4 Hari yang Berarti: Terima Kasih Murid!
Setelah pergi dua pekan penuh,
ada sedikit rasa takut untuk kembali ke sekolah. Rasa kuatir berkeliaran di
hati sehingga membuat doa saya di Senin pagi menjadi lebih sungguh-sungguh. Memang
manusia, dalam kondisi tertentu menyuarakan baris doa lebih lantang dari
biasanya.
Di antara berbagai macam pikiran
negatif, satu yang paling saya takutkan bukan justru tatapan penghakiman dari
rekan kerja yang harus menanggung jam kosong saya selama 10 hari pergi, namun
rasa asing pada murid. Saya takut jika mereka memberi tatapan asing tanda tak
kenal. Atau ekspresi marah lantas mengabaikan keberadaan saya. Oh sungguh,
membayangkan saja mengerikan apalagi harus menelannya.
Sayangnya tidak ada pilihan untuk
bersembunyi, maka mau tak mau saya jejakkan kaki di ruang guru, pastinya dengan
hati yang terus bergumam sendiri. Ada tatapan yang aneh, seperti yang saya
duga. Saya seakan seorang guru baru yang tidak mengenal seorangpun. Saya bahkan
salah tingkah bagaimana harus memulai interaksi. Untungnya kondisi demikian
hanya bertahan sekitar setengah jam, sebab waktunya saya naik ke lantai empat
dan menyambut anak kelas saya. 26 siswa yang mungkin tatapannya akan menjadi paling
menyakitkan.
Berjarak lima atau enam langkah
dari pintu ruang kelas 7A, satu anak berteriak memberi tahu teman-temannya, “miss
adiss balik”. Saya butuh kemampuan khusus saat itu untuk menahan air mata. Rasa
haru dan secercah rasa bersalah. Saya masuk ruangan dengan senyum sangat lebar,
menyapa mereka yang kerap bikin jengkel dan marah tapi nyatanya paling saya
sayang dan rindukan. Ekspresi polos mereka sebagai remaja nihil penghakiman,
hanya ada penyambutan yang diisi dengan rasa kangen dan sukacita. “yeaaay miss
renungan lagi” // “miss Adiss makin gosong hihihi” // “miss hari ini Sandra
ulang tahun”. Saya tahu betapa berharga arti “pulang” saat itu. Di sebuah ruang
kelas pojok lantai 4.
Agaknya Tuhan tahu ada rasa rindu
yang sebegitu menggebu, hingga semingguan ini setiap kali menggantikan guru
yang tidak masuk, jam inval selalu istimewa. Saya kebagian masuk ke pelajaran
seni rupa, olahraga, hingga ekskul dance, yang artinya menambah interaksi saya
bersama siswa dengan rupa yang ekspresif dan ruang yang leluasa. Segala ketakutan
saya samasekali tidak terbukti. Justru empat hari ini (Senin-Kamis) semua
detail terasa jelas dan layak dikenang. Misalkan saat beberapa anak kelas 9
menyapa saya: “miss kapan PKn lagi” // “long time no see miss!” // “yeaay
diinval miss adiss”. Bahkan dua hari lalu, seorang siswa kelas 8 (yang tidak
saya ajar tahun ini) yang sering membuat jengkel para guru, bisa-bisanya
menyapa di tangga: “miss kok lama kita ga ketemu”.
Tepat kemarin tiga siswi kelas
saya menghampiri:
“miss kami mau ikut lomba lho
sama mr. El”
“oh bagus. Semangat ya. Miss
doakan” balas saya samping menepuk pundak salah satu dari mereka
“iya miss, doanya miss terbaik
pokoknya! Kita doakan pas renungan pagi ya miss” kata seorang siswi dengan
gerak tubuh yang amat lincah.
Sebagai seseorang yang bahasa kasihnya
memang “word of appreciation”, perkataan semacam itu jelaslah terpatri dengan
penuh kesan manis.
Hati saya terus dibahagiakan bukan kepalang, apalagi ketika beberapa siswa di kelas yang berbeda bahkan mendekat dan berkata “miss dari mana, ayo cerita-cerita miss” // “miss habis ngapain sih, bagi cerita miss”. Rasanya tujuan saya mengembara dan mencari ilmu jauh dan mahal, langsung terbayar. Saya bisa cerita soal makna kematian bagi orang Toraja, saya bisa cerita tentang makanan unik yang baru saya coba, saya bisa cerita apapun yang saya dapatkan bukan dari laman pencarian daring namun dari pengalaman saya sendiri. Ada beberapa orang yang memandang miring pilihan saya pergi, tidak profesional mungkin dianggapnya. Pastilah itu anggapan wajar walau tak sepenuhnya benar. Tapi biarlah hati ini tetap terjaga, bahwa seorang miss Adiss tidak akan serajin ini untuk mendapat pengalaman baru, jika tidak untuk kembali dan memperkaya para siswa.
Kerap kali saya disedihkan sebab beberapa
orang yang berpikir bahwa saya telah kehilangan kecintaan dan panggilan saya
sebagai seorang pendidik. Praduga itu mungkin berangkat dari pengamatan
bagaimana saya sangat menikmati aktivitas berkomunitas dan menulis. Dan saking
kuatnya anggapan itu, ada kalanya saya mempertanyakan diri saya sendiri dan
menganggap itu sebagai sebuah kebenaran. Tapi empat hari dengan tipikal
interaksi hangat bersama siswa dan bagaimana mereka sukses membesarkan hati
saya berulang-ulang kali, saya yakin bahwa ruang kelas tetap jadi bagian cinta
saya berlabuh. Seperti menulis, dan berkomunitas, semua adalah bagian dari hati
ini.
Semingguan ini saya diajari untuk
mengasihi tanpa banyak prasangka. Dan itu semua saya dapatkan dari para remaja.
Terpenting, mereka yang menegaskan ke saya, bahwa anggapan miring itu tidak
layak saya percaya. Bahwa ternyata untuk siswa, saya akan mampu terus jatuh
cinta.
0 komentar
wanna say something? ^^