Welcome to our website !

Tentang Sesuatu

Segalau apapun, pasti tetap tentang sesuatu, entah Tempat atau Teman, entah Pendapat atau Pengalaman.

Mimpi yang Menjawab Mimpi

By Sabtu, November 22, 2014


Konon, kita tak bisa berbohong hanya sekali, akan ada kebohongan lain yang perlu menutupi. Begitu pula dengan mimpi. Aku rasa, ketika satu terjawab yang lain akan turut terealisasi.


Nyaris sama dengan proposal kegiatan yang diajukan untuk meminta bantuan dana, penantian pasangan versiku juga demikian. Aku ajukan dengan getar pada Pencipta selusin poin yang ingin aku dapati di pribadi pasangan hidupku kelak. Ini rahasia hanya antara aku dan Empunya semesta. Rangkaian kriteria akan sosok pasangan idaman membuatku menanti dengan kesabaran walau dalam kesendirian. Seseorang datang lalu pergi, membuatku getir mengakui hatiku seumpama bandara, beberapa singgah tanpa aku biarkan menetap. Iya, satu-satunya yang aku butuhkan adalah laki-laki yang menjadikan hatiku sebagai rumah. Empat tahun setelahnya, aku menemukan sosok itu. Genggaman tangannya adalah mimpi yang telah termanifestasi dalam kenyataan. Hatiku tertambat pada seorang pria lulusan teknik yang memenangkan kata “iya” dariku dengan cara yang memukau nan unik.
Berselang dua hari setelah pertemuan meresmikan hubungan, dia kembali melanjutkan perantauan ke ibu kota yang konon sangat kejam. LDR adalah wujud konsekuensi sekaligus komitmen kami untuk mempersiapkan masa depan bersama dengan mencari nafkah di kota yang berbeda. Dengan hamburan rasa rindu, kami memilih Yogyakarta menjadi pilihan titik temu di suatu kesempatan akhir minggu. Berada di tengah antara Surabaya-Jakarta, agaknya menjadikan Yogyakarta sebagai pilihan strategis nan adil. Pun dia adalah sebuah kota pilihan yang tak pernah membosankan.
Permohonan cuti adalah hal pertama yang harus kami pikirkan, sebelum menikmati perjalanan perdana sebagai pasangan. Di sela kesibukan pekerjaan kami juga saling bertukar informasi untuk penginapan serta jadwal kereta. Pemilihan tanggal liburan kami adalah saat high season, momen yang tepat namun sepaket dengan konsekuensi sulitnya menemukan penginapan. Tak berselang lama, kami berangkat dari stasiun kota yang berbeda, sayangnya jadwal kereta dari Surabaya mengharuskan aku tiba terlebih dahulu. Salah satu kebetulan paling manis dalam perjalanan ini adalah alunan lagu Yogyakarta dari kla-project yang didendangkan tepat saat aku menapakan kaki di lantainya yang berdebu. Di larut malam, aku menanti kereta dari Jakarta memperdengarkan nyaring suaranya. Masih teringat jelas ekspresi sang kekasih kala turun dari gerbong kereta dan mendapati wanitanya telah menanti dengan senyum penuh rindu. Sebuah perasaan yang ingin aku nikmati lain waktu kami melakukan perjalanan bersama.
Malam itu kami hanya berbalut lelah akibat perjalanan panjang. Dengan naik taxi kami menuju ke penginapan. Tak banyak canda cengkrama karena sejujurnya kami hanya ingin bergegas dari stasiun menuju kamar kami masing-masing. Durasi malam itu hanya dihabiskan dengan saling menatap dan saling melemparkan senyum lega, karena akhirnya perjalanan ini terwujud juga. Sebelum melelapkan diri di ruang yang terpisah, kami menyempatkan waktu untuk tertunduk dalam doa bersama. Sebuah menu pembuka perjalanan yang begitu manis dan bersahaja. Aku menyebutnya “formasi doa 20 jari” dan sejak malam itu, formasi demikian adalah salah satu rutinitas yang aku rindukan.
Adalah kebiasaan setiap melakukan perjalanan, aku membawa sebuah buku harian tempat aku menuliskan 150 impian sebelum usia 30 tahunku tiba. Di kamarku sendiri, dengan penuh haru syukur aku mencoret salah satu poin malam itu. Jemari dengan spidol warna kuning terang mengarah pada nomor 66 dimana tertulis keinginanku untuk mencicipi duo backpacker as a couple. “Ah akhirnya, satu lagi poin terkabul!” Begitu kataku dalam angan dan girang.
