Mimpi yang Menjawab Mimpi
Konon, kita tak bisa berbohong hanya sekali, akan ada kebohongan lain yang perlu menutupi. Begitu pula dengan mimpi. Aku rasa, ketika satu terjawab yang lain akan turut terealisasi.
Nyaris
sama dengan proposal kegiatan yang diajukan untuk meminta bantuan dana,
penantian pasangan versiku juga demikian. Aku ajukan dengan getar pada Pencipta
selusin poin yang ingin aku dapati di pribadi pasangan hidupku kelak. Ini rahasia
hanya antara aku dan Empunya semesta. Rangkaian kriteria akan sosok pasangan
idaman membuatku menanti dengan kesabaran walau dalam kesendirian. Seseorang
datang lalu pergi, membuatku getir mengakui hatiku seumpama bandara, beberapa
singgah tanpa aku biarkan menetap. Iya, satu-satunya yang aku butuhkan adalah
laki-laki yang menjadikan hatiku sebagai rumah. Empat tahun setelahnya, aku
menemukan sosok itu. Genggaman tangannya adalah mimpi yang telah termanifestasi
dalam kenyataan. Hatiku tertambat pada seorang pria lulusan teknik yang
memenangkan kata “iya” dariku dengan cara yang memukau nan unik.
Berselang
dua hari setelah pertemuan meresmikan hubungan, dia kembali melanjutkan
perantauan ke ibu kota yang konon sangat kejam. LDR adalah wujud konsekuensi
sekaligus komitmen kami untuk mempersiapkan masa depan bersama dengan mencari
nafkah di kota yang berbeda. Dengan hamburan rasa rindu, kami memilih
Yogyakarta menjadi pilihan titik temu di suatu kesempatan akhir minggu. Berada
di tengah antara Surabaya-Jakarta, agaknya menjadikan Yogyakarta sebagai
pilihan strategis nan adil. Pun dia adalah sebuah kota pilihan yang tak pernah
membosankan.
Permohonan
cuti adalah hal pertama yang harus kami pikirkan, sebelum menikmati perjalanan
perdana sebagai pasangan. Di sela kesibukan pekerjaan kami juga saling bertukar
informasi untuk penginapan serta jadwal kereta. Pemilihan tanggal liburan kami
adalah saat high season, momen yang
tepat namun sepaket dengan konsekuensi sulitnya menemukan penginapan. Tak
berselang lama, kami berangkat dari stasiun kota yang berbeda, sayangnya jadwal
kereta dari Surabaya mengharuskan aku tiba terlebih dahulu. Salah satu
kebetulan paling manis dalam perjalanan ini adalah alunan lagu Yogyakarta dari
kla-project yang didendangkan tepat saat aku menapakan kaki di lantainya yang
berdebu. Di larut malam, aku menanti kereta dari Jakarta memperdengarkan
nyaring suaranya. Masih teringat jelas ekspresi sang kekasih kala turun dari
gerbong kereta dan mendapati wanitanya telah menanti dengan senyum penuh rindu.
Sebuah perasaan yang ingin aku nikmati lain waktu kami melakukan perjalanan
bersama.
Malam
itu kami hanya berbalut lelah akibat perjalanan panjang. Dengan naik taxi kami
menuju ke penginapan. Tak banyak canda cengkrama karena sejujurnya kami hanya
ingin bergegas dari stasiun menuju kamar kami masing-masing. Durasi malam itu
hanya dihabiskan dengan saling menatap dan saling melemparkan senyum lega,
karena akhirnya perjalanan ini terwujud juga. Sebelum melelapkan diri di ruang
yang terpisah, kami menyempatkan waktu untuk tertunduk dalam doa bersama.
Sebuah menu pembuka perjalanan yang begitu manis dan bersahaja. Aku menyebutnya
“formasi doa 20 jari” dan sejak malam itu, formasi demikian adalah salah satu
rutinitas yang aku rindukan.
Adalah
kebiasaan setiap melakukan perjalanan, aku membawa sebuah buku harian tempat aku
menuliskan 150 impian sebelum usia 30 tahunku tiba. Di kamarku sendiri, dengan
penuh haru syukur aku mencoret salah satu poin malam itu. Jemari dengan spidol
warna kuning terang mengarah pada nomor 66 dimana tertulis keinginanku untuk
mencicipi duo backpacker as a couple.
“Ah akhirnya, satu lagi poin terkabul!” Begitu kataku dalam angan dan girang.
Di
sela euforia sukacita itu, aku baca ulang seluruh poin yang tertulis disana.
