Welcome to our website !

Tentang Sesuatu

Segalau apapun, pasti tetap tentang sesuatu, entah Tempat atau Teman, entah Pendapat atau Pengalaman.

Bagaimana kita tahu Kehendak-Nya?

By Jumat, Juni 23, 2017

Genap dua minggu sudah saya membuat konklusi atas kegalauan saya sendiri. Sebuah kegalauan yang murni disponsori rasa-kurang-bersyukur berbalut penasaran khas anak muda. Perkara galau kali ini berakar pada diterimanya saya di sebuah sekolah bergengsi di Surabaya. Dengan predikat ‘internasional’ sebagai identitasnya, sekolah ini sempat saya perjuangkan sedemikian rupa.
Diterima disana, menjalani nego gaji, hingga melihat seluk-beluk beban tugas yang akan saya emban. Kegalauanpun tiba. Ada berbagai pertimbangan plus-minus yang menghampiri. Ruang hati yang awalnya disesaki rasa penasaran sekejap berubah penuh kebimbangan. Di titik itu saya kemudian menyadari bahwa kecerobohan saya memilih resign tahun lalu menghasilkan dua karakter ini: pertimbangan lebih cermat dan perasaan takut. Cermat untuk memilih agar realistis dan tidak merugikan diri sendiri, pun takut dan cemas salah memilih.

Atas dasar itu, saya meminta waktu untuk memikirkan dengan serius. Empat hari saya mohonkan ke pihak HRD. Mereka sepakat. Saya memulai kegalauan dengan sebuah bisikan tekad untuk taat. Permasalahannya saat itu justru karena saya tidak tahu apa kehendak-Nya, lalu bagaimana mungkin saya bisa taat?
Terkadang taat menjadi berkali lipat lebih sulit karena kita bahkan tidak yakin pasti mana yang terbaik. Akhirnya, petualangan ‘meraba kehendak-Nya’, saya mulai.



  • SENIN: MEMBACA ISI HATI

Saya meyakini, apa yang tertulis di alkitab adalah sebuah suara personal yang selalu relevan segala jaman. Maka, sudah semestinya jika kegalauan singgah maka pelarian pertama kita adalah buku isi hati-Nya itu.

Lewat buku renungan (gratis) yang dibagikan oleh gereja dimana saya berjemaat, saya mulai perjalanan ini. Saat itu intisari renungan berbunyi demikian: “karena Ia adalah Pencipta, maka jalan terlogis ialah menjalani hidup ini seturut petunjuk-Nya”. Mazmur 128 jatah sarapan pagi itu meneduhkan namun tak serta merta membunuh kebingungan. Senin itu saya buka dengan sedikit kesal, seakan ingin bergumam nada protes “Lah iya Tuhan, petunjuk-Mu itu apa toh?”

Ya.. memang ada waktunya hidup membuat manusia merasa layak dan mumpuni untuk menuntut sebuah penjelasan Pencipta. Padahal, tidak samasekali.
Saya kian menyadari bagaimana konsep ‘instan’ tidak pernah jadi ciri khas sang Khalik. Saya membayangkan betapa membosankannya hidup ini jika semua yang saya tanyakan segera terjawab dan semua yang saya inginkan cepat terkabul.


“Bukan hari ini jawaban pergumulannya," batin saya.


  • SELASA: MENCATAT DAN BERTANYA

Selain berpasrah, tugas manusia selanjutnya adalah menggunakan akal budi sebagai senjata untuk memetakan kurang-lebihnya sebuah keputusan. Di selembar kertas, saya mengambil waktu yang khusyuk untuk menuliskan segala cost and benefit. Tabel tersebut kemudian saya kirimkan ke dua orang terdekat saya: cece dan Riyan. Uniknya, di kesempatan yang terpisah mereka seiya sekata mengarahkan saya pada satu keputusan tertentu.

Menurut saya penting, untuk mendengar pendapat orang terdekat kita. Selain karena mereke mengenal baik kita, hal tersebut menjalin sebuah keterikatan yang berharga. Memang, tidak dapat dipastikan mereka selalu benar memberikan arahan, tapi yang jelas kita dapat mawas apakah keputusan kita akan beringan dengan pendapat keluarga atau sebaliknya. Alhasil, persiapan mental dapat dirajut lebih awal.


  • RABU: KONSULTASI KEPADA AHLINYA

Awalnya tiga orang senior saya pilih untuk saya hampiri dan mencurahkan segala keluh kesah. Pertama, kepala sekolah saya sendiri. Mengingat beliau adalah pimpinan sekaligus mentor saya, segala curahan pertimbangan tidak semata berorientasi pada profesionalitas. Justru, saya dibimbing untuk melihat segala kemungkinan dengan jernih.
Dengan raut yang teduh dan sejenak melepaskan atribut ‘senioritas’, beliau berucap:

“yang terpenting... jangan sampai merasa telah salah mengambil keputusan bahkan saat ada yang tidak beres dengan pilihan tersebut. “

Saya menarik nafas dan mematrikan jengkal kalimat itu. Baris kata itu menjadi begitu tajam menghujam karena sebenarnya saya kerap melakukan hal tersebut. Mempertanyakan pilihan diri sendiri ketika sesuatu yang tidak enak terjadi. Padahal seharusnya tidak demikian. Tuhan tidak pernah mengarahkan kita hidup dalam bayang ketakutan. Berani gagah menghadapi konsekuensi keputusan sama pentingnya dengan kemantaban kala memutuskan. Percakapan siang itu ditutup dengan doa. Beliau mendoakan saya, dan siapa sangka air mata menetes mengikuti hukum gravitasi. Senada dengan ayunan kaki melangkah keluar dari ruang kepala sekolah, ada sebuah kedamaian yang membuncah.

