Hal yang Aku Pelajari di 2018
Dalam 350an hari sebelum tulisan ini dibuat, banyak pelajaran yang Tuhan beri bersamaan dengan peristiwa dan momentumnya masing-masing. Namun setelah dihayati dengan lebih tenang, 2018 saya terbagi menjadi empat babak dengan pelajaran khas-nya masing-masing.
Izinkan sekali lagi secuil kisah hidup saya bagi di blog usang ini. Terima kasih telah menjadi teman.
1. Berdamai dengan ketidaksepakatan
dan merayakan kesediaan mendengar
Surabaya, Januari-Mei 2018
Satu semester terakhir di tempat
kerja saya yang lama bisa dibilang sangat sulit. Akibat banyak kegiatan yang
saya ikuti berhubungan dengan menulis dan pengembangan diri (yang rata-rata
tidak dilakukan di Kota Surabaya), saya harus dengan sabar menelan banyak
sinisme rekan kerja. Belum lagi antara Maret-Mei saya harus bolak-balik
Surabaya-Jakarta dan tentu sebagian di hari efektif.
Di titik itu saya belajar, semua
orang di sekitar kita bisa dengan sangat mudah menghakimi. Mereka bisa dengan
enteng bermain asumsi dan bergosip. Stay
above them. Walaupun dicecar banyak luka saat itu, saya belajar bahwa
ketika kita tidak sanggup menjelaskan satu per satu alasan atas sebuah
keputusan, ketika kita tidak punya cukup kerelaan
untuk membagi pergumulan ke orang yang kita rasa tidak dekat, maka kita harus
belajar berdamai dengan ketidaksepakatan bahkan tuduhan yang terasa kejam.
Di tengah
pergulatan itu, saya sempat senang sebab beberapa orang berusaha
melakukan konfirmasi atas asumsinya dengan mengajak saya bicara. Awalnya saya
kira itu untuk mengetahui sudut pandang saya, namun sayangnya alih-alih ditujukan
mengurai kesalahpahaman, kadang dialog diinisiasi seseorang semata untuk
memberitahu bahwa kita salah dan dia benar. Awal tahun ini saya
diingatkan
“the biggest communication problem is we do not listen to understand. We listen to reply.”
Ketika kita sudah kerap
dikecewakan sebab kita tidak didengarkan, maka saya rasa cara terbaik untuk
memutus rantai itu dan wujud pengampunan sesungguhnya adalah dengan belajar
menjadi pendengar yang lebih baik. Kesediaan
“mendengar” sejak saat itu akhirnya menjadi
satu kualitas yang saya usahakan untuk diri saya sendiri di sepanjang tahun ini
dan jadi kualitas yang saya hargai dari diri orang lain. Sangat saya hargai.
2. Allah memang selalu punya cara
Menuju Jakarta, April - Mei 2018
Sedari awal tahun dan pasca gagalnya CPNS kedua kali, saya tahu ada tanggungan penting yang harus dikerjakan: mencari kerja di Jakarta. Usaha yang
saya beri judul #kerjadiJKT menjadi agak drama karena terselip di dalam hati: “Tuhan kalau boleh tahun ini beri pengalaman pekerjaan selain guru. Dan tolong, sebelum Juni sudah datang kepastian.”
Harapan itu mengarahkan usaha
saya untuk melamar sebagai editor di beberapa tempat sembari melamar di sekolah.
Sayangnya, saya makin tahu ke mana Dia mengarahkan dengan hilangnya kesempatan
menjadi editor penuh waktu di salah satu penerbitan terbesar di Indonesia sebab
saya meminta reschedule wawancara
usai lulus tes tulis. Akhirnya saya berlabuh di sebuah sekolah dengan sebuah simbolik legal yang sulit dibantah: tanda
tangan kontrak. Tepat di akhir Mei. Kejadian ini membuat saya tahu Dia mengabulkan doa saya tentang “kepastian
sebelum Juni” namun agaknya masih menggeleng tentang “kerja penuh waktu selain sebagai
guru.”
Tanpa perlu mendetailkan rinci
kronologisnya, saya belajar bahwa Tuhan
selalu punya cara-Nya sendiri untuk menghantarkan kita ke tempat yang Dia
siapkan. Kadang itu mengundang tawa, kadang membuat kita jantungan, kadang
memancing kernyit alis seraya berujar “ga
salah nih, Tuhan?”