Di sela euforia sukacita itu, aku baca ulang seluruh poin yang tertulis disana. Hingga di nomor 98 aku terhenti. Keinginan untuk mengunjungi rumah sakit kelahiran adalah sesuatu yang memang aku idamkan, selain itu adalah salah satu pesan yang diamanatkan kepadaku oleh Almarhum papa semasa beliau hidup. Kebetulan tangisan pertamaku sebagai seorang bayi di bumi ini bertempat di Magelang, dan tak sampai dua tahun setelahnya kami sekeluarga berpindah kota tempat tinggal. Itulah mengapa kunjungan ke Rumah Sakit kelahiran akan menjadi sesuatu yang istimewa. Keesokan paginya, dengan sedikit ragu memberanikan diri bertanya pada sang kekasih apakah mungkin untuk mengunjungi tempat itu, selagi kami berdua memang sedang ada di Yogyakarta. Tak banyak berharap persetujuan darinya, karena menyadari bahwa untuk menuju ke Magelang akan mengubah rundown kami, yang seharusnya hari itu menikmati desiran ombak pantai gunung kidul. Siapa sangka, lelaki ini sekali lagi memenangkan hati dengan antusiasmenya memenuhi keinginanku. Destinasi pantai berganti menuju kota Magelang.
Bermodal google maps, kami mencari arah menuju Rumah Sakit saksi perjuangan gigih mamaku 22 tahun yang lalu. Perjalanan Yogyakarta-Magelang bukan perjalanan yang senantiasa mulus, saya mendapati bagaimana pasangan saya ini sungguh bukan orang yang mudah mentoleransi kecerobohan. Mungkin salah satu karakter dan tuntutan mendasar dari anak teknik adalah perfeksionismenya, sehingga tak mengejutkan dia kerap geram dengan kecerobohanku. Dengan nada gemas, dia terheran betapa payahnya aku dalam membaca peta. Oke, pembelaanku tak banyak berbeda dari perempuan lainnya: kaum hawa memang lebih suka berhenti untuk bertanya dibandingkan membaca peta. Pasti mengesalkan baginya harus beberapa kali memutar arah, tapi yang mengagumkan adalah bagaimana dia dengan sabar mengajariku lalu sesekali menyemangatiku yang sudah hampir putus asa karena terlalu sering salah menunjuk arah saat itu. Tak ada nada kasar dan tak ada penghakiman bernada kesombongan, kekesalan dan gemas hatinya masih berbalut kasih dalam memperlakukan wanitanya.
Setelah beberapa kali salah membedakan kanan dan kiri atau sekedar terlambat memberi tahu saatnya berbelok, akhirnya kami tiba. Lega, perasaan pertama saat itu, kewajiban membaca peta terhenti sejenak. Kami berdiri di depan sebuah gedung rumah sakit yang tak terlalu besar, namun membuat saya merinding gembira. Di tengah terik kota Magelang yang teduh itu, lelaki kebanggaanku telah membantuku memenuhi amanat almarhum Papaku. Tak banyak yang kami lakukan, hanya sekedar mengambil foto sebagai kenang-kenangan. Masih dengan petunjuk peta elektronik, perjalanan berlanjut menuju ke salah satu keajaiban dunia: Borobudur.
Di tempat itu, kami menemukan sebuah kesamaan yaitu menikmati setiap detail tanpa terburu-buru. Kadang beberapa orang akan sibuk berfoto atau sekedar berkeliling tanpa mau perlahan menikmati ilmu dibalik sebuah destinasi, misalnya tentang sejarah. Aku seakan menemukan sebuah kesamaan erat bagaimana kami bisa melangkah perlahan menikmati setiap relief di candi yang masyur itu, dengan obrolan-obrolan bertukar wawasan. Masih di kawasan Borobudur, ketika tiba di Museum Samudera-Reksa yang merupakan ruang khusus penyimpanan salah satu replika kapal gagah kejayaan masa lalu. Disana aku melihat sendiri betapa dia mencintai ilmunya. Kebetulan dia adalah lulusan teknik perkapalan, yang membuat ruangan itu tak lain adalah dunianya. Membaca satu per satu informasi yang tertempel di dinding itu, dan dengan nada antusias menjelaskan beberapa hal teknis kapal kepadaku yang awam ini. Tak sepenuhnya mengerti, tapi bagaimanapun membuatku merasa terkagum dengan warisan kapal-kapal nusantara jaman dulu. Itulah bagian yang menyenangkan jika pasangan kita berbeda disiplin ilmu, akan banyak informasi baru yang dapat dibarter untuk memperkaya masing-masing kami. Perbedaan memang tak selalu memecah.
