Perjalanan terbaik: Yogyakarta
Episode 1.
Acara yang diberi nama KANCA itu
mencuri hati dan menuntut untuk dicari tahu apa dan bagaimana isinya. Setelah
melihat baris angka dan nama hari di kalender, saya tahu bahwa rasanya memungkinkan untuk aku ikut, asal dengan satu cuti di hari Jumat. Semua berlangsung mulus. Tiket keretapun sudah ada tuntas dibeli. Pertanyaan utama kini adalah dimana saya akan menginap.
“mau budget berapa” kata pak
Khun, seseorang yang saya klaim sebagai mentor menulis, dan memang berdomisili
di kota kecintaan segala umat ini. Jelaslah saya menyebutkan angka yang memang terjangkau.
“lho kan kamu orang kaya” begitu
timpalnya terhadap angka yang super kecil sebagai jawaban. Sayapun tertawa di
depan layar ponsel. Bagaimana beliau berpikir seperti itu, coba! Usut punya
usut teman penulis yang juga saya recoki di perjalanan ini turut bersumbangsih
pada pelabelan dan asumsi bahwa saya seorang yang sungguh berpunya. Lagi-lagi
tawa makin meriah. Diskusi melenceng sejenak sebelum akhirnya pak penulis
senior itu berkata:
“uda.. kamu nginep rumahku aja.
Tidur bareng putriku”
Berulang kali kalimat itu saya
baca. Saya eja. Tidak salah kan? Sebuah tawaran yang bahkan tidak sepersekian
detikpun saya duga.
“iya soalnya kamu ternyata bukan
orang kaya”
Lagi dan lagi dan lagi saya
dibuat terkejut dengan pernyataan-pernyataan yang keluar. Sebagai penjelas, kata
beliau, tawaran tersebut menghindari ribet (sebab awalnya saya berencana
menginap di rumah teman dekat UGM, yang notebene jauh dari lokasi acara), dan
juga merupakan usul dari istrinya. Ah terserah. Latar belakang apapun itu tidak
mengurangi keterkejutan saya yang sedang memegang gawai di sepetak kamar kost,
dan tetap saya perhitungkan sebagai sebuah kebaikan luar biasa.
Semua sudah diatur dan saya
tinggal menunggu hari untuk berangkat. Perjalanan Gubeng-Lempuyangan diisi
dengan chat bersama mbak Vika. Mendapati
dirinya mau menemani, telaten menjawab pertanyaan seputar Jogja, hingga
menjemput di stasiun, saya kira sudah sepaket manis kebaikan bagi tamu dari
Surabaya ini. Ternyata, itu belum apa-apa.
Dengan naik ojek online berbeda
warna (favorit masing-masing), dia mengajak saya ke Pakualam. Bukan untuk
wisata sejarah namun justru duduk di bawah pohon beringin (yang tak terlalu)
rindang sembari makan es rujak dan semangkok bakso. Ibarat menyelam sambil minum air, kamipun singgah ke keraton dan mbak dengan rambut
pendek itu menjelaskan beberapa hal. Tidak banyak foto saya ambil, karena bagi
saya dengan hadir utuh dan meletakkan gawai saya bisa menyerap berbagai
informasi maksimal. Seusai berkeliling, derap langkah kami berpindah. Tidak
jauh dari situ, kami menuju ke sebuah toko minuman jamu GINGGANG. Segelas es
beras kencur saya pesan. Segelas kesegaran asli Indonesia yang menjadi favorit
entah sejak SD atau TK. Saya terpesona dengan setiap tegukan. Rasa yang menari di lidah akhirnya membuat saya bertekad, kapanpun saya ke Jogja, saya akan melepas rindu dengan segelas surga itu.
Tapak berlanjut. Kami menyusuri jalan dan sesekali
duduk di bangku Malioboro yang kini telah menjadi begitu rapi. Di sana saya
menyaksikan campuran budaya kental menyeruak. Misalnya kedai kopi mendunia
dengan desain bangunan yang vintage, berjejeran dengan berbagai toko batik yang
telah berjuang bertahan di tengah gempuran perubahan. Tanpa sadar ketidaksukaan
saya pada pusat perbelanjaan yang ramai mengubah suasana hati. Saya tidak lagi
antusias. Keinginan membeli batikpun sirna (untuk kesekian kali).
Uniknya, mbak Vika sangat peka dengan perubahan mood tersebut. Di depan gapura
pecinan dan patung ayam –shio tahun ini, dia menyatakan itu. Dan saya tahu, saya
harus bisa mengendalikan suasana hati untuk tetap menikmati perjalanan ini. Dengan raut
kembali ceria, saya mengangguk setuju pada usulnya. Kami menuju ke arah stasiun
Tugu dan memilih satu angkringan.