Salah satu kejadian paling bercanda adalah momen berderingnya gawai tepat saat saya keluar dari lift lantai empat sekolah lama. Momennya dramatis semacam sinetron, kalau saya ingat. Sebuah telepon dari website anak muda yang sedang sangat maju di Indonesia. Panggilan dari mereka tidak bisa saya penuhi mengingat saya sudah tanda tangan kontrak sesaat sebelumnya. Lalu pihak penelpon berkata cukup kecewa dengan hal itu. Saya jadi ikut agak kesal kenapa juga lamaran yang sejak lama baru ditindaklanjuti hari itu. Respons mereka membuat saya terdiam: "kami sudah berkali-kali mencoba menelpon namun tidak pernah berhasil."
Alih-alih sedih, saat itu saya tahu persis bahwa Tuhan masih ingin saya jadi guru. Selama ini banyak telepon masuk baik-baik saja, bagaimana mungkin mereka gagal? Saya tahu persis Siapa yang bisa membuat skenario sebercanda ini.
Tuhan mungkin mengajak bercanda
secara skenario, tapi Dia tidak sekalipun bercanda untuk memenuhi janji-Nya
bahwa Dia akan menjalankan dengan sempurna semua rencana baik-Nya.
3. Allah peduli harapan yang diam-diam ada
di hati
Jakarta, sejak Juli 2018
Ingat baris doa permohonan saya di poin sebelumnya? Walaupun tetap menjadi guru sebagai pekerjaan penuh waktu di tahun ini, terungkap dalam prosesnya ternyata Tuhan mengabulkan juga keinginan saya untuk 'bekerja' di bidang menulis. Seorang kawan yang mengenal saya dari IGNITE memberikan peluang untuk saya menjalani side job sebagai Copy Writer. Ini poin pertama yang membuat saya tahu, Tuhan peduli sekali dengan keinginan dalam hati saya. Bahkan tanpa saya apply, kesempatan itu datang. And of course, I couldn't ask for more.
Salah satu hadiah terbesar dari
tempat kerja saya saat ini, adalah bertemu dengan orang-orang yang punya minat
serupa. Atau setidaknya, mau mencicipi kecintaan yang serupa. Selama empat tahun di sekolah lama saya
merasa kesepian sebab tidak ada yang benar-benar bisa saya ajak untuk bergairah
tentang menulis. Tapi benar, lagi-lagi, Tuhan
peduli bahkan terhadap kerinduan yang diam-diam ada di hati.
Di satu siang, saya menceritakan
tentang ini ke pak Sur (seorang rekan guru yang kini juga aktif menulis di laman IGNITE) bahwa saya senang sekali mengundang rekan kerja
untuk menjadi rekan sehobi. Bagi saya, beliau dan beberapa rekan lain telah jadi
hadiah. Telah jadi pengabulan doa. Lalu saya ingat beliau balik bercerita bahwa
guru senior yang saya gantikan adalah penulis banyak buku puisi, telah mengajak
sedemikian rekan-rekan guru untuk menulis. Hingga beliau pensiun, beliau tidak
melihat harapannya terwujud. “Lalu miss
datang, dan tanpa lama sudah mengajak beberapa orang aktif menulis. Saya rasa
miss itu jawaban doa beliau.”
Saya tahu,
hanya anugerah yang memungkinkan skenario macam ini. Ada kalanya kita menjadi sangat takjub saat menyadari
bahwa dengan keberadaan diri kita apa adanya, termasuk dengan segala kecintaan
kita yang terasa biasa saja, ditambah keterbukaan untuk bertumbuh bersama,
Tuhan bisa pakai menjadi secuil berkat bagi sebuah komunitas.
Akhirnya, harus diakui betapa
misteriusnya cara kerja Pencipta merangkai sesuatu. Misalnya dengan bagaimana Dia membuat beberapa manusia bertemu dan mengetahui bahwa mereka telah menjadi
hadiah, untuk satu sama lain. Dan betul memang:
Hadiah terbaik adalah saat kita
tahu bahwa kita juga diperhitungkan sebagai hadiah.
4. Bersahabat dengan tanda tanya
Jakarta, Oktober - Desember 2018
Tiga bulan
terakhir saya didera banyak pertanyaan. Saya beri contoh: Mengapa kita harus menikah? Untuk apa sebenarnya mempunyai anak? Apakah
dia meninggal sudah dengan mengampuni? Mengapa kita tidak hidup nomaden saja?
