacaran justru hilang? Kenapa saya berpikir terlalu keras untuk menjadi cantik? Toh Riyan tidak sekali-kalipun menuntut saya menjadi modis, toh Riyan tak pernah mengeluh. Memang mungkin muasal semua ini adalah komparasi lewat sosial media, ditambah citra diri yang sedang tidak sehat.
Ketika saya tahu, bahwa di tengah ketidaksempurnaan ini saya dapat
membuat orang lain bahagia, saya sepenuhnya dapat menerima diri dengan
seutuhnya.
Penghujung problematika confidence
crisis ini disimpulkan dengan indah saat saya bercakap dengan sahabat
terbaik saya. Sebuah konklusi yang membuat saya mengucapkan selamat datang pada
usia 24 tahun dengan lega dan nyaman.
Adiss:
Ce.. ayu ya si ***** sekarang
Cece: iya padahal dulu tomboy
Adiss: kadang adiss ngerasa penampilan e adiss ini engga banget. Pas arek sak umur’e adiss wes pake baju-baju cantik, adiss sek kaos dan jeans doang.
Cece: hahaha yawes biarin. Tapi kamu wis lebih feminim. Belajar dandan gitu
Adiss: Iyo. Tapi tetep ngerasa cuma butiran debu ce.
Cece: halah lapo. Kamu itu kan ya menang ndek petualangan. Wes pigi mana-mana. Punya pengalaman juga. Ga semua isa ngerasain. Walaupun item tapi punya kebanggaan. Ben simple tapi wes ngeraih banyak hal.
Adiss: hmmm tapi orang seng liat adiss ya masak ngerti adiss wes ngelakukno itu semua. Toh juga ga keren-keren amet walaupun adiss enjoy.
cece: ya biarin mereka ga ngerti. Biarin ga keren. Yang penting kamu happy sama pilihanmu.
Cece: iya padahal dulu tomboy
Adiss: kadang adiss ngerasa penampilan e adiss ini engga banget. Pas arek sak umur’e adiss wes pake baju-baju cantik, adiss sek kaos dan jeans doang.
Cece: hahaha yawes biarin. Tapi kamu wis lebih feminim. Belajar dandan gitu
Adiss: Iyo. Tapi tetep ngerasa cuma butiran debu ce.
Cece: halah lapo. Kamu itu kan ya menang ndek petualangan. Wes pigi mana-mana. Punya pengalaman juga. Ga semua isa ngerasain. Walaupun item tapi punya kebanggaan. Ben simple tapi wes ngeraih banyak hal.
Adiss: hmmm tapi orang seng liat adiss ya masak ngerti adiss wes ngelakukno itu semua. Toh juga ga keren-keren amet walaupun adiss enjoy.
cece: ya biarin mereka ga ngerti. Biarin ga keren. Yang penting kamu happy sama pilihanmu.
EXACTLY!! Dari obrolan itu, setidaknya saya belajar dua hal utama.
Pertama, Prinsip
"bahagia dengan pilihanmu" adalah rona kecantikan berharga yang tidak
bisa disembunyikan. Rona itulah yang menjadi pesona dan mengembalikan citra
diri yang sehat. Rona itu juga membuat kita merasa aman dan nyaman menjadi diri
sendiri. Bahkan, semakin saya sadar bahwa penghayatan akan prinsip tersebut
membuat kita jauh dari rasa iri. Sebagaimana kita sudah bahagia dengan pilihan
kita sendiri, sebagaimana kita sudah mendefinisikan arti bahagia kita sendiri,
kitapun akan memberikan ruang orang lain menjadi happy dengan pilihan mereka sendiri. Entah melalui travelling,
bersolek, memasak, ataupun mengambil pendidikan tinggi.
Kedua, merasa cantik dan menjadi cantik ternyata lagi-lagi dasarnya
tentang pilihan. Memilih untuk menerima diri sendiri dengan bahagia dan memilih orang-orang seperti apa yang kita ijinkan
hadir di hidup kita dan membawa pengaruh.
Saya hanya cukup beruntung telah memilih Riyan dan cece saya sebagai
influencer di hidup ini. Andai saja saya memilih Awkarin, ah entahlah apa
jadinya diri ini. Sekian.
1 komentar
Ga Mbak Adis aja yang ngrasain.hehe Akhir2 ini juga ngrasain itu Mbak.. Ribet sendiri, dan ujung2nya kalau kita ngerasa ga cocok ya malah bikin tambah bete. :'D Akhirnya endingnya be my self aja deh mbak
BalasHapuswanna say something? ^^