Hingga di nomor 98 aku terhenti. Keinginan untuk mengunjungi rumah sakit kelahiran
adalah sesuatu yang memang aku idamkan, selain itu adalah salah satu pesan yang
diamanatkan kepadaku oleh Almarhum papa semasa beliau hidup. Kebetulan tangisan
pertamaku sebagai seorang bayi di bumi ini bertempat di Magelang, dan tak
sampai dua tahun setelahnya kami sekeluarga berpindah kota tempat tinggal.
Itulah mengapa kunjungan ke Rumah Sakit kelahiran akan menjadi sesuatu yang
istimewa. Keesokan paginya, dengan sedikit ragu memberanikan diri bertanya pada
sang kekasih apakah mungkin untuk mengunjungi tempat itu, selagi kami berdua
memang sedang ada di Yogyakarta. Tak banyak berharap persetujuan darinya,
karena menyadari bahwa untuk menuju ke Magelang akan mengubah rundown kami, yang seharusnya hari itu
menikmati desiran ombak pantai gunung kidul. Siapa sangka, lelaki ini sekali
lagi memenangkan hati dengan antusiasmenya memenuhi keinginanku. Destinasi
pantai berganti menuju kota Magelang.
Bermodal
google maps, kami mencari arah menuju
Rumah Sakit saksi perjuangan gigih mamaku 22 tahun yang lalu. Perjalanan
Yogyakarta-Magelang bukan perjalanan yang senantiasa mulus, saya mendapati
bagaimana pasangan saya ini sungguh bukan orang yang mudah mentoleransi
kecerobohan. Mungkin salah satu karakter dan tuntutan mendasar dari anak teknik
adalah perfeksionismenya, sehingga tak mengejutkan dia kerap geram dengan
kecerobohanku. Dengan nada gemas, dia terheran betapa payahnya aku dalam
membaca peta. Oke, pembelaanku tak banyak berbeda dari perempuan lainnya: kaum
hawa memang lebih suka berhenti untuk bertanya dibandingkan membaca peta. Pasti
mengesalkan baginya harus beberapa kali memutar arah, tapi yang mengagumkan
adalah bagaimana dia dengan sabar mengajariku lalu sesekali menyemangatiku yang
sudah hampir putus asa karena terlalu sering salah menunjuk arah saat itu. Tak
ada nada kasar dan tak ada penghakiman bernada kesombongan, kekesalan dan gemas
hatinya masih berbalut kasih dalam memperlakukan wanitanya.
Setelah
beberapa kali salah membedakan kanan dan kiri atau sekedar terlambat memberi
tahu saatnya berbelok, akhirnya kami tiba. Lega, perasaan pertama saat itu,
kewajiban membaca peta terhenti sejenak. Kami berdiri di depan sebuah gedung
rumah sakit yang tak terlalu besar, namun membuat saya merinding gembira. Di
tengah terik kota Magelang yang teduh itu, lelaki kebanggaanku telah membantuku
memenuhi amanat almarhum Papaku. Tak banyak yang kami lakukan, hanya sekedar
mengambil foto sebagai kenang-kenangan. Masih dengan petunjuk peta elektronik,
perjalanan berlanjut menuju ke salah satu keajaiban dunia: Borobudur.
Di
tempat itu, kami menemukan sebuah kesamaan yaitu menikmati setiap detail tanpa
terburu-buru. Kadang beberapa orang akan sibuk berfoto atau sekedar berkeliling
tanpa mau perlahan menikmati ilmu dibalik sebuah destinasi, misalnya tentang
sejarah. Aku seakan menemukan sebuah kesamaan erat bagaimana kami bisa
melangkah perlahan menikmati setiap relief di candi yang masyur itu, dengan
obrolan-obrolan bertukar wawasan. Masih di kawasan Borobudur, ketika tiba di
Museum Samudera-Reksa yang merupakan ruang khusus penyimpanan salah satu
replika kapal gagah kejayaan masa lalu. Disana aku melihat sendiri betapa dia
mencintai ilmunya. Kebetulan dia adalah lulusan teknik perkapalan, yang membuat
ruangan itu tak lain adalah dunianya. Membaca satu per satu informasi yang
tertempel di dinding itu, dan dengan nada antusias menjelaskan beberapa hal
teknis kapal kepadaku yang awam ini. Tak sepenuhnya mengerti, tapi bagaimanapun
membuatku merasa terkagum dengan warisan kapal-kapal nusantara jaman dulu.
Itulah bagian yang menyenangkan jika pasangan kita berbeda disiplin ilmu, akan
banyak informasi baru yang dapat dibarter untuk memperkaya masing-masing kami.
Perbedaan memang tak selalu memecah.
