Jadi Pandu Sidang yang Baper
“ah kamu baper ya” begitu kata satu teman
membaca postinganku tentang kepulangan ke Surabaya dan berkata selamat tinggal
ke rekan pandu yang siapa sangka telah jadi bagian istimewa di hati. Masalahnya
sederhana, sulit untuk tidak “bawa perasaan” ketika dua minggu bertemu orang
yang sama dan di satu titik harus berpamitan untuk berpisah. Untuk itu, tulisan
ini dibuat. Karena terlalu banyak hal yang meluap di hati atas rekan-rekan yang
Tuhan anugerahkan, aku mau coba menguraikannya satu per satu.
Pertama, pastinya Untuk rumah Oma
squad (Angel, Queen, Kiki, Desta, Kak Thia, Tika, Olip, Icha, Oma, Christy, dan
Junio). Air mata keluar di sudut mata saat mengetik paragraf ini. dan memang,
bagian berpamitan paling susah adalah menyiapkan hati untuk tidak lagi meneguk nikmat teh manis hangat buatan Oma di pagi hari dan ritual mencuci di larut
malam. Benar memang, hal sederhana justru yang akan paling dirindukan. Terima kasih
untuk sebuah persahabatan yang diisi dengan Es buah nikmat sepulang gereja,
kapurung dengan kuah segar, hingga drama pecah meja. Terima kasih sudah menjadi
saudari baru bagi seorang Claudya.
Terjadinya seluruh jalinan persahabatan
ini tidak lain juga hasil kerja keras tim BPR PGI yang telah melakukan seleksi
hingga membina kami. Maka selanjutnya aku mau berterima kasih buat kak Abdiel secara khusus. Seorang
yang dengan segala kerendahan hatinya membuatku bukan hanya mendengar namun
melihat pesan “jadilah tuntas dengan dirimu sendiri” diwujudnyatakan. Tak lupa teman-teman lain, seperti Olip yang jadi alarm pagi dan kedewasaannya menghadapi segala sesuatu, kak
Anggara yang walau kerap otoriter namun jadi pendengar, Richard yang
sangat kreatif dan jadi pembawa backsound saat momen di bandara, WW sebagai
partner babivora dan diskusi serius sesekali, dan untuk Ryan Stevano William
Manoby, yang tentangnya dapat kutulis berlembar-lembar, terima kasih selalu
rajin memfoto kami dan menjadi kakak yang setia menyemangati.
Untuk rekan pandu lain yang
padanya memoriku ikut tertambat, seperti Ike yang super jahil tapi sekarang aku
kangenin; Chiko yang di tengah lawakannya menggugahku tentang seberapa “mewah”
kehidupan bergereja yang aku nikmati di Surabaya; Vincent yang selalu bertanya “kakak
suka pelayanan kan?” sebagai kode untuk meminta tolong sesuatu; Flo yang keren
sekali sebagai tim ibadah; Cindy yang akan kukenang semua nada bicara dan
becandanya yang jauh dari kesan mahasiswa STT; Egy yang suaranya bikin aku
ngefans dan sedang sibuk merilis Lambe Murah; bang Uchu, kak Ritta, kak Anna,
dan bang Yosa yang uda super super baik dan banyak bantuin; Andri yang sering
kerja bareng dan punya minat yang sama di literasi; Willie yang guyonannya
receh tapi somehow akan kuingat, kudoakan juga kamu segera menapak ke Semeru dan
ohya aku berharap bisa singgah lagi di rumah nyamanmu lagi di Latuppa; Martin
yang ajak explore dan menunjukkan sikap keugaharian jauh lebih keren
dibandingkan para bapak-ibu yang duduk di kursi sidang; Rony yang selalu bikin
suasana energik dimanapun; Este dan Karput yang suka ngegas tapi selalu bawa
rona ceria sendiri; Arrang, pandu termuda dan satu-satunya yang panggil aku “miss”,
aku percaya banget kamu akan jadi orang hebat!
Untuk nama-nama lain yang mungkin
tidak kusebut secara spesifik, kalian tidak kurang istimewa, percayalah! Mungkin
terbatas durasi (dan energiku) untuk mengenal semua secara personal, tapi aku
mengasihi dan bersyukur atas kehadiran kalian tanpa terkecuali.
Selain rekan pandu, Sidang MPL PGI 2018
juga mempertemukanku dengan beberapa orang keren lain. Tapi satu yang paling
berkesan adalah bertemu dan mengobrol dengan pak Albertus Patty. Terkhusus sebelum makan siang hari terakhir sidang, setelah turun dari ‘panggung’
beliau menghampiri kak El dan berkata sambil berjalan ke arahku: “ayo fotokan
aku dengan nona manis ini”, alhasil, hati ini terbang dan senyumpun mengembang.
Seharian aku dibuat seperti orang kasmaran! Terima kasih pak Albertus Patty,
senang sekali bertemu, mengobrol, dan diajak foto bersama (padahal memang sudah
plan minta foto bareng).
Keikutsertaanku sebagai pandu
tidak dapat dipungkiri juga hasil kebaikan beberapa pihak, maka kusempatkan
juga menyebutnya di tulisan-yang-mirip-seperti-pengantar-skripsi-ini >,<.
Untuk para pendeta di GKI Residen
Sudirman yang telah memberi support yang konkret, dan tim di sekolah yang harus
kutinggalkan dengan penuh inval, terima kasih banyak dan maaf telah merepotkan.
Ada syukur tak terhingga atas satu
episode hidup yang boleh bersinggungan dengan peristiwa sidang MPL PGI, yang
mempertemukan seorang nona medok ini dengan beragam kawan dan berbagai
pengalaman. Di tengah bermacam gesekan dan drama yang sesekali menguras hati,
ditemukan terlebih banyak keceriaan dan rasa ‘seperjuangan’. Karena itu,
janganlah heran jika ada perasaan yang terbawa dan mungkin sejenak melekat di
Palopo, karena untuk durasi hampir penuh dua minggu ini, banyak cerita sudah
ditorehkan. Maka.. mari mengizinkan diri kita masing-masing ada di fase
kebaperan yang cukup hingga dapat mengabadikan memori dengan rapih tanpa menjadi
terbuai euforia semata. Sah-sah saja harusnya untuk menjadi pandu yang baper. Iya, Baper. Bawa perasaan, boleh. Bawa perubahan, harus.
Sampai ketemu di Sumba!
Soli Deo Gloria!
0 komentar
wanna say something? ^^