Kue Bulan vs Kue Keranjang
Walau kulit tak putih, dan mata tak sipit, saya bisa pastikan bahwa ada darah Tionghoa mengalir di diri saya. Tak berusaha menutupi tapi juga tak membanggakannya berlebih. Tapi premis tersebut -bahwa saya orang Tionghoa- merupakan pembuka penting kisah ini.
Fakta kedua adalah, pacar saya yang sering dikira orang Chinese itu, justru Jawa tulen.
Pacaran beda suku pasti tak serumit beda agama. Tapi ada dinamika seru yang lahir karena perbedaan ini. Tepat seperti saat ini, sehari menjelang Chinese New Year, tiga tahun lalu, saya dan Riyan masuk pada arena pertengkaran perdana. Isu yang kami angkat tak kalah panas dengan debat cagub yang sedang saya saksikan di sela menulis cerita ini, yaitu: Kue Keranjang vs Kue Bulan.
source: www.harnas.com |
Saat itu kami yang masih dalam tahap PDKT berdebat, kue apa yang sebenarnya dijadikan bagian budaya dalam perayaan Chinese New Year. Saya ngotot kue bulan dan dia di kubu kue keranjang. Tapi percakapan itu berujung ricuh karena saya merasa tidak terima. Bagi saya, tidak karena ada darah Tionghoa, maka saya tahu segala seluk beluk budaya suku ini, dan pembebanan untuk know-everything itu menyebalkan. Saya marah, Riyan turut bete.
Mengenang kejadian itu selalu mengundang tawa. Bagaimana mungkin sepasang pemuda usia dua puluhan memilih topik seremeh ini untuk bertengkar?
Tapi, hari ini ketika Tahun Monyet telah beralih menjadi Tahun Ayam, saya melihat semua proses menyebalkan, akan menjadi cerita manis kemudian hari. Selain perselingkuhan dan kebohongan, saya kira semua berpotensi menjadi sebuah memori sejuk. Saya sendiri tidak menyesali setiap pertengkaran yang ada. Ada yang membuat kami tertawa saling mengejek dan ada pula yang masih tersimpan rapi di note kami berdua sebagai sebuah pelajaran berharga
Selain itu, dengan proses tiga tahun saya makin sadar bagaimana waktu selalu menjadi pihak objektif yang memurnikan.
Dengan minimnya pengenalan, jangan heran jika banyak sekali konflik terjadi. Tapi semakin lama, sepasang kekasih yang kian mengenal akan paham bahwa ada beberapa hal yang tak layak untuk menghabiskan energi. Pun, bahwa waktu juga yang akan memperdalam pengenalan. Apa yang disuka dan tidak diminati pasangan.
Terakhir, saya bersyukur bahwa sebelum kami memutuskan jadian kami pernah mencicipi konflik. Artinya, baik Riyan dan saya masuk dalam satu komitmen bukan dengan mata buta. Juga bukan dengan pandangan serba manis dan sempurna akan pasangan. Kami dibukakan lebih awal seberapa (calon) pasangan kami dapat berubah menjadi super mbencekno.
Tapi akhirnya, kami mengucapkan selamat datang pada sebuah relasi dengan sebuah bisikan di hati: "Pasanganku ini kadang menjengkelkan, tapi aku akan tetap memilih dia. Lagi, dan lagi."
Kamu pilih kue bulan atau kue keranjang? kalau aku, pilih kamu <3 td="">3> |
0 komentar
wanna say something? ^^