Welcome to our website !

Tentang Sesuatu

Segalau apapun, pasti tetap tentang sesuatu, entah Tempat atau Teman, entah Pendapat atau Pengalaman.

Perjalanan terbaik: Yogyakarta

By Jumat, Agustus 11, 2017

Episode 1.

Acara yang diberi nama KANCA itu mencuri hati dan menuntut untuk dicari tahu apa dan bagaimana isinya. Setelah melihat baris angka dan nama hari di kalender, saya tahu bahwa rasanya memungkinkan untuk aku ikut, asal dengan satu cuti di hari Jumat. Semua berlangsung mulus.  Tiket keretapun sudah ada tuntas dibeli. Pertanyaan utama kini adalah dimana saya akan menginap.

“mau budget berapa” kata pak Khun, seseorang yang saya klaim sebagai mentor menulis, dan memang berdomisili di kota kecintaan segala umat ini. Jelaslah saya menyebutkan angka yang memang terjangkau.
“lho kan kamu orang kaya” begitu timpalnya terhadap angka yang super kecil sebagai jawaban. Sayapun tertawa di depan layar ponsel. Bagaimana beliau berpikir seperti itu, coba! Usut punya usut teman penulis yang juga saya recoki di perjalanan ini turut bersumbangsih pada pelabelan dan asumsi bahwa saya seorang yang sungguh berpunya. Lagi-lagi tawa makin meriah. Diskusi melenceng sejenak sebelum akhirnya pak penulis senior itu berkata:
“uda.. kamu nginep rumahku aja. Tidur bareng putriku”
Berulang kali kalimat itu saya baca. Saya eja. Tidak salah kan? Sebuah tawaran yang bahkan tidak sepersekian detikpun saya duga.
“iya soalnya kamu ternyata bukan orang kaya”

Lagi dan lagi dan lagi saya dibuat terkejut dengan pernyataan-pernyataan yang keluar. Sebagai penjelas, kata beliau, tawaran tersebut menghindari ribet (sebab awalnya saya berencana menginap di rumah teman dekat UGM, yang notebene jauh dari lokasi acara), dan juga merupakan usul dari istrinya. Ah terserah. Latar belakang apapun itu tidak mengurangi keterkejutan saya yang sedang memegang gawai di sepetak kamar kost, dan tetap saya perhitungkan sebagai sebuah kebaikan luar biasa.

Semua sudah diatur dan saya tinggal menunggu hari untuk berangkat. Perjalanan Gubeng-Lempuyangan diisi dengan chat bersama mbak Vika. Mendapati dirinya mau menemani, telaten menjawab pertanyaan seputar Jogja, hingga menjemput di stasiun, saya kira sudah sepaket manis kebaikan bagi tamu dari Surabaya ini. Ternyata, itu belum apa-apa.

Dengan naik ojek online berbeda warna (favorit masing-masing), dia mengajak saya ke Pakualam. Bukan untuk wisata sejarah namun justru duduk di bawah pohon beringin (yang tak terlalu) rindang sembari makan es rujak dan semangkok bakso. Ibarat menyelam sambil minum air, kamipun singgah ke keraton dan mbak dengan rambut pendek itu menjelaskan beberapa hal. Tidak banyak foto saya ambil, karena bagi saya dengan hadir utuh dan meletakkan gawai saya bisa menyerap berbagai informasi maksimal. Seusai berkeliling, derap langkah kami berpindah. Tidak jauh dari situ, kami menuju ke sebuah toko minuman jamu GINGGANG. Segelas es beras kencur saya pesan. Segelas kesegaran asli Indonesia yang menjadi favorit entah sejak SD atau TK. Saya terpesona dengan setiap tegukan. Rasa yang menari di lidah akhirnya membuat saya bertekad, kapanpun saya ke Jogja, saya akan melepas rindu dengan segelas surga itu. 