Borobudur tak hanya menyimpan sejarah kearifan dan kejayaan nusantara, namun juga sejarah pribadiku. Nama panggilanku sejak kecil hingga hari ini sangat jauh berbeda dari nama asliku. Tak sedikitpun ada kesamaan. Nama itu tidak lain lahir dari sebuah diskusi singkat di taman kawasan Borobudur. Uniknya, diskusi penentuan nama panggilan itu tidak terjadi antara orang tuaku namun antara tukang kebun dan seorang turis. Di Borobudur nama panggilanku menengok sejarahnya.
Bagi sepasang kekasih hal penting tak melulu soal menemukan kesamaan, namun juga menemukan perbedaan yang saling melengkapi. Ujung jalan-jalan di Borobudur kami membuatku menemukan satu perbedaan yang membahagiakan. Di kala makan siang, seorang ibu tua mendekat ke bangku kami duduk menjajakan jualannya. Dengan nada kalem dan ekspresi datar, dia masuk dalam tawar-menawar dengan ibu tersebut. Singkat cerita, harga termurah dari pacarku ini memenangkan nego. Aku terheran melihat seorang lelaki dengan piawai melakukan tawar-menawar harga, karena sebenarnya kemampuan itu tak ada dalam diriku. Dia adalah partner yang sungguh melengkapiku, bahkan di perkara sederhana ini.
Usai perjalanan yang menggosongkan itu, kami ingin bersantai menikmati makan malam berdua. Kebetulan kami sama-sama penggila pasta dan beruntungnya tak jauh dari penginapan kami menemukan sebuah restoran pasta dengan konsep outdoor dengan rasa yang otentik Italia. Makan malam itu tak berlalu hanya dengan obrolan khas pacaran. Suasana romantis taman berpadu cahaya lampu-lampu kecil tak menghindarkan kami dari sebuah kegiatan unik yang memang sudah aku rencanakan. Di meja restoran itu aku mengajarinya permainan kartu poker dan jenis permainan kartu lainnya. Agaknya perbedaan kami bertukar dari yang senormalnya. Keterampilan menawar harga harusnya dikuasai kaum hawa ternyata tidak ada dalam diriku, demikian perihal main kartu serta permainan penguji adrenalin yang senormalnya ada di lelaki justru tak ada dalam dirinya. Sungguh kombinasi yang membuka lebar peluang saling melengkapi. Hal-hal semacam ini tak akan kami sadari jika kebersamaan selalu ada dalam jarak yang terpisah.
Hari ketiga kami sekaligus penghujung liburan telah sampai di depan mata. Sebelum mengunjungi tempat-tempat sesuai rencana, kami sejenak beribadah bersama. Kebetulan itu hari minggu, sehingga kami sempatkan mencari gereja yang tak jauh dari penginapan untuk menghadap ke Pencipta yang merajut kisah kami berdua. Setelah mengisi kebutuhan rohani saatnya mengisi kebutuhan jasmani. Di depan Malioboro Mall kami menetapkan pilihan sarapan. Menunya adalah nasi pecel. Dengan lesehan kami menikmati sarapan berdua. Tidak beruntungnya adalah nasi pecel yang kami pesan ternyata sangatlah pedas bagiku yang samasekali tidak kuat menahan panas di lidah. Dengan menyesal aku harus menyerah dan hanya memakan bagian yang belum banyak tersentuh oleh bumbu kacang khas Indonesia itu. Dia terganggu dengan kenyataan ada sisa makanan yang tidak dihabiskan, lalu tanpa banyak berkomentar dia dengan sukarela menghabiskan bagian di piring bambuku itu. Sebuah momen yang membuatku mendapati karakter positif dalam dirinya.
Sisa hari itu sebelum jadwal sore kereta kami tiba, dengan lincah kami singgah ke Taman Sari, Benteng Vrederburg, tempat oleh-oleh, dan sejenak makan siang di salah satu tempat Gudeg terkenal di Yogyakarta. Pukul 13.00 kami harus mengembalikan sepeda motor sewaan kami, padahal kereta kami berdua tiba di Lempuyangan sore menjelang malam. Untuk penghematan, kami menolak perpanjangan durasi sewa motor dan beralih ke kendaraan umum khas Yogyakarta: TransJogja. Sembari menghabiskan empat jam menanti jadwal kereta, kami berjalan menyusuri Malioboro dan sesekali menepi melihat beberapa barang. Tapi tak ada satupun yang kami beli. Satu lagi catatan kesamaan kami berdua, kami bukan tipe yang gelap mata terhadap barang-barang. Jika tak butuh, tak perlu merogoh saku. Aku rasa kesamaan prinsip ini akan menghindarkan kami dari perdebatan alokasi dana ketika nantinya kami berumahtangga. Sepasang kaki telah lelah tak sepakat dengan antusiasme mata yang masih ingin menikmati pemandangan transaksi jual beli di sepanjang jalan. Protes lelah kaki kami tidak lain karena perjalanan menyusuri lorong terkenal itu harus dengan membawa barang bawaan serta oleh-oleh bakpia di kanan tangan dan kiri.
