tanda tanya dan Pertanda
Manusia suka mencari tanda. Manusia gemar mengumpulkan fakta-fakta yang memperkuat posisinya. Itulah kenapa ulasan horoscope masih laris di kolom surat kabar dan ramalan kartu menjadi sesuatu yang tidak kehilangan pesonanya. Menjadi percaya tanpa melihat, bukan hanya Thomas yang sulit melakukannya 2000 tahun lalu.
Ini adalah cerita yang sudah lama parkir di otak saya dan akhirnya tidak tertahan untuk disemayamkan dalam tulisan. Kisah ini masih merupakan rangkaian memahami panggilan kala masa menjadi pengangguran. Seperti yang saya tulis di cerita lengkap sebelumnya, saya kembali menjadi guru. Fiuuh.. Melamar ke enam sekolah, adalah tindakan saya menguji hasil pergumulan dan semoga empat panggilan dalam satu minggu merupakan pertanda besar bahwa hmmm saya memang harus menggarap ladang ini. Tapi dasarnya manusia, seorang Claudya masih menggerutu. Setiap kali melihat aktivias sosial media kawan yang diterima mengabdi sebagai PNS dan sosial media pelayanan dari WVI, hati saya teriris (literally). Masih belum berdamai, mungkin itu tepatnya. Menerima kekalahan bukanlah hal mudah, apalagi jika setelah tahapan itu kita diharuskan masuk ke satu area baru yang sebenarnya ingin kita tinggalkan jauh. Saya bertanya ke Tuhan dan mempertanyakan diri sendiri. "Jangan-jangan aku salah mengartikan hasil pergumulan." begitu pembelaan dalam angan.
Suatu siang, sebuah panggilan telepon masuk dari nomor yang tidak saya kenal. Ternyata itu lagi-lagi sebuah panggilan seleksi pekerjaan. Orang di seberang telepon itu berbicara sangat fasih dalam Bahasa Inggris, saya penasaran. Tidak berselang lama, terungkaplah bahwa itu merupakan panggilan pekerjaan dari sebuah sekolah tempat para anak expatriate di Surabaya bersekolah. WOW, saya tidak percaya lamaran yang saya kirim melebihi tenggat waktu maksimal ternyata ditanggapi dengan sangat baik. Sayangnya telepon itu berdering pasca keputusan akan ke sekolah mana saya akan berkarya sudah saya buat. Dengan sopan saya menolak tawaran itu.
Panggilan yang mengusik jam santai saya siang itu tidaklah sia-sia. Samasekali tidak sia-sia. Lima dari enam sekolah, bukankah tanda besar bahwa this is a place I belong to be. Dua minggu setelahnya, sekolah keenam melakukan hal yang sama. Lengkap sudah pertanda ini, saya menemui jalan buntu untuk membangkang. Telepon kelima itu, menyuarakan kesan mendalam. Atas keterlambatan saya mengirimkan lamaran dan atas reputasi sekolah sebesar itu. Lebih-lebih kala saya mendengar responnya yang meminta saya kembali mencoba melamar di sekolah itu setelah kontrak saya di sekolah saya (akan) mengajar saat ini tuntas. Telepon keenam hanyalah bonus, sebuah tanda pemantab hati yang tidak saya minta, yang pastinya ditujukan untuk manusia super keras kepala seperti saya.
Kita rajin mengajukan tanda tanya pada Pencipta, jika kita cukup beruntung pertanda itu akan datang. Namun bagaimanapun kita tidak bisa terus mengandalkannya. Ada waktu di hidup pertanda akan bersembunyi hingga akhir. Percaya sebelum melihat pertanda adalah kualitas iman sesungguhnya. Saya gagal untuk itu, beruntungnya kekerdilan iman saya masih dinaungi oleh Kemurahan Pencipta.
Setelah satu tahun ini saya tahu bahwa mencari pekerjaan (kadang) menjadi begitu rumit tapi sesuatu yang jauh melebihi itu adalah kesulitan mengungkap panggilan kita, dan kamu tahu apa yang paling sulit? menjadi taat.
0 komentar
wanna say something? ^^