Musikalitas Berdebu
Sebelum beranjak ke rumah sakit sebagai rutinitas seminggu ini untuk membawakan mama apapun yang dia perlu, saya tertahan sejenak di depan layar TV. Bukan karena film seru seperti alasan saya biasanya, pagi ini karena lagu "cintaku" yang didendangkan tiga musisi yang wajahnya tidak familiar samasekali. Ternyata, tiga laki-lagi dengan dua gitar dan satu kajoon itu adalah para musisi jalanan. Sontak membawa saya pada ingatan bagaimana para pengamen menjadi bagian yang menyenangkan di seperempat usia saya yang bisa dikatakan "banyak di jalanan." Bukan sebagai pengamen seperti bahasan disini tapi sebagai perantau.
Tiba-tiba kekaguman memenuhi pikiran saya selagi liputan tentang IMJ (Institut Musik Jalanan) ditampilkan. Mungkin hal ini berangkat dari sentimen pengalaman pribadi.
Rasa dekat dengan para musisi jalanan jika ditelusur telah dimulai sejak saya SMP, dengan mencoba dua kali menyanyi diatas bus dan satu kali di perumahan bersama para kawan memenuhi rasa penasaran. Saat SMA, selama dua tahun, hampir setiap hari menjalani setidaknya 30 menit perjalanan bus antar kota yang kerap diwarnai melodi merdu kadang sumbang dari para pengamen. Koin atau uang kertas selalu saya sediakan khusus, wujud apresiasi atas musikalitas penghibur itu, menjadi awal keakraban saya dengan mereka. Sesekali mengobrol, sembari menunggu bus penuh. Suara merdu menggairahkan jalanan yang berdebu ditambah peringatan tulus untuk terhindar dari kejahatan. Menjadi teman mereka, adalah salah satu pengalaman berharga selama masa SMA yang sejauh ingatan mengenang dominan diisi dengan target angka pelajaran. Suatu kali seorang mabuk di kala bus sepi mencoba bermaksud tak baik pada saya, seketika mas pengamen kenalan dengan topi dekil dan celana jeans penuh sobekan naik masuk ke bus dan menggagalkan tindakan buruk sang pemabuk itu.
Kenyataannya, jalan raya dan kantor mewah itu sama, ada orang baik ada orang jahat di dalamnya. Sama-sama ada pengais rejeki, kadang halal kadang haram. Keduanya juga selalu menawarkan pelajaran dan pastinya menuntut kita seimbang antara ramah dan waspada.
Sayangnya masih banyak orang yang penuh dengan curiga atau bahkan kesombongan untuk menahan keramahan bagi kaum pengais rejeki jalanan.
Kembali ke IMJ, kekaguman tulus saya haturkan bagi para foundernya. Saya tak punya alasan untuk tak sepakat dengan penjelasan salah satu founder IMJ yang diundang di acara Indonesia Morning Show itu:
"karena beberapa perda pelarangan bukan hanya membatasi ruang berekspresi, tapi juga tanpa disadari melahirkan bibit kriminal baru."
Sepenuhnya sepakat! Lebih dari setuju!
Laranglah pengemis, tapi jangan pengamen! Mereka adalah penebar karya. Jalanan adalah panggung mereka. Jika pemerintah belum dapat memfasilitasi, maka jangan menjarah ruang ekspresi. Jika pemerintah tak punya cukup waktu memperhatikan, setidaknya jangan beri label haram pada kreatifitas jalanan.
Mereka dengan berbagai keterbatasan telah menelurkan satu album dengan cover gambar tematik hitam putih diisi dengan 10 dendangan gubahan para pengamen berbagai sudut di ibukota. Judul album perdana seharga Rp. 20.000,- ini memuat pesan "kalahkan hari ini."
Mereka membawa penegasan, to live our daily life till the fullest. Mengalahkan hari lepas hari, baik jalanan dan perkantoran (sekali lagi saya katakan) sama-sama keras, kalahkan itu!
Sekali lagi, selamat IMJ! Pagi ini dengan kehadiran beberapa dari kalian di IMS membuat saya memutar memori dan mengingatkan kegigihan passion yang tak mengecewakan! Musik kalian boleh berdebu, tapi biarlah ketulusan tetap menggebu!
0 komentar
wanna say something? ^^