Serbuan
pertanyaan lain juga berlomba minta dijawab dengan beragam subjek dan kata
tanya yang mengiringi. Cuitan saya di media sosial jadi penuh kegalauan,
jerawat menyerang tanpa ampun, dan hubungan saya dengan pasangan terkena imbas
pula.
Kalau
dipikir mungkin ini akibat liarnya pikiran saat waktu kosong yang melimpah saat di Jakarta, yang
akhirnya digunakan baik untuk menonton film indie di daerah Cikini, membaca
buku (yang juga ga banyak-banyak amat), dan merenung sendiri di taman.
Seiring
makin kencangnya pertanyaan, saya mulai membagi keluhan ke beberapa orang.
Uniknya, ada tiga respons yang saya dapat. Pertama, kesan "ya ampun kurang
kerjaan sekali mempertanyakan itu"; kedua, "itu bagus, perlu emang
demikian"; ketiga, "bagus, tapi hati-hati".
Sependek
usia pergumulan ini, saya rasa respons ketiga adalah yang paling tepat. Kita
harus bersyukur ketika ada titipan rasa penasaran, yang artinya akan ada upaya
berdialog. Dengan subjek yang kita pertanyakan dan Tuhan sendiri. Saya teringat
bagaimana Ayub berdialog dengan Tuhan, dan dari sana Ayub menyadari tak ada
lagi alasan untuknya meragukan Pencipta.
Beriringan
dengan syukur, tetap perlu rasa waspada. Harus diakui ada jenis pertanyaan yang
muncul karena kita kurang bersyukur. Ada juga jenis pertanyaan yang sebenarnya
murni kekepoan yang tidak konstruktif
semacam pengandaian terhadap apa yang sudah lewat. Dan pastinya tipe pertanyaan
demikian tidak layak terhadap waktu dan energi kita. Legowo, kemudian jadi opsi
tunggal.
Mau tak mau
kita akhirnya perlu merapikan isi kepala. Membuat daftar tentang pertanyaan apa
saja yang akan tetap kita perjuangkan jawabannya (beserta bagaimana menemukan
jawabannya), dan pertanyaan mana saja yang akan kita ikhlaskan untuk tetap jadi
misteri.
Sebenarnya
ini menjengkelkan sekaligus menantang. Bayangkan ada insting anak kecil yang hinggap kembali untuk mempertanyakan banyak
hal, bukankah ini menyenangkan dan melelahkan di waktu yang sama?
Di tengah polemik dalam kepala, ada satu
yang paling mendamaikan: bahwa di sela segala tanda tanya, Tuhan memelihara.
Kita diperbolehkan merangkul kebingungan sebagai sebuah kesempatan untuk makin
akrab dengan-Nya. Untuk berdialog dan menjadi manusia yang menjalani sesuatu
dengan sadar penuh.
Sebuah
konklusi
Selain empat pelajaran sentral tersebut, masih banyak pelajaran lain yang tidak kalah saya syukuri. Baik dari murid-murid yang menyenangkan (dan mengetahui banyak hal lebih dari saya), dari rekan yang tanpa perlu waktu lama bisa cocok dan saling membagi cerita, dari komunitas ataupun #jelajahhariini yang saya lakukan di akhir pekan di Jakarta.
Tahun 2018, akhirnya, sama seperti tahun yang lalu dan berikutnya: selalu ada waktu untuk suka dan
duka. Ada pencapaian tapi ada juga kekalahan.
Ada kalanya merasa dikecewakan tak lain untuk berlatih mengampuni;
di lain waktu merasa kalah, hingga sadar hidup juga bukan pertandingan;
atau masa saat kita kehabisan kata-kata karena melihat betapa murah hatinya Pencipta peduli bahkan atas permintaan sederhana yang bahkan lupa disebut di doa.
Saya yakin
hidupmu juga demikian, ada air mata dan ada gelak tawa. Semoga, tahun yang
sudah berjalan dengan pelajaran yang setiap orang pasti berbeda tetap bermuara
pada dua pengakuan yang sama: Pertama, Tuhan sayang kita. Kedua, Tuhan sanggup
melakukan segala sesuatu (termasuk untuk memproses kita) dan tidak ada
rencana-Nya yang gagal.
0 komentar
wanna say something? ^^