Welcome to our website !

Tentang Sesuatu

Segalau apapun, pasti tetap tentang sesuatu, entah Tempat atau Teman, entah Pendapat atau Pengalaman.

ASEAN vs Uni Eropa

By Minggu, Januari 15, 2012

Claudya Tio Elleossa
070912077
Organisasi Regional: ASEAN vs Uni Eropa

Pendahuluan
Dalam keseluruhan interaksi aktor-aktor internasional dengan segala kepentingan yang ada, muncul organisasi internasional yang secara sederhana berusaha untuk mengakomodasi kepentingan yang ada dengan transaction cost­ yang dapat ditekan. Salah satu bentuk dari organisasi internasional adalah organisasi yang berbasis kawasan atau organisasi regional. Terdapat tiga elemen penting dalam organisasi regional yaitu adanya pengalaman historis yang sama dan perasaan akan persoalan-persoalan bersama diantara kelompok-kelompok negara atau masyarakat dalam suatu batas geografi. Kedua, adanya interaksi yang lebih intens diantara anggota-anggota dibandingkan dengan interaksinya dengan negara luar. Disini akan tercipta suatu batas dan intensitas interaksi ini kemudian menciptakan sebuah eksklusifitas kawasan. Ketiga, munculnya suatu organisasi yang memberikan kawasan tersebut kerangka institusi dan hukum dan menyediakan rules of game.[1] Menurut penulis semua organisasi regional memiliki tiga elemen ini, dan cukup sulit untuk memilah elemen-elemen yang ada secara terpisah. Tiga elemen dari organisasi regional ini sangat berkaitan erat dengan globalisasi, terlebih melalui bentuk keadaan borderless dan interconnectedness yang memang disponsori oleh globalisasi. Atas dasar hal ini, rangkaian pembahasan akan dimulai dengan penggambaran umum bagaimana globalisasi menjadi stimulus munculnya regionalisme, yang menjadi satu paket untuk menjelaskan mengapa harus muncul organisasi regional. Selanjutnya, akan diangkat ciri atau model interaksi yang ada di organisasi regional. Untuk memperfokus dan mempertajam pembahasan, akan diangkat kasus secara spesifik, yaitu perihal ASEAN dan Uni Eropa. Pemilihan dua organisasi regional ini berdasar pertimbangan bahwa mereka dapat merepresentasi dua model interaksi yang berbeda.
Pembahasan kali ini akan berdasarkan pada pandangan teoritik dari perspektif neo-institusionalisme. Terdapat empat asumsi pokok neo-institusionalisme ini akan membantu pemahaman yang mendalam mengapa akhirnya harus muncul organisasi regional dalam tataran dunia internasional, dan mengapa pula negara akhirnya memutuskan untuk turut bergabung.[2] Empat asumsi pokok itu adalah; Pertama, negara merupakan aktor kunci dalam hubungan internasional, tetapi bukanlah satu-satunya faktor yang signifikan. Mereka selalu berusaha memaksimalkan kepentingan dalam hampir semua isu. Kedua, dalam lingkungan yang kompetitif, negara berusaha memaksimalkan keuntungan melalui kerja sama atau bentuk organisasi; ketiga, kendala terbesar organisasi adalah ketidakrelaan negara anggota; keempat, dalam organisasi keputusan negara berangkat dari perhitungan keuntungan bersama ditambah kesempatan untuk mengamankan kepentingan nasional mereka.