Tapak berlanjut. Kami menyusuri jalan dan sesekali duduk di bangku Malioboro yang kini telah menjadi begitu rapi. Di sana saya menyaksikan campuran budaya kental menyeruak. Misalnya kedai kopi mendunia dengan desain bangunan yang vintage, berjejeran dengan berbagai toko batik yang telah berjuang bertahan di tengah gempuran perubahan. Tanpa sadar ketidaksukaan saya pada pusat perbelanjaan yang ramai mengubah suasana hati. Saya tidak lagi antusias. Keinginan membeli batikpun sirna (untuk kesekian kali). Uniknya, mbak Vika sangat peka dengan perubahan mood tersebut. Di depan gapura pecinan dan patung ayam –shio tahun ini, dia menyatakan itu. Dan saya tahu, saya harus bisa mengendalikan suasana hati untuk tetap menikmati perjalanan ini. Dengan raut kembali ceria, saya mengangguk setuju pada usulnya. Kami menuju ke arah stasiun Tugu dan memilih satu angkringan.
"es kopi susu jos satu ya mas" ucap saya sebelum sigap memilih jajanan. Seketika mas penjual dengan topi yang ia gunakan terbalik itu tertawa. Menurutnya rata-rata orang akan memesan kopi jos hitam panas, pilihan yang saya pesan agaknya aneh. Es. Kopi. Susu. Jos. Biarlah pikir saya, rasa antusias sudah cukup hari ini untuk memacu pasokan energi. Kafein pekat tidak saya butuhkan. Ia dapat cuti sejenak. Saya menikmati pesanan saya hingga tetes terakhir dengan penuh ekspresi kagum. Mbak Vika hanya terkekeh melihat seberapa ndeso saya mencicipi itu pertama kali. Menu bergeser ke burung dara bakar, hidangan traktiran tuan rumah. Mungkin aneh, adiss bisa makan begitu banyak hari itu. Rupanya perut turut menyesuaikan diri dengan antuasiasme hati.

Sekitar pukul 8 malam, Pak Khun beranjak menjemput namun mengajak untuk bersantai lebih dulu sembari mengajak satu teman yang menjadi kenalan baru saya: Mbak Riana.
“di JCo ya?” usul mbak Vika yang kemudian ditolak mentah oleh pak Khun.
“orang Surabaya kok malah diajak ke JCo”
Saya memperhatikan percakapan mereka dan hanya tertawa. Mungkin ini pertama kalinya benar-benar merasa menjadi seorang tamu yang diperlakukan SANGAT BAIK.
Menjadi win-win solution antara mbak Vika dan pak Khun, sebuah kedai dekat Mirota menjadi tempat kami berempat menghabiskan malam dengan topik yang rata-rata soal kepenulisan.

Jarum pendek sudah nyaman bertengger di angka 10, saya berpamit ke mbak Vika dan mbak Riana. Saya yang awalnya mengira rute akan pendek dan segera menuju rumah pak Khun, untuk kesekian kali dibuat terkejut. Pak Khun mengajak saya berkeliling di seputar Jogja sembari menjelaskan ini itu tentang kota ini. Saya ingat betul salah satu premisnya adalah tentang keterkaitan ruang publik dengan tingkat stress dan daya kreativitas warga. Jogja menghadirkan begitu banyak ruang publik yang nyaman, maka tak heran seni berkembang dinamis disini. Dinamis dan kondusif. Tuntas dengan segala penjelasan, kami akhirnya menuju pemberhentian terakhir: rumah Pak Khun dan keluarga.



Tepat setelah melepas sepatu abu-abu pink kado dari Riyan, saya menginjakkan kaki di ruang tamu mereka, dan tatapan saya terpaku pada sebuah lemari buku. Bukan lemari biasa, sebab itu sangat tinggi, dari lantai hingga langit-langit rumah dengan lebar yang juga memenuhi ruangan. WOW! Rumah penulis memang berbeda, saya menyimpulkan dalam angan sebelum akhirnya berbaur dengan percakapan bersama istrinya.

Setelah ngobrol sejenak, istri pak Khun menyarankan kami semua pergi istirahat. Di kamar putrinya, saya meluruskan punggung sembari tersenyum. Seharian saya diperlakukan dengan begitu baik bahkan oleh mereka yang belum terlalu lama saya kenal. Di beberapa momen, ketika badan serasa sangat lelah saya bisa tetap terjaga dan tidak terburu untuk tidur. Saya senang mereka ulang setiap kejadian supaya terekam baik dalam ingatan. Malam itu, adalah salah satu momen yang demikian.

Perut saya kekenyangan saat itu, tapi tak kalah hati yang melimpah dengan ucapan syukur. Tak berlebihan rasanya jika saya sebut perjalanan ini sebagai perjalanan ter-BAIK. Bukan terbaik dalam artian BEST tapi KINDEST. Perjalanan yang limpah kebaikan hati.

Dan begitulah. Episode pertama perjalanan ini berakhir.

You Might Also Like

0 komentar

wanna say something? ^^