Setelah Terluka, Lalu Apa?
Sudah
berulang kali saya terheran bagaimana sebuah relasi diakhiri hanya berlandaskan
alasan: “hello temanku bukan cuma dia” atau kalimat semacam ini “emang dia kira
aku butuh dia! Masih banyak temanku yang lain yang lebih baik.”
Di
era kekinian, alasan tersebut dikemas dalam dalih semacam ini: “kalau ga cocok
ya silakan unfollow” // “kalau merasa terganggu, boleh delete contact”
Sejatinya kalimat-kalimat itu daripada berkesan dewasa menjauh
dari konflik, justru bentuk kemalasan luar biasa. Kemalasan berproses. Kemalasan
berdiskusi. kemalasan... mempertahankan relasi.
Padahal ketika ada orang yang tidak sepaham dengan kita,
sebenarnya kita bisa membuat jembatan untuk berbicara dan bertukar pandangan. Sebuah
prinsip saya ingin terus hidupi: "kalau aku benar, belum tentu orang lain
salah".
Ketika tulisan saya disanggah habis-habisan, atau ketika
seseorang merasa tidak pas dengan perilaku saya, dengan sadar penuh saya
menolak untuk terjebak pada kemalasan yang saya sebut di atas. Walau dibutuhkan
latihan hati berulang kali, saya tidak akan segan membuka ruang dialog dan
berlatih tidak pelit untuk meminta maaf. Saya melakukan itu sejatinya karena paham
bahwa relasi saya dengan seseorang lebih berharga daripada gengsi untuk meminta
maaf dan jauuuuh lebih berharga dari kekerasan hati untuk emnahan ruang diskusi.
Teman saya yang super flegmatis kerap terheran bagaimana saya tidak anti
dengan konfrontasi dan ketika saya jelaskan, dia paham bahwa itu semua
berjangkarkan sebuah iman bahwa saya dan orang sekitar saya dapat mendewasa
bersama. Di saat yang lain, seorang kakak senior mengapresiasi pilihan saya
untuk menegurnya empat mata alih-alih menjadikannya sebagai bahan gosip.
Semua prinsip saya dalam berelasi, yang menolak untuk bergosip
dan membuka ruang diskusi walau kadang berujung konfrontasi, dimulai dari
kesadaran bahwa Tuhan menciptakan kemampuan komunikasi pada manusia, salah satunya
untuk mendamaikan gesekan. Bukan justru sebaliknya.
Saya teringat satu peristiwa ketika saya di Palopo. Di rumah yang saya tinggali, ada satu meja ruang tamu pecah sebab terlalu lama dibebani kuah bakso panas yang teman saya beli. Saya kira keluarga di tempat itu akan membuang pecahan tersebut, atau menutupinya dengan taplak di sisi yang pecah, atau mudahnya.. beli saja yang baru. Namun yang dilakukan teman saya sepenuhnya berbeda. Mereka mencari lem kaca dan mulai mengelem kembali pecahan kaca itu di posisi semula. Saya kaget dengan keputusan itu, namun dengan segera bergabung lalu berkeringat bersama, mengipas hingga menggunakan hair dryer untuk membuat lem segera kering.
Kejadian ini sangat membekas di benak saya karena satu hal, bahwa itu adalah pilihan tidak populer namun sarat makna. Dibutuhkan sebuah keterampilan khusus untuk memperbaiki alih-alih mengambil jalan pintas “beli saja yang baru”.
Sedari awal saya tahu saya akan menulis soal insiden meja pecah ini, maka saya sempatkan untuk mengabadikan kejadian tsb dalam rekam gambar. |
Bayangkan betapa banyak relasi yang dapat dipulihkan ketika
semua berprinsip yang serupa: coba
perbaiki dulu. Sayangnya, banyak orang yang hanya ingin dikelilingi oleh
mereka yang sepaham dan sependapat, sehingga ketika perbedaan mencuat mereka
memilih jalan malas: “ya sudah berhenti saja berteman denganku, ga papa kok.”
Banyak orang yang lebih suka “membuang” daripada “memperbaiki” atau setidaknya “mencoba
memperbaiki”.
Beberapa waktu lalu saya menikmati notes dari seorang pendeta
yang menjelaskan tentang anggapan miring soal kampus yang beliau bina. Daripada
berkata, "ya sudah kalau tidak sepakat, tidak usah masuk kampus ini,” beliau
justru memberi penjelasan, dan mengundang orang lain mengenal kampusnya lebih
dekat. Saya respect sekali dengan tindakan macam ini. Bukan berarti semua keputusan
kita perlu dijelaskan. Energi kita terbatas untuk itu. Hanya, ketika ada orang
mempertanyakan atau menyalahkan, maka baiklah kita menjelaskan. Ini juga
bukan tentang keeping toxic person, ya! Sebab ada beberapa orang yang mungkin
sepahaman dengan kita, tapi membawa aura negatif. Untuk orang demikian maka
layaklah memberi jarak interaksi.
Kita harus terus ingat, agaknya, bahwa manusia menajamkan manusia. Kalau sampai akhirnya, kita masih suka
bergosip, suka senewen ama keputusan orang, suka berpikir negatif hanya karena
beda pandangan, dan tidak tahan kritik, mungkin itu semua karena kita terlalu
mudah menyerah. Kita meniadakan perbedaan. Kita memuluskan lingkungan. Kita
mengusir orang-orang yang akan menajamkan. Saya suka satu quote ini, sebuah bentuk percakapan ketika seorang muda bertanya ke pasangan oma-opa, rahasia awetnya hubungan mereka.
“how did you manage to say with your spouse for 65 years?”
“because we were born in a time when if something was broken we would fix it, not throw it away”
Jika kita tidak memberi diri buat terluka dan gemar membuang,
jika kita begitu mudahnya menyerah, dan jika kita ingin bertumbuh namun selalu
di zona nyaman, maka sampai ladang gandum dihujani meteor coklat dan jadi koko
crunch, kita akan jadi pribadi yang sama. Tidak ada penajaman yang signifikan.
Umur bertambah, karakter tidak.
Maka mari bersyukur jika hari-hari ini kita masih memiliki rekan yang berbeda pandangan, sebab itu indikasi baik bahwa
kita masih dikelilingi orang-orang yang berpotensi menajamkan. Sebaliknya,
kalau ternyata semua orang selalu sepakat dan senantiasa mengapresiasi apalagi
mengglorifikasi keputusan kita, hati-hati.
Antara mereka adalah serigala berbulu domba, diri kita sendiri yang memang terlampau
bijaksana nan mengagumkan, atau kemungkinan terakhir.. mereka tak cukup berani
berselisih dan terlalu malas untuk saling menajamkan.
Selamat merayakan berproses, selalu dan senantiasa.
0 komentar
wanna say something? ^^