Kelahiran Organisasi Berbasis Kawasan

Munculnya organisasi regional tidak akan terlepas dari pengaruh regionalisme. Menurut Cantouri dan Spiegel, regionalisme secara umum mencerminkan tingkat kohesivitas sosial, politik, ekonomi, dan organisasi antar negara dalam suatu wilayah, dan secara khusus regionalisme berfokus pada gagasan saling ketergantungan.[3] Bentuk pemikiran mengenai interdependensi harus diakui muncul setelah garis pemikiran pendahulunya mulai terasa usang. Awalnya analisa regionalisme pada tahun 1960-an menitikberatkan kajian dari dampak perang terhadap kohesitas regional.[4] Namun kini, konsep interdependensi-lah yang  lebih populer. Globalisasi, jika dilihat dari teori geopolitik, mempengaruhi regionalisme yang nantinya melahirkan organisasi regional sebagai manifestasi adanya perasaan insecurity persaingan pasar global, sehingga memunculkan adanya integrasi ekonomi (security alliance theory).
Kerja sama regional idealnya tidak hanya sebatas memunculkan hubungan saling ketergantungan namun bagaimana saling ketergantungan itu dapat membebankan biaya potensial bagi aktor diluar kerja sama.[5] Harus diakui bahwa organisasi regional muncul banyak dipengaruhi oleh kepentingan kekuatan ekonomi untuk menghadapi persaingan global yang dibawa oleh kaum neoliberal. Integrasi ekonomi pada satu kawasan menurut penulis sendiri adalah satu kekuatan penting, namun pada setiap organisasi kawasan yang ada, memiliki tingkat yang berbeda. misalnya di ASEAN interdependensi ekonomi secara regional dari masing-masing anggotanya kurang nampak secara nyata, hanya terbatas pada terjadinya transaksi bahkan interdependensi yang signifikan datang dari pihak-pihak diluar Asia Tenggara. Selain itu, kendala lain adalah, tidak adanya pluralisme domestik yang menurut Haas dan Nye justru membuat integrasi regional ala Eropa gagal dikembangkan di dunia ketiga.[6] Sedangkan Uni Eropa memang bentuk kerja sama kawasan yang dibentuk sebagai respon atas tiga aspek globalisasi, yakni (1) pergeseran pasar nasional ke arah pasar dunia; (2) menurunnya determinan geografis lokasi finansial dan pembagian tenaga kerja internasional; (3) semakin menguatnya struktur pengambilan keputusan oleh swasta dan perusahaan multinasional vis-à-vis otoritas publik dari negara.[7]
Jadi, dapat dipahami bahwa lahirnya suatu organisasi regional sangat dipengaruhi oleh kehadiran globalisasi, walaupun bukan merupakan faktor mutlak. Ada banyak faktor yang mendorong munculnya organisasi regional namun trend yang terjadi dalam kurun waktu lebih 20 tahun terakhir adalah bagaimana muncul banyak respon untuk menanggapi peluang dan ancaman yang diciptakan oleh globalisasi ekonomi, salah satunya adalah organisasi berbasis kawasan. Jika diperhadapkan dengan asumsi teoritis yang penulis angkat diawal, kehadiran organisasi regional menjadi pilihan signifikan negara sebab dapat dijadikan pilihan aman untuk memaksimalkan sekaligus mengamankan kepentingan nasional, dan memaksimalkan keuntungan.
antara ASEAN dan Uni Eropa
Esensi dari kerjasama kawasan yang terangkum dalam organisasi regional adalah memberikan batas-batas bagi negara bangsa untuk melakukan tindakan atas nama kedaulatan tunggal.[8] Begitu pula yang berlaku baik di Uni Eropa dan ASEAN. Dalam konteks ASEAN ada penghormatan akan alasan ‘urusan dalam negeri’, tercermin melalui prinsip nonintervention. Sejauh ini, menurut penulis, prinsip ini justru membuat ASEAN gagal memberikan sikap yang memadai terhadap beberapa kasus tertentu. Sedangkan di Uni Eropa tergolong cukup berhasil, dapat dilihat dengan adanya mata uang tunggal, yaitu Euro (terlepas ada negara yang belum bersepakat menggunakannya), dan parlemen Eropa. Pencapaian ini belum banyak ditemukan di kawasan lain.
Batasan atas nama kedaulatan samasekali tidak dapat diartikan bahwa organisasi regional dapat dikatakan berhasil hanya ketika meniadakan kedaulatan samasekali. Karena pada dasarnya indikator suatu keefektifan organisasi regional dilihat dari sejauh mana meningkatnya perkembangan kawasan dan kebijakan-kebijakan kawasan bisa membentuk dan menetapkan lanskap politik domestik.[9] Sejauh ini, ASEAN belum berhasil mencapainya sebab kehadiran ASEAN lebih banyak untuk memfasilitasi kerjasama namun tidak lebih lanjut mempengaruhi politik dalam negeri negara setiap anggota. Sebaliknya, Uni Eropa, menurut Higgot, adalah contoh kerjasama kawasan yang paling maju dan paling kohesif dibandingkan dengan kerjasama kawasan lain. Hal ini dikarenakan struktur politik Uni Eropa mempunyai kompetensi kebijakan, otoritas, dan otonomi, dari institusi politik nasional yang efektif diantara negara-negara yang ada. Bahkan Christiansen yang masih ragu akan keefektifan Uni Eropa dalam tataran kedaulatan masing-masing negara menyatakan bahwa mekanisme integrasi regional dari Uni Eropa-lah yang mampu menjawab banyak tantangan dari globalisasi.[10]
