Three Things I’ve Learned By 25
I see this world differently by 25 years old. It doesn't mean I'm totally whole new person and become the wiser one, but as I said, I see this world
differently now. A quarter life crisis just awesome for me
because it was like huge wake up call. Aku jadi sadar banyak hal yang terlalu
kuantitatif dalam hidupku dan suprisingly
aku punya kesempatan buat redirect hal itu. Setidaknya tiga hal ini intisari
utamanya.
1. To be cheerleader instead of success-self builder.
Dulu aku berpikir apa yang mereka nilai tentang aku
menjadi begitu penting. Pengakuan tentang kemampuan menulisku, kerennya
hubunganku dengan Riyan, foto pelesir kece di sosial media, atau apapun
lainnya. Tapi aku sekarang melihat bahwa apa yang aku bisa lakukan buat orang
lain is much much much more important. Entah kenapa, awal usia 25 ini aku
dibukakan serangkaian fakta bahwa Tuhan mengijinkanku untuk menolong orang lain
dan tanpa sadar itu adalah berkat luar biasa.
Membahagiakan sekali ketika beberapa orang berkata bahwa aku uda jadi awal mula keberanian mereka menulis di media umum. Ketika satu orang yang dulu mengirimiku DM kekaguman akan tulisanku bahkan sudah menjadi penulis penuh waktu. Ketika beberapa teman akan mengirimkan tulisannya hanya untuk aku edit terlebih dulu. Ketika portfolio di blog cuap-cuap ku menginspirasi mereka giat berkarya. Di saat itu terungkap jelas betapa bahagia itu bukan soal "menumpuk prestasi" tapi "mengalirkan gairah mimpi".
Membahagiakan sekali ketika beberapa orang berkata bahwa aku uda jadi awal mula keberanian mereka menulis di media umum. Ketika satu orang yang dulu mengirimiku DM kekaguman akan tulisanku bahkan sudah menjadi penulis penuh waktu. Ketika beberapa teman akan mengirimkan tulisannya hanya untuk aku edit terlebih dulu. Ketika portfolio di blog cuap-cuap ku menginspirasi mereka giat berkarya. Di saat itu terungkap jelas betapa bahagia itu bukan soal "menumpuk prestasi" tapi "mengalirkan gairah mimpi".
Aku sangat senang memiliki beberapa orang yang mau dan boleh aku sebut
sebagai mentor. Dan dari mereka aku belajar bahwa ikut serta dalam pertumbuhan
orang lain itu memang sangat menyenangkan.
Menjadi orang di belakang layar perjuangan kawan
kita itu ternyata tak kalah membahagiakan daripada fokus semata dengan
kesuksesan sendiri.
2. People change, that's the hurtful truth. But you, also, will change eventually.
Beberapa orang menjadi berbeda. Ada yang makin karib
ada yang makin renggang. Awalnya aku ketakutan, bagaimana jika para orang yang
bagiku penting mendukung kemajuanku pergi satu persatu. Bahkan aku sempat
merasa tolol dan tidak terampil membina relasi. Tapi akhirnya, aku paham.
Akupun disini berubah. Adiss yang dulu sibuk mengumpulkan dukungan kini
berusaha berdiri tetap mandiri dan memberi dukungan. Adiss yang awalnya
berkonsep "kamu baik, aku akan ikut baik" ternyata telah ditempa agar
memperlakukan siapapun dengan baik bagaimanapun kondisinya. Sebuah relasi yang
tidak transaksional sedang dibangun. Semua orang berubah, pun kita. Tapi kita
masih bisa menjanjikan satu hal sama: aku akan tetap mengasihimu, bagaimanapun
itu.
Di titik ini aku menyadari bahwa, memiliki tuntutan agar semua
orang tetap seperti kondisi awal mula kita menjadi nyaman dengan mereka, itu
mengecewakan. Semua orang akan berubah. Aku teringat sepotong janji nikah
“for better and for worse”, sejujurnya ini adalah konsep mendasar relasi: menerima
ketika orang itu menjadi semakin baik ataupun sebaliknya. Bahwa, perubahan itu
pasti. Tapi mengasihi itu pilihan.
3. What kind of people I want to become.
Menghitung. Aku memang suka aktivitas ini. Menghitung sudah berapa tempat aku kunjungi, berapa orang sudah aku kirimi paket kasih, berapa seminar aku ikuti, dan berapa banyak aku meraih poin-poin mimpi, atau bahkan target tabungan setahun ke depan. Hingga sebuah kalimat menghampiriku dari seorang teman: "Hati-hati hidup terlalu kuantitatif." Aku terkesiak. Diam. Lalu terpaksa mengakui bahwa itu benar adanya. Jangan-jangan aku terlalu sibuk menghitung dan menjadikan hidupku tak ubahnya sebuah objek yang harus diperlakukan secara kuantitatif.
Mungkin telat, tapi aku jadi sadar bahwa "meraih apa saja" itu tidak pernah menjadi lebih penting dibandingkan "menjadi seperti apa". Bahwa daftar apa saja yang ingin dilakukan tidak boleh lebih panjang daripada daftar karakter apa saja yang perlu dibenahi.
Mungkin telat, tapi aku jadi sadar bahwa "meraih apa saja" itu tidak pernah menjadi lebih penting dibandingkan "menjadi seperti apa". Bahwa daftar apa saja yang ingin dilakukan tidak boleh lebih panjang daripada daftar karakter apa saja yang perlu dibenahi.
Hidup yang awalnya adalah rangkai dari kepingan-kepingan
yang seru dan asyik untuk dihitung, kini berubah. Bukan berarti aku
berhenti menghitung apalagi menyudahi perjuangan poin impianku, hanya saja aku
tahu ada hal lain yang lebih berfaedah untuk dipantau: pertumbuhan karakterku. Itulah alasan mengapa kita disebut human being dan bukan human doing.
Karena pada dasarnya yang terpenting bukan apa-apa saja yang sudah bisa kita
lakukan tapi menjadi seperti apa kita dari waktu ke waktu. Apakah makin
terampil mendengar? Apakah makin baik hati? Apakah makin membumi? Itu yang
lebih penting.
Berproses. Sejatinya, aku ingin itu yang menjadi konsen utama hidupku. I
wish from now I have an ability to appreciate every single thing as an
opportunity to grow. Ya mungkin nantinya anak-anakku ga akan dapat seorang ibu yang
terkenal ataupun hebat, tapi setidaknya aku ingin memastikan ibunya telah
menjadi orang yang lebih baik dari usia-usia sebelumnya, dan itu akan
menyemangatinya untuk tidak menyerah pada karakter buruk tertentu.
Sejujurnya melihat perubahan ini agak
mengejutkan. Aku bahkan terheran bagaimana secara drastis ini semua muncul
dalam otakku. I can't say it's a higher level of life. But surely, it's kinda
different level for me. Different, in a good way.
So welcome 25! I'm in love with you.
0 komentar
wanna say something? ^^