"es kopi susu jos satu ya mas" ucap saya sebelum sigap memilih jajanan. Seketika mas penjual dengan topi yang ia gunakan terbalik itu tertawa. Menurutnya rata-rata orang akan memesan kopi jos hitam panas, pilihan yang saya pesan agaknya aneh. Es. Kopi. Susu. Jos. Biarlah pikir saya, rasa antusias sudah cukup hari ini untuk memacu pasokan energi. Kafein pekat tidak saya butuhkan. Ia dapat cuti sejenak. Saya menikmati pesanan saya hingga tetes terakhir dengan penuh ekspresi kagum. Mbak Vika hanya terkekeh melihat seberapa ndeso saya mencicipi itu pertama kali. Menu bergeser ke burung dara bakar, hidangan traktiran tuan rumah. Mungkin aneh, adiss bisa makan begitu banyak hari itu. Rupanya perut turut menyesuaikan diri dengan antuasiasme hati.
"es kopi susu jos satu ya mas" ucap saya sebelum sigap memilih jajanan. Seketika mas penjual dengan topi yang ia gunakan terbalik itu tertawa. Menurutnya rata-rata orang akan memesan kopi jos hitam panas, pilihan yang saya pesan agaknya aneh. Es. Kopi. Susu. Jos. Biarlah pikir saya, rasa antusias sudah cukup hari ini untuk memacu pasokan energi. Kafein pekat tidak saya butuhkan. Ia dapat cuti sejenak. Saya menikmati pesanan saya hingga tetes terakhir dengan penuh ekspresi kagum. Mbak Vika hanya terkekeh melihat seberapa ndeso saya mencicipi itu pertama kali. Menu bergeser ke burung dara bakar, hidangan traktiran tuan rumah. Mungkin aneh, adiss bisa makan begitu banyak hari itu. Rupanya perut turut menyesuaikan diri dengan antuasiasme hati.
Sekitar pukul 8 malam, Pak Khun
beranjak menjemput namun mengajak untuk bersantai lebih dulu sembari mengajak
satu teman yang menjadi kenalan baru saya: Mbak Riana.
“di JCo ya?” usul mbak Vika yang
kemudian ditolak mentah oleh pak Khun.
“orang Surabaya kok malah diajak
ke JCo”
Saya memperhatikan percakapan
mereka dan hanya tertawa. Mungkin ini pertama kalinya benar-benar merasa
menjadi seorang tamu yang diperlakukan SANGAT BAIK.
Menjadi win-win solution antara mbak Vika dan pak Khun, sebuah kedai dekat
Mirota menjadi tempat kami berempat menghabiskan malam dengan topik yang
rata-rata soal kepenulisan.
Jarum pendek sudah nyaman
bertengger di angka 10, saya berpamit ke mbak Vika dan mbak Riana. Saya yang awalnya mengira rute akan pendek dan segera menuju rumah pak Khun, untuk kesekian kali dibuat terkejut. Pak Khun mengajak saya berkeliling di
seputar Jogja sembari menjelaskan ini itu tentang kota ini. Saya ingat betul
salah satu premisnya adalah tentang keterkaitan ruang publik dengan tingkat
stress dan daya kreativitas warga. Jogja menghadirkan begitu banyak ruang
publik yang nyaman, maka tak heran seni berkembang dinamis disini. Dinamis dan kondusif. Tuntas
dengan segala penjelasan, kami akhirnya menuju pemberhentian terakhir: rumah
Pak Khun dan keluarga.
Tepat setelah melepas sepatu
abu-abu pink kado dari Riyan, saya menginjakkan kaki di ruang tamu mereka, dan
tatapan saya terpaku pada sebuah lemari buku. Bukan lemari biasa, sebab itu
sangat tinggi, dari lantai hingga langit-langit rumah dengan lebar yang
juga memenuhi ruangan. WOW! Rumah penulis memang berbeda, saya menyimpulkan
dalam angan sebelum akhirnya berbaur dengan percakapan bersama istrinya.
Setelah ngobrol sejenak, istri
pak Khun menyarankan kami semua pergi istirahat. Di kamar putrinya, saya
meluruskan punggung sembari tersenyum. Seharian saya diperlakukan dengan begitu
baik bahkan oleh mereka yang belum terlalu lama saya kenal. Di beberapa momen, ketika badan serasa sangat lelah saya bisa tetap terjaga dan tidak terburu untuk tidur. Saya senang mereka ulang setiap kejadian supaya terekam baik dalam ingatan. Malam itu, adalah salah satu momen yang demikian.
Perut saya kekenyangan saat itu, tapi tak kalah hati yang melimpah dengan ucapan syukur. Tak berlebihan rasanya jika saya sebut perjalanan ini sebagai perjalanan ter-BAIK. Bukan terbaik dalam artian BEST tapi KINDEST. Perjalanan yang limpah kebaikan hati.
Perut saya kekenyangan saat itu, tapi tak kalah hati yang melimpah dengan ucapan syukur. Tak berlebihan rasanya jika saya sebut perjalanan ini sebagai perjalanan ter-BAIK. Bukan terbaik dalam artian BEST tapi KINDEST. Perjalanan yang limpah kebaikan hati.
Dan begitulah. Episode pertama
perjalanan ini berakhir.
0 komentar
wanna say something? ^^