Perihal model interaksi, Uni Eropa cenderung institusionalis[11] dalam artian bentukan struktur yang jelas sedari awal. Bentuk semacam ini menyiratkan dua besar pilihan kemungkinan. Pertama adalah minim-konflik dimana adanya interdependensi yang nyata ditambah harmonisasi aturan sedangkan di kemungkinan kedua, menjadi rawan konflik karena adanya saling kebersinggungan dan adanya overlap otoritas. Untuk keanggotaan, saat ini Uni Eropa memiliki 27 negara anggota.[12] Keanggotaannya terbuka bagi setiap negara Eropa yang ingin menjadi anggota, namun dengan tiga syarat utama berdasarkan “Copenhagen Criteria”[13]; (1) negara yang bersangkutan harus berada di benua Eropa; (2) negara tersebut menerapkan prinsip-prinsip demokrasi, penegakan hukum, penghormatan HAM dan menjalankan segala peraturan perundangan Uni Eropa (acquis communautaires); (3) memiliki perekonomian yang stabil dan kuat. Selain tiga kriteria ini, faktor semisal penerimaan negara anggota juga menjadi pertimbangan khusus, semisal dikasus Turki yang ingin pula masuk menjadi anggota Uni Eropa. Terlepas dari tiga kriteria yang ada, negara-negara anggota tidak terlalu welcome dengan negara yang memiliki basic kepercayaan dominan yang berbeda dengan sebagian besar bahkan seluruh anggota yang lain.
Integrasi dalam Uni Eropa setidaknya dibagi dalam beberapa poin, pertama adalah trade club yang berbasis perdagangan, dimana berfokus pada fungsi integrasi untuk menekan biaya transaksi perdagangan. Kedua adalah monetary club yaitu integrasi untuk stabilitas moneter. Dan multiple club untuk meningkatkan perdagangan melalui kebijakan moneter. Dalam kasus Yunani yang kini sedang membahana, Uni Eropa tergolong mengambil langkah solutif yang jelas, semisal dengan pemberian dana talangan pertama sebesar 440 milliar Euro, lalu dana talangan kedua sebesar 1 T euro, ditambah dengan bagaimana Uni Eropa mempengaruhi perbankan dan asuransi untuk sepakat bersama mengurangi piutang mereka ke Yunani sebesar 50 persen.[14]
Beralih ke ASEAN, model yang dimiliki oleh organisasi regional yang awalnya dibuat hanya untuk meng-counter spill over negara besar pada perang dingin ini, adalah bentuk open-network yaitu dengan ciri sukarela, koordinasi, dan konsensus.  Dengan bentukan semacam ini, ASEAN menemukan beberapa kelemahan yaitu potensi konflik yang besar, mekanisme penanganan yang hanya berkisar pada forum diskusi, dan ketidakjelasan kriteria sebagai anggota. Tidak adanya harmonisasi peraturan, baik dalam mata uang dan regulasi apapun membuat pola inward dari negara jauh lebih menonjol daripada komitmen untuk memperkuat integrasi kawasannya.[15]
Dalam sepanjang catatan sejarah, hubungan antar negara ASEAN mengalami pasang surut. Bukan hanya berkisar pada kerja sama semata, namun juga penuh dengan dinamika konflik, dan jika diamati dengan teliti permasalahan yang ada bukanlah bentuk konflik yang menyangkut semua negara sekaligus namun seringnya hanya berkisar pada dua negara tertentu. Misalnya, kasus antara Filipina dan Malaysia agaknya menjadi sebuah kasus yang memberikan signifikansi tersendiri dalam dinamika interaksi ASEAN. Hubungan Malaysia dan Philipina sempat mengalami ketegangan, bahkan hubungan diplomatik kedua Negara  sempat terputus walaupun hanya sementara karena sengketa Sabah yang berlokasi di bagian utara Pulau Kalimantan. Malaysia mengancam mundur dari ASEAN yang sudah tentu mengancam kelangsungan hidup ASEAN secara keseluruhan. Penyebab konflik ini tidak lain berkaitan dengan isu territorial. Malaysia mengklaim hak kepemilikannya atas Sabah karena secara geografis adalah wilayah di sebelah utara Kalimantan sedangkan Filipina juga meletakan klaim atas Sabah karena wilayah itu pernah diperintah oleh kesultanan di Filipina bagian selatan pada abad ke 15.
Pada permasalahan Malaysia dan Philipina akan klaim Sabah ini, ASEAN dengan keadaan yang memang tidak diperlengkapi dengan suatu parlemen khusus akhirnya mengharuskan negara anggota yang lain untuk turut serta dalam upaya penyelesaian sengketa. Disini, Indonesia dan Thailand adalah dua negara yang menawarkan untuk menjadi mediator dalam upaya menemukan solusi terbaik. Menurut saya, hal ini mencerminkan usaha manajemen konflik yang membatasi peluang negara besar diluar ASEAN seperti Amerika Serikat dan China untuk melakukan intervensi mendalam. Sebuah upaya yang cukup layak untuk dihargai. Ketegangan Malaysia dan Filipina mereda sejak berlangsungnya pertemuan di Jakarta dan Bangkok Desember 1968 yang akhirnya menghimbau kedua negara untuk tidak lagi menyuarakan perbedaan pendapat mereka secara terbuka untuk menurunkan ketegangan hubungan politik kedua Negara. Selain itu, normalisasi signifikan dari dua negara ini ditandai dengan Presiden Marcos yang melepaskan tuntutan Filipina terhadap Sabah pada Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN yang diadakan tahun 1977 di Kuala Lumpur.
Selain kasus yang menyangkut dua ngeara naggota, adapula kasus-kasus internal negara yang akhirnya ‘go internasional’ namun gagal diresponi secara tepat oleh ASEAN, dan kembali, dikarenakan prinsip non-intervention. Dalam kasus Republik Maluku Selatan misalnya, terdapat kelompok separatis yang menghendaki untuk lepas dari kesatuan Republik Indonesia. Permasalahan ini mendapat banyak sorotan internasional, dan walaupun ditemukan beberapa langkah mekanisme penyelesaian yang diusahakan oleh ASEAN namun menurut penulis bukanlah keberhasilan signifikan. Berdasarkan ASEAN Ways dan prinsip non-interference, ASEAN tidak dapat mencampuri terlalu dalam permasalahan RMS antara Indonesia dan Belanda. Namun, ASEAN menunjukkan upaya untuk menyelesaikan kasus ini melalui badan bentukannya, ASEAN Inter-Governmental Commission on Human Rights (AICHR) yang merupakan keputusan para menteri luar negeri negara anggota ASEAN. AICHR ini memberi kontribusi menuju penguatan Komunitas ASEAN. Demokrasi dan Hak Asasi Manusia (HAM) adalah dua prinsip dasar yang dijaga di dalam Piagam ASEAN dan kita sekarang mengambil langkah-langkah menuju pemenuhan prinsip-prinsip tersebut untuk bangsa ASEAN.