Orang kedua yang saya usik adalah pemimpin KTB saya. Miss Liona, namanya. Dia tegas sekali meresponi cerita saya. Fokus arahannya adalah motivasi dan prioritas. Melodi masukannya jauh berbeda, bukan mendamaikan namun memaksa saya untuk membedah hati saya sendiri. Sore itu di hadapan teh manis saya tertunduk menyadari bahwa ternyata banyak sekali keangkuhan dan keinginan-membuktikan-diri yang menelisip di hati.

Sudah.. saya kira cukup dua orang itu awalnya. Namun belum juga lega dan mantab hati ini. Maka, setelah menunda beberapa kali saya memutuskan untuk bertanya ke satu pembimbing. Bapak satu ini mentor saya dalam menulis. Namun saya juga mendaulat dirinya sebagai pembimbing saya, terlepas dia mau atau tidak. Sejak dia gencar memberi masukan soal LDR saya dengan Riyan, saya tahu persis saya dapat mengusiknya sesekali untuk bertanya.
Sayapun lugas melempar pertanyaan klasik, “bagaimana kita tahu kehendak Tuhan?”

“bagi saya kehendak Tuhan bukan jalan setapak, tapi ruas jalan di mana kita bisa pilih yang agak kiri, tengah, atau kanan. Sepanjang tidak bertentangan dengan firman Tuhan yang eksplisit.”

Kalimat ini kemudian dilanjutkan dengan hantaman tanda tanya.
“katanya mau pindah Jakarta?”
“ngapain pindah kalau cuma satu tahun?”
“yakin bisa handle tipe anak manja?”

Terlihat jelas ia tahu gambaran rencana saya ke depan, sehingga segala responnya bukan lantas semata menasehati namun membuat saya berpikir ulang banyak hal. Dinding kokoh ambisi fana saya, roboh seketika. Saya mulai mantab malam itu.


  • KAMIS: MEMOHONKAN KONFIRMASI*
(*Peringatan sederhana: tidak selalu Tuhan memberikan konfirmasi tersurat seperti ini. Maka, jangan menuntut. Jika ada, bersyukurlah imanmu sedang dimantabkan. Jika nihil, bersyukurlah imanmu sedang diperkuat)


Sudah ada satu keputusan di angan. Jika dikonversi ke prosentase, sekitar 95% telah mencapai kadar mantab dan bulat hati. Namun, namanya manusia, masih saja memelas konfirmasi untuk mengisi 5% kosong tersebut.

Di sela-sela waktu berbincang santai dengan para kawan kerja, topik perlahan tapi pasti beralih soal pekerjaan. Hingga singkat cerita, seorang guru matematika berkata spontan (saya mengetik ini dengan merinding mengingat kembali momen itu)

“kalau miss Adiss ingin coba-coba yang lain itu gak papa, bahkan saya lihat itu memang diijinkan Tuhan. Sampai akhirnya nanti miss bisa mantab tahu mana yang terbaik.”

Hati saya bergelimang kagum dengan cara sang Khalik berbicara dengan berbagai media. 5% terpenuhi saat itu. Satu kalimat celetukan yang memantabkan segala pergumulan ini.




Emailpun saya kirimkan. Sebuah ucapan terima kasih dan permohonan maaf karena tak dapat bergabung di institusi tersebut. Bagaimanapun singkatnya, petualangan ini  telah meneguhkan saya (lagi-lagi) soal penyertaan-Nya yang senantiasa sempurna. Ada saja yang Ia siapkan, bahkan kegalauanpun digunakan untuk membuat saya makin mengenal cara kerja-Nya yang berproses manis.

Kegalauan apapun yang sedang kita alami, semestinya kita mulai dengan kesadaran utuh bahwa Tuhan mengijinkan perjalanan iman yang kerap diisi tanda tanya. Namun melampaui tanda tanya itu, janji “semua baik” dan pernyataan “Aku menyertaimu” akan terbukti sempurna.
Kegalauan hanyalah satu alat untuk kita punya alasan berpetualang dengan-Nya. Ia kerap rindu menggandeng tangan kita mesra, hingga Ia dengan sengaja membawa kita pada rimba yang membuat kita gentar. Namun akhirnya, karena kita tahu di tangan siapa hidup ini berada, bara api di kakipun tak akan membuat kita berhenti melangkah. Gentar, iya. Berhenti, tidak.



Selamat berpetualang, kawan! Jangan mencobai diri dengan kegalauan, namun ketika itu terpaksa datang, sambutlah dengan riang. Itu artinya satu rute perjalanan iman, akan segera dimulai. 

You Might Also Like

1 komentar

  1. hello, nice to meet your blog!
    keep writing yah :)
    tulisan-tulisan nya menginspirasi banget hehehe
    God bless you <3

    BalasHapus

wanna say something? ^^