Dieng dan segala Keajaibannya.
Perjalanan selalu menyimpan cerita uniknya sendiri. Kali ini sesuai dengan jumlah foto yang saya sertakan, ada tiga babak cerita yang ingin saya bagi.
- Babak pertama: di Kereta
Saya duduk bersebelahan dengan seorang laki-laki muda. Kebiasaan mengajak bicara saya tahan sebab di hadapan saya ada dua tentara yang entah mengapa menimbulkan rasa ngeri. Buku Paulo Coelho menjadi teman tunggal. Hingga di stasiun Klaten, laki-laki di samping saya membuka obrolan. Rentetan rasa terkejut, dimulai.
Terungkaplah ternyata dia tinggal di Mulyosari. Tepat seperti kos saya berada, hanya berbeda gang saja. Saya dan mahasiswa ITS semester enam itu memulai bercakap seru soal aneka kuliner di satu ruas jalan Mulyosari. Dari penyetan hingga nasi padang favorit saya.
Ketika topil beralih soal jurusan kuliah, dia tiba-tiba bertanya: "aktif PMK mbak?"
Dan saya hanya mengernyitkan alis menahan rasa kaget. Saya lantas memilih pura-pura tidak tahu sekaligus memperkirakan kemungkinan kepanjangan PMK yang lain.
"Mbak aktif persekutuan di Unair?"
Timpalnya memperjelas. Bagi saya, kosakata PMK bukanlah hal lumrah dan familiar untuk ditanyakan seorang asing di gerbong kereta.
"Mbak Kristen kan?"
Saya makin terperanga dan akhirnya bertanya balik bagaimana ia tahu.
"Dari bagian buku yang mbak kasih stabilo"
Saya pecah dalam tawa. Unik sekali kejadian ini bagi saya pribadi. Buku yang saya baca bukanlah buku rohani bahkan, namun kutipan ayat dari surat Paulus itu siapa sangka jadi permulaan obrolan dan lahirnya satu teman baru.
Terakhir, giliran saya yang bertanya. Setelah tahu bahwa kami adalah saudara seiman, saya menanyakan dimana ia biasa beribadah dan anggota jemaat manakah dia. "Ibadah di GKI Manyar, jemaat GKI Depok" dan itu membuat saya makin terbahak geli. GKI Manyar adalah GKI terdekat dengan kosan saya sedangkan GKI Depok adalah GKI terdekat dengan rumah Riyan.
Ah mungkin saya yang mencocok-cocokkan. Tapi rangkai kebetulan ini tetap saya syukuri.
- Babak kedua: Kebaikan Sebelum Bermalam
Sesuai rencana, saya dan Nurul akan bermalam dengan camping di sisi telaga Cebongan lalu mengejar sunrise keesokan harinya. Sayangnya, karena saya buta soal mendirikan tenda, maka Nurul menjadi pejuang tunggal. Jelas, dia kesulitan. Dua orang laki-laki menghampiri dan menawarkan bantuan. Segera, tenda kami berdiri kokoh. Dua mahasiswa Kelautan Undip semester dua tersebut berpamit ke tenda mereka sendiri bergabung dua rekan mereka yang lain. Hawa dingin yang menyergap ditambah rasa syukur atas bantuan dua mas tadi membuat saya dan Nurul kemudian berinisiatif membuatkan dua gelas susu hangat. Saya mengantarnya dan mereka cukup terkejut lalu berterima kasih. Kamipun menyusul mengisi perut kami sendiri. Akibat tidak siaga dengan uang tunai, kami harus bertahan dengan mie instan yang kami bawa. Semangkok berdua. Itupun kami lahap sembari berandai kami membawa telur. Sayapun berujar bahwa saya belum kenyang. Tak selang lama, seorang perempuan yang saya tahu teman mas yang tadi, mengembalikan gelas. Kami terkaget bahagia ketika menyadari bahwa itu bukan gelas kosong namun gelas berisi susu sereal rasa vanilla. Iya, mereka membalas pemberian kami yang sebenarnya adalah ungkapan terima kasih.
Bisa ditebak, kami tidur dengan perut lebih kenyang dan hati yang senang.
- Babak tiga: Mie Telur sesaat sebelum Pulang
Hari terakhir tiba. Usai menikmati sunrise tertutup mendung di puncak Sikunir, saya dan Nurul turun. Uang kami tersisa 25.000 dan kami rencanakan untuk membeli pengisi perut secukupnya. Di tengah tapak perjalanan turun menuju deretan warung-warung, seorang bapak menyapa. Ia adalah seorang tour-guide yang kami temui ketika kami iseng tracking di petak sembilan Dieng sehari sebelumnya. Saat itu dia sedang menunggu rombongan dari Malaysia, dan kami mengobrol cukup lama sebelum saling berpamit. Pagi tadi, ia hadir dengan satu temannya. Kami menuruni tangga demi tangga rute Cebongan-Puncak Sikunir. Hingga di depan warung mereka mengajak kami singgah.
"Tak bayari mbak, ayo sarapan sek" begitu kata pak Eko.
Walau suka gratisan, kami jelas ragu awalnya. Namun atas dasar rasa percaya, kami menerima ajakan itu. Mereka bercerita soal suka duka menjadi driver sekaligus tour-guide. Pun soal pengalaman unik selama menjadi guide bagi wisatan asing dari Australia hingga Kanada. Saya dan Nurul mendengar dengan antusias. Mereka juga memberikan kami tiga kemasan Carica sebagai buah khas Dataran Tinggi Dieng. Sesaat sebelum berpamit, kawan pak Eko (kami lupa berkenalan) memesankan dua mangkok mie kuah plus telur kepada ibu warung untuk kami dan membayar lunas semuanya. Kami terus berterima kasih dengan rasa takjub penuh syukur. Bukan hanya karena perut kenyang, namun lebih kepada kebaikan di baliknya.
Selain tiga 'kebetulan' tersebut, masih ada bapak-bapak yang TANPA DIMINTA mengarahkan jalan pedesaan kepada kami yang memang menghindari jalan besar penuh truk dan polusi. Alhasil, rute penuh sawah kami nikmati. Juga bapak penduduk yang menunjukkan beberapa spot untuk kami explore. Ya.. tanpa diminta.
Saat kami merenungkan rangkai 'kebaikan' ini, Nurul hanya berkata "ini memorable banget mbak. Rejekinya mbak Adiss nih." Saya tersenyum merasa bahwa ini memang akan jadi petualangan yang akan saya kenang. Dengan nada bercanda, saya bertanya apa yang ada di wajah kami berdua sehingga semua kebaikan itu tiba bahkan tanpa diminta. Apa kami terlihat kelaparan? Apa mereka semua bisa menerawang hati, pikiran, perut, dan dompet kami?
Nurul hanya tertawa.
Gadis berjilbab mahasiswa UGM tersebut kemudian berujar bahwa 300 km yang nekad ini telah diisi banyak berkat. Saya lagi-lagi sepakat. Pun kami menyimpulkan bersama bahwa rangkai kejadian manis ini sudah sepatutnya menyemangati kami untuk berbuat baik untuk orang lain pula.
Jadi...kalau saya disuruh memilih judul petualangan ini, maka kalimat dari Nurul-lah yang akan saya pinjam:
"Perjalanan Nekad Penuh Berkat"
0 komentar
wanna say something? ^^