Welcome to our website !

Tentang Sesuatu

Segalau apapun, pasti tetap tentang sesuatu, entah Tempat atau Teman, entah Pendapat atau Pengalaman.

akademi pelaut kehidupan

By Minggu, Desember 28, 2014 , , , , , ,

Alkisah ada dua orang yang sama-sama ingin jadi pelaut handal. Sebut saja A dan si B, untuk mempermudah. Mereka mendaftar di akademi pelayaran yang sama, namun skenario lanjutan mereka sangat berbeda.

Si A ditempatkan langsung di lautan. Semacam manifestasi prinsip "learning by doing" atau "practice makes perfect." Sedangkan si B di tempatkan di ruang kelas yang nyaman. Tenaga pengajar yang lembut namun tegas, kurikulum yang rapi. Sesekali praktek di lautan namun tetap penuh dengan pengawasan tenaga ahli dan berlokasi di laut yang juga bergelombang ringan. Pun, bukan tanpa tugas-tugas, namun semua masih dalam tahap normal yang tidak melelahkan.

Bertahun-tahun berlalu, satu tingkat selesai. Si A pulang dengan banyak memar dan luka menangani kapal di tengah lautan yang kejam. Dia jadi pelaut handal. Si B, dengan tubuh yang tergolong jelita, juga tak kalah. Diabpun menjadi pelaut handal.




Secuplik analogi ini akan mengantarkan kita pada dua tipe pelaut kehidupan ini. Mungkin kita juga akan mengerutkan alis bergumam betapa tidak adilnya skenario semacam itu bagi si A. Kemungkinanya ada dua, si A yang memang dianggap kurang pengalaman sehingga Guru merasa perlu mengirimkan dia langsung ke lautan keras, atau mungkin, Guru menilai bahwa hanya si A yang cukup mampu bertahan belajar langsung di laut.

Setiap orang dipercayakan hidup yang khas oleh sang Khalik, itu adalah sebuah keniscayaan. Lika-likunya begitu beragam sehingga sejenius apapun seseorang sepertinya tidak akan pernah mampu menyelami pemikiran yang Maha Agung. Jangankan menyelamai, untuk mengurai runtutnya saja terlampu sulit. Untuk sebagian orang, kehidupan terasa begitu rumit. Saya merasa ada di golongan itu. Kita semua agaknya merasa di golongan itu. Melihat bagaimana keluarga jatuh bangun, orang tua yang bertengkar hingga berpisah, menangis ketakutan mencari dana melanjutkan pendidikan, mengungsi tak punya rumah saat ulang tahun, dan bergelut dengan kebencian melihat ketidaksempurnaan orang sekitar.

Sekacau apapun itu, akhirnya terlewati. dan belum pernah saya menyesali dipercayakan hidup demikian. Hari ini saya melihat seorang pemudi yang dengan penuh kesakitan dibentuk oleh Penciptanya. Saya (merasa) adalah si A di analogi tadi, dan saya tak berusaha protes akan hal itu. Bertahun-tahun saya merasa baik-baik saja dengan pola didikan Pencipta saya. Hingga di suatu malam, ketika saya menceritakan hal ini ke orang terdekat yang sedang belajar menjadi pendengar yang baik, ada gelombang gelisah yang membanjiri pikiran. Dia adalah si B, bagi saya. Tak selang lama menit berganti tepat setelah saya dengan air mata haru dan sesekali pedih menceritakan perjalanan keluarga yang penuh drama, dia dengan begitu damai berkata "aku belum pernah melihat orang tuaku bertengkar."

Tepat saat itu, kali pertama mungkin dalam hidup saya ingin protes pada Penata skenario. Kenapa enak sekali dia? Punya orang tua yang saling mencintai hingga saat ini, terjauh dari "kesialan" atau berbagai kecerobohan. Pernah saya menanyakan "pergumulan apa yang membuatmu merasa sulit mengampuni?" lalu dia dengan kebingungan merasa bahwa mengampuni bukan hal susah. Dia keren! Saya begitu rendah melihat diri sendiri yang butuh bertahun-tahun mempelajari apa itu pengampunan. Saya marah seketika, kenapa sebagian orang dipercayakan hidup yang sederhana jalan ceritanya? Bukan tanpa masalah, tapi setidaknya perkara kekhawatiran dan pengampunan atau pergumulan lain dapat dia pelajari dengan lebih mulus.