Kesimpulan dan Opini
Awalnya, kajian kemunculan organisasi regional hanya mengarah pada pemaknaan respon atas perang dunia yang terjadi, namun kini telah beralih dan lebih menekankan pada adanya saling ketergantungan antara negara di seluruh dunia terkhusus dalam suatu kawasan tertentu. Dalam perkembangannya, organisasi regional yang terlahir tidak memiliki keseragaman pola interaksi. ASEAN cenderung open-networking yang lebih fleksibel namun dalam banyak titik justru lemah dan gagal untuk menjadi satu pihak penyelesai konflik baik antar negara anggota dan juga beberapa permasalahan internal yang seharusnya patut untuk diintervensi, misalnya perihal isu Hak Asasi Manusia. Potensi konflik dari model interaksi ASEAN ini cenderung rawan konflik sebab tidak ada harmonisasi peraturan, masih banyak egosentris negara yang sulit dipatahkan, dan juga ketergantungan ekonomi yang relative rendah. Sedangkan di Uni Eropa, hampir semua pakar telah sepakat bahwa organisasi regional yang satu ini adalah contoh integrasi kawasan yang paling berhasil, sebab telah memiliki harmonisasi peraturan secara jelas yang akhirnya menekan potensi lahirnya konflik terkhusus antar negara anggota. Dengan menggunakan asumsi neo-institusionalisme, diperjelas bahwa akhirnya suatu negara mau untuk bergabung dalam suatu organisasi regional sebab ada keuntungan yang semakin maksimal, berangkat dari bargaining position yang semakin kuat.