Borobudur
tak hanya menyimpan sejarah kearifan dan kejayaan nusantara, namun juga sejarah
pribadiku. Nama panggilanku sejak kecil hingga hari ini sangat jauh berbeda
dari nama asliku. Tak sedikitpun ada kesamaan. Nama itu tidak lain lahir dari
sebuah diskusi singkat di taman kawasan Borobudur. Uniknya, diskusi penentuan
nama panggilan itu tidak terjadi antara orang tuaku namun antara tukang kebun
dan seorang turis. Di Borobudur nama panggilanku menengok sejarahnya.
Bagi
sepasang kekasih hal penting tak melulu soal menemukan kesamaan, namun juga
menemukan perbedaan yang saling melengkapi. Ujung jalan-jalan di Borobudur kami
membuatku menemukan satu perbedaan yang membahagiakan. Di kala makan siang,
seorang ibu tua mendekat ke bangku kami duduk menjajakan jualannya. Dengan nada
kalem dan ekspresi datar, dia masuk dalam tawar-menawar dengan ibu tersebut.
Singkat cerita, harga termurah dari pacarku ini memenangkan nego. Aku terheran
melihat seorang lelaki dengan piawai melakukan tawar-menawar harga, karena
sebenarnya kemampuan itu tak ada dalam diriku. Dia adalah partner yang sungguh
melengkapiku, bahkan di perkara sederhana ini.
Usai
perjalanan yang menggosongkan itu, kami ingin bersantai menikmati makan malam
berdua. Kebetulan kami sama-sama penggila pasta dan beruntungnya tak jauh dari
penginapan kami menemukan sebuah restoran pasta dengan konsep outdoor dengan rasa yang otentik Italia.
Makan malam itu tak berlalu hanya dengan obrolan khas pacaran. Suasana romantis
taman berpadu cahaya lampu-lampu kecil tak menghindarkan kami dari sebuah
kegiatan unik yang memang sudah aku rencanakan. Di meja restoran itu aku
mengajarinya permainan kartu poker dan jenis permainan kartu lainnya. Agaknya
perbedaan kami bertukar dari yang senormalnya. Keterampilan menawar harga
harusnya dikuasai kaum hawa ternyata tidak ada dalam diriku, demikian perihal
main kartu serta permainan penguji adrenalin yang senormalnya ada di lelaki
justru tak ada dalam dirinya. Sungguh kombinasi yang membuka lebar peluang
saling melengkapi. Hal-hal semacam ini tak akan kami sadari jika kebersamaan
selalu ada dalam jarak yang terpisah.
Hari
ketiga kami sekaligus penghujung liburan telah sampai di depan mata. Sebelum
mengunjungi tempat-tempat sesuai rencana, kami sejenak beribadah bersama.
Kebetulan itu hari minggu, sehingga kami sempatkan mencari gereja yang tak jauh
dari penginapan untuk menghadap ke Pencipta yang merajut kisah kami berdua. Setelah
mengisi kebutuhan rohani saatnya mengisi kebutuhan jasmani. Di depan Malioboro
Mall kami menetapkan pilihan sarapan. Menunya adalah nasi pecel. Dengan lesehan
kami menikmati sarapan berdua. Tidak beruntungnya adalah nasi pecel yang kami
pesan ternyata sangatlah pedas bagiku yang samasekali tidak kuat menahan panas
di lidah. Dengan menyesal aku harus menyerah dan hanya memakan bagian yang
belum banyak tersentuh oleh bumbu kacang khas Indonesia itu. Dia terganggu
dengan kenyataan ada sisa makanan yang tidak dihabiskan, lalu tanpa banyak berkomentar
dia dengan sukarela menghabiskan bagian di piring bambuku itu. Sebuah momen
yang membuatku mendapati karakter positif dalam dirinya.
Sisa
hari itu sebelum jadwal sore kereta kami tiba, dengan lincah kami singgah ke
Taman Sari, Benteng Vrederburg, tempat oleh-oleh, dan sejenak makan siang di
salah satu tempat Gudeg terkenal di Yogyakarta. Pukul 13.00 kami harus
mengembalikan sepeda motor sewaan kami, padahal kereta kami berdua tiba di
Lempuyangan sore menjelang malam. Untuk penghematan, kami menolak perpanjangan
durasi sewa motor dan beralih ke kendaraan umum khas Yogyakarta: TransJogja.
Sembari menghabiskan empat jam menanti jadwal kereta, kami berjalan menyusuri
Malioboro dan sesekali menepi melihat beberapa barang. Tapi tak ada satupun
yang kami beli. Satu lagi catatan kesamaan kami berdua, kami bukan tipe yang
gelap mata terhadap barang-barang. Jika tak butuh, tak perlu merogoh saku. Aku
rasa kesamaan prinsip ini akan menghindarkan kami dari perdebatan alokasi dana
ketika nantinya kami berumahtangga. Sepasang kaki telah lelah tak sepakat
dengan antusiasme mata yang masih ingin menikmati pemandangan transaksi jual
beli di sepanjang jalan. Protes lelah kaki kami tidak lain karena perjalanan
menyusuri lorong terkenal itu harus dengan membawa barang bawaan serta
oleh-oleh bakpia di kanan tangan dan kiri.