Malioboro Mall menjadi pilihan singgah terakhir. Di sebuah kafe, kami memanfaatkan dengan baik waktu yang tersisa sembari menyeruput minuman dingin yang menghilangkan dahaga. Siang itu, aku keluarkan buku harianku. Di hadapannya, masih dengan spidol yang sama, aku coret poin wishlist nomor 98. Dengan tatapan serius nan tulus aku ungkapkan terimakasih karena membuatku dapat mengunjungi tempat kelahiran. Senyum merekah di bibir kami berdua. Dia adalah orang pertama yang aku perbolehkan memegang buku harianku bahkan mengijinkannya membaca satu per satu poin wishlist itu. Kata orang, kedekatan teruji ketika seseorang dengan berani membagi mimpi-mimpinya, dan siang itu aku membuktikan bahwa itu benar. Usai tuntas membaca, dia memegang tanganku lalu berkata “aku akan bantu kamu wujudkan satu per satu.” Kalimat mengandung janji itu melelehkan hatiku sebagai seorang perempuan. Dia tidak berjanji akan mewujudkan semua, dia hanya berjanji akan menjadi penolongku mewujudkan sedikit demi sedikit. Sebuah janji yang tak melampui kemampuan adalah sebuah janji yang bisa dipercaya. Waktu akhirnya membawa kami pada kewajiban kembali ke kota perantauan. Dengan naik becak kami menuju ke stasiun. Peristiwa sendu akhirnya terjadi, dimana aku harus melepasnya. Dengan menarik nafas aku sesaat merasa seperti jelangkung di perjalanan ini. Datang tak dijemput pulangpun tak diantar. Dengan dendam dan humor aku berkata kali selanjutnya dia harus merasakan perasaan rindu gelisah kala menjemput dan sedih tak rela saat mengantar.
Di tengah perjalanan malam kereta menuju kembali ke kota perantauanku, aku menyadari bahwa kesulitan menjalin sebuah hubungan jarak jauh bukan saja tentang menimbun rindu dan menguji kepercayaan, namun sempitnya kesempatan mengenal pasangan secara langsung. Bagaimana dia memilih menu makanan? Bagaimana caranya memperlakukan tukang parkir dan pelayanan restoran? Apakah dia membuang sampah pada tempatnya? Berbagai kebiasaan sederhana mengungkapkan kualitas pribadi seseorang, yang sangat sulit terungkap dengan percakapan via suara semata. Memang traveling adalah kesempatan mengungkap karakter tersembunyi baik diri sendiri, penduduk sekitar, dan juga partner perjalanan, dan itulah yang terjadi di perjalanan perdana kami.
Tak banyak tempat yang kami kunjungi saat itu, dan harus diakui kebanyakan adalah destinasi wajib Yogyakarta, seperti Benteng Vederburg, Taman Sari, Borobudur, dan Kuliner Gudeg. Tak layak saya berbangga akan naluri petualang kami. Beruntungnya kesempurnaan kisah perjalanan tidak selalu dinilai dari banyaknya destinasi yang dikunjungi, bukan pula pilihan tempat anti-mainstream hasil eksplorasi. Kadang kesempurnaan perjalanan sederhana disimpulkan dari seberapa banyak keyakinan dan syukur yang lahir saat itu. Tiga hari dua malam di kota klasik Yogyakarta membuatku mantab memperhitungkan dia sebagai bagian di masa depan kelak, atas segala persamaan terlebih perbedaan kami yang saling melengkapi. Di lorong jalanan Maliboro, di atas susunan bebatuan Borobudur, dan di tengah hiruk Lempuyangan, mimpiku dengan setia menggenggam tangan lalu memancing syukur, bagaimana dia yang adalah jawaban mimpi telah menolongku mewujudkan dua mimpiku saat itu. Semakin istimewa karena dia yang adalah lelaki impianku juga berjanji mewujudkan mimpi-mimpiku lainnya.
Adakah yang lebih indah ketika satu mimpi membuat mimpi-mimpi lain terealisasi?

*tulisan ini merupakan tulisan yang berhasil lolos audisi "would you be my travelmate"


You Might Also Like

0 komentar

wanna say something? ^^