12 Paragraf
(Hampir) setahun sudah, usia hubungan kami. Melewati
banyak kata maaf dan terimakasih. Diisi dengan ribuan kata panggilan ‘sayang’
yang kerap menguap di tengah amarah. (23 kata)
365 hari kami merajut kasih, diselingi doa dan
kemesraan, kadang berganti pertengkaran konyol yang pada akhirnya berujung tawa
geli. Kami bergantian merendah untuk bersedia diisi. Berusaha tangguh untuk
layak mengisi. (30 kata)
Setelah menjalani proses panjang, orang kerap bertanya
pada kami “kenapa harus perlahan jika bisa cepat?” Betul juga. Tapi agaknya mereka
lupa bahwa ada kenikmatan khusus yang tidak akan dirasakan jika tergesa-gesa.
Waktu adalah penguji terbaik. Jarak adalah tambahan faktor yang memurnikan.
Apakah rasa itu hanya asmara atau sebuah keseriusan masa depan. Proses perlahan
yang lelakiku pilih adalah kebanggaan kami. (58 kata)
Aku bisa saja menuturkan segala kelemahaannya,
begitu sebaliknya. Tapi setahun ini mengajarkan bahwa hubungan antara dua manusia
adalah tentang berfokus terhadap apa yang baik sembari saling berproses
membenahi yang kurang baik, Sesederhana itu. Tentang penerimaan dan
penyesuaian. Dua orang yang sama-sama tidak sempurna, penuh beda, namun saling
cinta. Akhirnya menyisakan dua kewajiban yang sama rata: meregang dan melebur.
Itulah garis besar satu tahun ini. (64 kata)
Melebur. Bagian menyakitkan yang pertama. Beberapa orang (laki-laki
khususnya) bahkan menganggap ini sebagai kelemahan, tapi berita buruknya adalah
ini harus dilakukan. Rasa sakit itu berbanding lurus dengan imbalan kedamaian.
Mengalah dan mengesampingkan kerasnya diri sendiri, bukankah ini latihan ikhlas
yang sesungguhnya? Ketika ada beberapa perbedaan, dua manusia bergantian
melebur kadang dengan rela seringnya dengan sedikit terpaksa. Meleburkan apa? meleburkan
selera, pandangan, dan pastinya ego. Memadukan perbedaan menuju satu anggukan
sepakat yang seirama. (72 kata)
Meregang. Tak
ubahnya perempuan hamil. Analogi ini aku pilih
setelah menyaksikan bagaimana calon ponakanku terus mengambil ruang di perut
ibunya. Awalnya mengira perutnya sudah cukup membuncit dan tak akan lebih
membesar lagi, namun kenyataannya berbeda. Penyesuaian ukuran uterus terus
terjadi demi memberi ruang kepada manusia lain. Itulah yang dilakukan dalam
hubungan. Melakukan penyesuaian dan memberikan ruang. Ada kalanya merasa “ini sudah
cukup” namun kenyataannya, naluri cinta memampukan ruang itu terus membesar. Itulah
jalan berbagi hidup, yaitu dengan memberi ruang. Dengan meregang. (81 kata)
Seorang kakak persekutuan kampus pernah kutanya
seberapa dia yakin akan menikah dengan kekasihnya, dia menjawab 99%. Seorang
Adiss terperanga heran, andai aku bisa seberani dia. Satu persennya adalah jika
faktor distraksi yang benar-benar tidak bisa dikendalikan terjadi, begitu
jelasnya. Jika padaku ditanyakan apakah kami pasti akan menikah? Aku tidak tahu
jawabannya dan juga tidak tahu bagaimana bergeming bijak dan merdu untuk itu.
Satu yang pasti, pernikahan adalah tujuan kami. Sebuah tujuan suci yang kami
landasi dengan iman, pengharapan, dan kasih. Aku hanya terus berharap ini
adalah kisah yang tidak mengenal pisah. (91 kata)
Dia pernah sedikit mengecewakanku soal kelalaiannya menyemarakkan
hari ulang tahun dengan kejutan ataupun pemberian sesuai ekspektasiku yang
mungkin terlalu tinggi. Namun di hari yang berbeda dia memberiku hadiah paling
indah yang berbeda: keluarga. Ini kado terbaik sepanjang masa. Dimulai dari ibadah
natal bersama orang tuanya, aku mengenal keluarga baru yang semoga kemudian dapat
aku sebut sebagai mertua. Belum lagi rasa besar hati karena diperkenalkan di
keluarga besar. Aku melihat bagaimana lelakiku yang tidak jago merangkai kata
namun ahli membuat gadisnya tergila-gila. Bukti keseriusannya bukanlah kalimat
“mencintaimu selamanya” namun sebuah tindakan mempersilahkan aku masuk di
keluarga yang begitu ia banggakan. Aku lebih dari beruntung. (103 kata)
Mengasihi dengan sederhana, aku belajar darinya.
