akademi pelaut kehidupan
Alkisah ada dua orang yang sama-sama
ingin jadi pelaut handal. Sebut saja A dan si B, untuk mempermudah. Mereka
mendaftar di akademi pelayaran yang sama, namun skenario lanjutan mereka sangat
berbeda.
Si A ditempatkan langsung di
lautan. Semacam manifestasi prinsip "learning by doing"
atau "practice makes perfect." Sedangkan si B di tempatkan di ruang
kelas yang nyaman. Tenaga pengajar yang lembut namun tegas, kurikulum yang
rapi. Sesekali praktek di lautan namun tetap penuh dengan pengawasan tenaga
ahli dan berlokasi di laut yang juga bergelombang ringan. Pun,
bukan tanpa tugas-tugas, namun semua masih dalam tahap normal yang tidak
melelahkan.
Bertahun-tahun berlalu, satu
tingkat selesai. Si A pulang dengan banyak memar dan luka menangani kapal di
tengah lautan yang kejam. Dia jadi pelaut handal. Si B, dengan tubuh yang
tergolong jelita, juga tak kalah. Diabpun menjadi pelaut handal.
Secuplik
analogi ini akan mengantarkan kita pada dua tipe pelaut kehidupan ini. Mungkin
kita juga akan mengerutkan alis bergumam betapa tidak adilnya skenario semacam
itu bagi si A. Kemungkinanya ada dua, si A yang memang dianggap kurang
pengalaman sehingga Guru merasa perlu mengirimkan dia langsung ke lautan keras,
atau mungkin, Guru menilai bahwa hanya si A yang cukup mampu bertahan belajar
langsung di laut.
Setiap
orang dipercayakan hidup yang khas oleh sang Khalik, itu adalah sebuah
keniscayaan. Lika-likunya begitu beragam sehingga sejenius apapun seseorang
sepertinya tidak akan pernah mampu menyelami pemikiran yang Maha Agung.
Jangankan menyelamai, untuk mengurai runtutnya saja terlampu sulit. Untuk
sebagian orang, kehidupan terasa begitu rumit. Saya merasa ada di golongan itu.
Kita semua agaknya merasa di golongan itu. Melihat bagaimana keluarga
jatuh bangun, orang tua yang bertengkar hingga berpisah, menangis ketakutan
mencari dana melanjutkan pendidikan, mengungsi tak punya rumah saat ulang
tahun, dan bergelut dengan kebencian melihat ketidaksempurnaan orang sekitar.
Sekacau
apapun itu, akhirnya terlewati. dan belum pernah saya menyesali dipercayakan
hidup demikian. Hari ini saya melihat seorang pemudi yang dengan penuh
kesakitan dibentuk oleh Penciptanya. Saya (merasa) adalah si A di analogi tadi,
dan saya tak berusaha protes akan hal itu. Bertahun-tahun saya merasa baik-baik
saja dengan pola didikan Pencipta saya. Hingga di suatu malam, ketika saya
menceritakan hal ini ke orang terdekat yang sedang belajar menjadi pendengar
yang baik, ada gelombang gelisah yang membanjiri pikiran. Dia adalah si B, bagi
saya. Tak selang lama menit berganti tepat setelah saya dengan air mata haru
dan sesekali pedih menceritakan perjalanan keluarga yang penuh drama, dia
dengan begitu damai berkata "aku belum pernah melihat orang tuaku bertengkar."
Tepat
saat itu, kali pertama mungkin dalam hidup saya ingin protes pada Penata
skenario. Kenapa enak sekali dia? Punya orang tua yang saling mencintai hingga
saat ini, terjauh dari "kesialan" atau berbagai kecerobohan. Pernah
saya menanyakan "pergumulan apa yang membuatmu merasa sulit
mengampuni?" lalu dia dengan kebingungan merasa bahwa mengampuni bukan hal
susah. Dia keren! Saya begitu rendah melihat diri sendiri yang butuh
bertahun-tahun mempelajari apa itu pengampunan. Saya marah seketika, kenapa sebagian orang dipercayakan
hidup yang sederhana jalan ceritanya? Bukan tanpa masalah, tapi setidaknya
perkara kekhawatiran dan pengampunan atau pergumulan lain dapat dia pelajari
dengan lebih mulus.