Malioboro
Mall menjadi pilihan singgah terakhir. Di sebuah kafe, kami memanfaatkan dengan
baik waktu yang tersisa sembari menyeruput minuman dingin yang menghilangkan
dahaga. Siang itu, aku keluarkan buku harianku. Di hadapannya, masih dengan spidol
yang sama, aku coret poin wishlist nomor 98. Dengan tatapan serius nan tulus
aku ungkapkan terimakasih karena membuatku dapat mengunjungi tempat kelahiran.
Senyum merekah di bibir kami berdua. Dia adalah orang pertama yang aku
perbolehkan memegang buku harianku bahkan mengijinkannya membaca satu per satu
poin wishlist itu. Kata orang, kedekatan teruji ketika seseorang dengan berani
membagi mimpi-mimpinya, dan siang itu aku membuktikan bahwa itu benar. Usai
tuntas membaca, dia memegang tanganku lalu berkata “aku akan bantu kamu
wujudkan satu per satu.” Kalimat mengandung janji itu melelehkan hatiku sebagai
seorang perempuan. Dia tidak berjanji akan mewujudkan semua, dia hanya berjanji
akan menjadi penolongku mewujudkan sedikit demi sedikit. Sebuah janji yang tak
melampui kemampuan adalah sebuah janji yang bisa dipercaya. Waktu akhirnya
membawa kami pada kewajiban kembali ke kota perantauan. Dengan naik becak kami
menuju ke stasiun. Peristiwa sendu akhirnya terjadi, dimana aku harus
melepasnya. Dengan menarik nafas aku sesaat merasa seperti jelangkung di
perjalanan ini. Datang tak dijemput pulangpun tak diantar. Dengan dendam dan
humor aku berkata kali selanjutnya dia harus merasakan perasaan rindu gelisah
kala menjemput dan sedih tak rela saat mengantar.
Di
tengah perjalanan malam kereta menuju kembali ke kota perantauanku, aku
menyadari bahwa kesulitan menjalin sebuah hubungan jarak jauh bukan saja
tentang menimbun rindu dan menguji kepercayaan, namun sempitnya kesempatan mengenal
pasangan secara langsung. Bagaimana dia memilih menu makanan? Bagaimana caranya
memperlakukan tukang parkir dan pelayanan restoran? Apakah dia membuang sampah
pada tempatnya? Berbagai kebiasaan sederhana mengungkapkan kualitas pribadi
seseorang, yang sangat sulit terungkap dengan percakapan via suara semata. Memang
traveling adalah kesempatan
mengungkap karakter tersembunyi baik diri sendiri, penduduk sekitar, dan juga
partner perjalanan, dan itulah yang terjadi di perjalanan perdana kami.
Tak
banyak tempat yang kami kunjungi saat itu, dan harus diakui kebanyakan adalah
destinasi wajib Yogyakarta, seperti Benteng Vederburg, Taman Sari, Borobudur,
dan Kuliner Gudeg. Tak layak saya berbangga akan naluri petualang kami.
Beruntungnya kesempurnaan kisah perjalanan tidak selalu dinilai dari banyaknya
destinasi yang dikunjungi, bukan pula pilihan tempat anti-mainstream hasil
eksplorasi. Kadang kesempurnaan perjalanan sederhana disimpulkan dari seberapa
banyak keyakinan dan syukur yang lahir saat itu. Tiga hari dua malam di kota
klasik Yogyakarta membuatku mantab memperhitungkan dia sebagai bagian di masa
depan kelak, atas segala persamaan terlebih perbedaan kami yang saling
melengkapi. Di lorong jalanan Maliboro, di atas susunan bebatuan Borobudur, dan
di tengah hiruk Lempuyangan, mimpiku dengan setia menggenggam tangan lalu
memancing syukur, bagaimana dia yang adalah jawaban mimpi telah menolongku mewujudkan
dua mimpiku saat itu. Semakin istimewa karena dia yang adalah lelaki impianku
juga berjanji mewujudkan mimpi-mimpiku lainnya.
Adakah
yang lebih indah ketika satu mimpi membuat mimpi-mimpi lain terealisasi?
*tulisan ini merupakan tulisan yang berhasil lolos audisi "would you be my travelmate"
0 komentar
wanna say something? ^^