Sedangkan saya entah berapa tahun harus dihabiskan untuk belajar mengampuni. Pun soal kekhawatiran, ketika yang lain termasuk sahabat saya ini gelisah bertanya "bakal kuliah dimana? bisakah masuk perguruan tinggi negeri?" saya harus tebentur dengan pertanyaan "apa saya bisa lanjut ke SMA?"

Mungkin Tuhan tidak adil.
Mungkin Tuhan kurang mencintai saya
dan lebih mencintai sahabat saya itu.

Tiga kalimat di atas hanyalah kemarahan sepersekian detik. Pada akhirnya bodoh sekali pemikiran semacam itu! Kemarahan yang mendustakan pengakuan bahwa untuk yang berkapasitas lebih dipercayakan beban yang lebih. Semua adil dalam porsi penuh kasih.

Harus diakui sangat jarang orang yang merasa dia adalah si B. Setiap orang merasa hidupnya sulit. Apakah saya benar? tapi mari dengan fair mengatakan, ada beberapa dari kita yang memang dianugerahkan kehidupan sangat indah. Jauh lebih mulus dibandingkan sebagian yang lain. Sekali lagi saya tegaskan, bukan tanpa masalah. Tapi punya jalan cerita yang tidak terlalu rumit. Punya orang tua harmonis yang mendidik atau bahkan keluarga besar yang peduli, punya kecukupan keuangan, punya sumber daya mewujudkan impian. Bersyukurlah!

Hidup yang indah dan sederhana bukan aib,
Sama seperti punya hidup yang rumit juga bukan kebanggaan.

Bagaimanapun, ini masih misteri. Tapi dari kejadian malam itu saya belajar bahwa penting bagi kita mensyukuri kehidupan indah tanpa membuat orang lain mempertanyakan Pencipta atas hidupnya yang susah. Sahabat saya malam itu, dari kalimat "aku tidak pernah melihat orangtuaku bertengkar" telah membuat saya iri, kecewa, marah, dan penuh tanya pada Pencipta. Memang, dari satu kalimat iman dapat bertumbuh atau justru terbunuh.

Ohya, saya tidak akan lupa memberikan potongan akhir dari cerita soal dua pelaut itu versi imagi saya sendiri.

Usai selebrasi kelulusan, si B dan beberapa orang lain datang menghampiri si A, dengan antusias mendengarkan kisah seru petualangan di lautan, mereka terkagum dan berkata pada si A "terimakasih, dari pengalamanmu aku belajar. kau telah memperkaya ilmuku untuk jadi pelaut handal, ilmu yang tidak aku temukan di ruangan"
Mendengar itu, si A alih-alih bangga justru dalam senyum getir berbisik di hati: "aku yang penuh darah dan memar, tapi ternyata dariku mereka belajar. uh.. sial sekali aku"
Lalu sang Guru membuyarkan lamunan gerutuan si A dengan berkata "hai nak, murid-Ku, terimakasih telah membantu mengajari mereka. Kau partner-Ku, pengalamanmu memperkaya kurikulum sekolah yang Aku dirikan ini."

Kita tergolong yang mana bukan masalah, yang penting adalah kita bersedia berproses dan belajar dari mana saja untuk menjadi pelaut handal itu!
Bagi si A, jangan sombong menilai dirimu yang paling tangguh sehingga membuat si B rendah diri akan pelajaran di kelas!
Bagi si B, Bersyukurlah! tapi jangan pernah membuat memar luka bekas petualangan badai di laut dari si A menjadi lebih perih! dan akhirnya membuat dia mempertanyakan sang Guru.

ingatlah peraturan akademi kelautan ini:
"ragu pada Guru adalah tabu!"





You Might Also Like

0 komentar

wanna say something? ^^