Sedangkan
saya entah berapa tahun harus dihabiskan untuk belajar mengampuni. Pun soal
kekhawatiran, ketika yang lain termasuk sahabat saya ini gelisah bertanya
"bakal kuliah dimana? bisakah masuk perguruan tinggi negeri?" saya
harus tebentur dengan pertanyaan "apa saya bisa lanjut ke SMA?"
Tiga
kalimat di atas hanyalah kemarahan sepersekian detik. Pada akhirnya bodoh
sekali pemikiran semacam itu! Kemarahan yang mendustakan pengakuan bahwa untuk
yang berkapasitas lebih dipercayakan beban yang lebih. Semua adil dalam porsi
penuh kasih.
Harus
diakui sangat jarang orang yang merasa dia adalah si B. Setiap orang merasa
hidupnya sulit. Apakah
saya benar? tapi mari dengan fair mengatakan,
ada beberapa dari kita yang memang dianugerahkan kehidupan sangat indah. Jauh
lebih mulus dibandingkan sebagian yang lain. Sekali lagi saya tegaskan, bukan tanpa masalah.
Tapi punya jalan cerita yang tidak terlalu rumit. Punya orang tua harmonis yang
mendidik atau bahkan keluarga besar yang peduli, punya kecukupan keuangan,
punya sumber daya mewujudkan impian. Bersyukurlah!
Hidup
yang indah dan sederhana bukan aib,
Sama
seperti punya hidup yang rumit juga bukan kebanggaan.
Bagaimanapun,
ini masih misteri. Tapi dari kejadian malam itu saya belajar bahwa penting bagi
kita mensyukuri kehidupan indah tanpa membuat orang lain mempertanyakan
Pencipta atas hidupnya yang susah. Sahabat saya malam itu, dari kalimat
"aku tidak pernah melihat orangtuaku bertengkar" telah membuat saya iri,
kecewa, marah, dan penuh tanya pada Pencipta. Memang, dari satu kalimat iman
dapat bertumbuh atau justru terbunuh.
Ohya,
saya tidak akan lupa memberikan potongan akhir dari cerita soal dua pelaut itu versi
imagi saya sendiri.
Usai selebrasi kelulusan, si B dan beberapa orang lain datang menghampiri si A, dengan antusias mendengarkan kisah seru petualangan di lautan, mereka terkagum dan berkata pada si A "terimakasih, dari pengalamanmu aku belajar. kau telah memperkaya ilmuku untuk jadi pelaut handal, ilmu yang tidak aku temukan di ruangan"Mendengar itu, si A alih-alih bangga justru dalam senyum getir berbisik di hati: "aku yang penuh darah dan memar, tapi ternyata dariku mereka belajar. uh.. sial sekali aku"Lalu sang Guru membuyarkan lamunan gerutuan si A dengan berkata "hai nak, murid-Ku, terimakasih telah membantu mengajari mereka. Kau partner-Ku, pengalamanmu memperkaya kurikulum sekolah yang Aku dirikan ini."
Kita
tergolong yang mana bukan masalah, yang penting adalah kita bersedia berproses
dan belajar dari mana saja untuk menjadi pelaut handal itu!
Bagi
si A, jangan sombong menilai dirimu yang paling tangguh sehingga membuat si B
rendah diri akan pelajaran di kelas!
Bagi
si B, Bersyukurlah! tapi jangan pernah membuat memar luka bekas petualangan
badai di laut dari si A menjadi lebih perih! dan akhirnya membuat dia
mempertanyakan sang Guru.
ingatlah
peraturan akademi kelautan ini:
"ragu pada Guru adalah tabu!"
0 komentar
wanna say something? ^^