[1] Budi Winarno, Isu-isu Global Kontemporer, Yogyakarta: CAPS press, 2011, hal 103
[2] Steven L Lamy, 2001, “Contemporary Mainstream Approaches”. dalam Budi Winarno, Isu-isu Global Kontemporer, Yogyakarta: CAPS press, 2011, hal 110
[3] Budi Winarno, Isu-isu Global Kontemporer, Yogyakarta: CAPS press, 2011, hal 94
[4] Michael Smith, 2001. “Regional and Regionalism”. Dalam Brian White, et.al (eds.), Issue in World Politics, Second Edition. New York: Palgrave, hal 56
[5] Budi Winarno, Isu-isu Global Kontemporer, Yogyakarta: CAPS press, 2011, hal 98
[6] Amitav Acharya, 1998, Collective Security and Conflict Management in Southeast Asia, dalam Adler, Emanuel dan Michael Barnett, Security Community, 1998. Cambridge: Cambridge University Press. p. 199
[7] Richard Higgot, 1998. “The International Political Economy of Regionalism”. Dalam William D. Coleman and Geofrey R.D underhill (eds). Regionalism and Global Economic Integration: Europe, Asia, and the America, London and New York; Routledge, pg. 68
[8] Budi Winarno, Isu-isu Global Kontemporer, Yogyakarta: CAPS press, 2011, hal 102
[9] Budi Winarno, Isu-isu Global Kontemporer, Yogyakarta: CAPS press, 2011, hal 98
[10] Budi Winarno, Isu-isu Global Kontemporer, Yogyakarta: CAPS press, 2011, hal 116
[11] Citra Hennida, perkuliahan Organisasi Regional, 2011.
[12] [ppt] kelompok 1, History European Union: Timeline. 2011. Perkuliahan MBP Eropa.
[13] [ppt] Kelompok 2, European Union. 2011. Perkuliahan Organisasi Internasional
[15] Robyn Lim. ASEAN Regional Forum: Building on Sand dalam contemporary Southeast Asia. 1998. pg 115

another International relation, business, and many more journals and articles, you can visit: http://buahpikir-claudya-fisip09.web.unair.ac.id/

You Might Also Like

0 komentar

wanna say something? ^^