Tanpa banyak basa-basi namun penuh aksi. Tidak banyak mengumbar janji namun
menatap masa depan bersama dengan pasti. Suatu malam kala aku berbaring santai
dengan kakak perempuanku, Riyan menelpon dan seketika membawaku pergi dari
sebuah kasur empuk menuju awan-awan lembut. “Kalau tahun depan aku sudah mampu,
lalu aku ajak kamu nikah, gimana?” Ah sungguh, pertanyaan yang belum terjawab itu
memenangkan hatiku sebagai seorang perempuan. Tidak terburu-buru dan terus mempersiapkan
segalanya, kami rajin saling mengingatkan tentang itu sembari memilih terhanyut
dalam rutinitas yang tidak pernah membosankan: sekedar ucapan selamat pagi
ataupun senyum melepas malam. Konsistensi dan kesetiaan, adalah bahasa
romantisme universal cinta yang dewasa, setidaknya menurutku. (110 kata)
Di sejumlah hari kami bersama, di sela-sela rindu
terselip pilu. Dia beberapa kali menghancurkan hatiku. Misalnya saat bertanya
“kapan kita bisa tinggal satu kota?” Jawaban akan tanda tanya itu belum kami
temukan hingga hari ini. Jarak yang ada bukan bencana namun bagaimanapun rindu
yang menggebu itu tidak selalu nikmat. Dia sekali lagi mematahkan hati, saat
jam dua pagi mengirimkan teks memberitahu bahwa dia sakit dan dengan rendah
hati berandai aku dapat disana merawatnya. Miris mengusir tidur lelapku. Aku
yang adalah gadisnya tidak dapat berbuat apa-apa. Merawat hanya lewat kalimat.
Memberi rasa nyaman lewat ketikan tangan. Jarak membawa siksa, itu adalah fakta.
Teknologi memang membantu, membuatku dapat menikmati senyum tampannya. Namun
untuk gandengan tangannya yang sangat lembut, aku tetap harus sabar menunggu.
(122 kata)
Memiliki Riyan membuatku menyadari betapa indahnya
relasi yang berkiblat pada hubungan Kristus dan jemaat-Nya ini. Di sebuah buku
rohani tentang pasangan hidup aku melihat betapa indahnya skenario saat Allah
menciptakan Hawa untuk Adam. Dia yang adalah Pencipta Semesta menahan diri-Nya
untuk tidak mengisi sebuah kekosongan dalam diri Adam -sebagai smbol dari semua
laki-laki- dan mengijinkan ruang kosong itu hanya diisi oleh seorang dari
tulang rusuknya. Peristiwa perjodohan pertama di muka bumi ini tidak henti
menginspirasiku untuk menjadi wanita yang dapat mengisi sisi kosong laki-laki
yang memang adalah kesengajaan Allah sendiri. Pencipta yang segala Maha itu
telah menahan diri-Nya untuk mengisi kekosongan Adam, Riyan, dan seluruh
laki-laki di muka bumi ini. Pengenalan akan skenario agung tersebut agaknya
menyadarkan kami bahwa sebenarnya tidak ada alasan manusia tidak menahan
ego-nya untuk membentuk kesepadanan dan harmoni hubungan perempuan dan
laki-laki. Mengalah penuh kasih, itu adalah teladan pertama yang diajarkan
Allah di taman Eden dalam skenario pasangan hidup. Pilihannya adalah kita mau
meniru atau membantah? (159 kata)
Perasaan paling menyenangkan dari memiliki Riyan
adalah merasa cukup. Dua teman perempuanku pernah berdebat kecil mempertanyakan
tentang “mencari yang terbaik” atau “mencari yang lebih baik.” Bagiku, ada
banyak orang yang lebih baik dari Riyan. Daniela Mananta misalnya. Itu
sekaligus menjelaskan Riyan bukanlah yang super ataupun terbaik. Tapi ijinkan
aku membagi pandangan, bahwa yang kita cari bukanlah yang terbaik ataupun lebih
baik. Pencarian semacam itu sangat melelahkan. Sebenarnya yang kita butuhkan
adalah menemukan yang paling sepadan. Dia yang kurang-lebihnya dapat mengisi kita
dan diisi oleh kita. Aku menemukannya dalam diri Riyan Yonathan. Kenyataannya wanita bukan hanya mencari
pria yang dapat membuatnya tertawa namun juga bersedia dibuat tertawa olehnya.
Bukan hanya tegas untuk mengatur tapi juga memiliki hati yang bersedia ditegur.
Tidak dapat dipungkiri ketika kita memberi saran, teguran atau sekedar alasan
untuk tertawa, kepercayaan diri meningkat. Dari kepercayaan diri yang cukup,
cinta yang sehat mengembang. Di momen Riyan tertawa, aku menjadi semakin jatuh
cinta. Merasa cukup, itu perasaan sederhana yang luar biasa. Membisukan hingar
bingar keserakahan manusia. (166 kata)
----
Akhirnya jika ditanyakan apa momen terindah bagiku
dalam 12 bulan ini, maka aku akan jawab: saat Riyan berkata “aku merasa begitu dikasihi olehmu.” Ini
adalah pencapaian dan keberhasilan terbaikku. Satu kalimat yang memperlihatkan
bahwa segala usahaku ditafsirkan tepat oleh pasanganku. Kasihku pada Riyan di
12 bulan hubungan kami, sama seperti jumlah kata dalam 12 paragraf di tulisan ini:
terus bertambah. Aku menulis ini dengan sedemikian, untuk menyuarakan syukurku
yang tidak terhingga :)
Tentang perjalanan cintaku, aku harap kamu adalah titik. Tidak ada alinea baru setelahmu. Dan tentang lembar kisah kita berdua, aku harap setiap hari adalah koma. Selalu ada lanjutan baru yang membuat kasihku semakin bertambah.
0 komentar
wanna say something? ^^