Pengkhotbah dengan Mata Berkaca
Pendeta penuh sahaja itu adalah salah seorang gembala asli dari GKI Residen Sudirman, tempat saya berjemaat lima tahun terakhir. Walau tak mengenal tapi saya tahu persis namanya. Usianya belum terlalu tua dengan perawakan tergolong kurus dibandingkan para bapak lain yang mulai menimbun kegemukan di perut. Di barisan tengah, saya mengikuti ibadah seperti biasa sampai akhirnya insting sok tahu saya bergeming.
Tak biasanya, sebuah pembawaan karismatik terpancar dalam gaya luwes bapak itu sehari-hari. Kesan menggebu-gebu dalam bingkai kontrol yang mengagumkan tercermin. Ada penekanan yang berulang soal ketaatan dalam penderitaan sebagai umat Tuhan sebagai manisfestasi tema utama ibadah. Dari tengah hingga akhir khotbah suara pendeta itu mulai gontai. Ada nada yang tak terdefinisikan tersembunyi di balutan jas hitamnya yang gagah, hingga akhirnya mata itu berkaca-kaca. Jemaat -atau mungkin hanya saya- semakin terenyuh. Iya, tidak dapat disembunyikan sang pengkhotbah sedang menghayati benar isi pesan yang ia bagi. Merinding mampir. Di kala kalimat "walaupun kadang kita tidak mengerti kenapa Tuhan seakan diam pada masalah kita ..." terucap, upayanya untuk tetap tegar terkalahkan dengan tetes air mata. Saya tidak tahu kenapa beliau sore ini menjadi begitu emosional, tebak saya adalah mungkin ia sendiri sedang dalam pergumulan berat. Seakan kalimat ajakan yang ia pakai untuk menguatkan para jemaat sedang ia coba laksanakan sendiri. Tidak mudah mungkin, hingga harus ada tetes air jujur keluar dari sudut kelopak matanya.
Menjadi pewarta Firman, tidak selalu berarti bahwa ia telah tuntas melakukan isi khotbahnya, mungkin di detik ia membagi di saat yang sama persis itulah ia sedang mencoba. Salah besar jika kita asumsikan bahwa bahwa pelayan Tuhan adalah yang sudah beres total hidupnya. Memang, sudah seharusnya perkataan dan tindakan menjadi seirama, tapi kala itu masih proses ada kalanya kita memperkataan kebenaran sebagai pedang bermata dua: memberkati orang lain sembati mengoreksi diri sendiri. Sayang sekali jika kita kerap berkata: "anda lho bisa khotbah kok malah gak bisa lakuin." Proses adalah bagian hidup SEMUA ORANG tanpa terkecuali, metodenya berbeda tapi agaknya bukan didasarkan pertimbangan status tertentu.
Usaha sang pengkhotbah untuk menekankan pesan berharga itu lantas membuat saya teringat sesuatu. Betapa banyak orang yang menolak sebuah kesempatan pelayanan dengan dalih "aku belum siap" atau dengan kalimat yang lebih rohani "aku belum layak". Pertanyaannya adalah: Sungguhkah kita merasa akan layak nantinya? Tidak akan! Benarkah kita akan merasa siap suatu hari? Belum tentu!
Bahkan seorang pendetapun berjuang di tengah segala kondisi serta karakter yang sulit, tapi toh Tuhan berkenan memakai dia. Kenapa? Karena memang tidak ada seorangpun yang dipanggil karena kesempurnaan. Justru tahta panggilan yang Ia mandatkan adalah ruang untuk kita berproses menuju keserupaan dengan Pencipta. Itulah kenapa pelayanan disebut sebagai anugerah, karena itu samasekali di luar kelayakan kita.
Momen emosional tadi dengan lantang menggiring saya pada penghayatan: "tetap melakukan beban panggilan bahkan saat kondisi tidak nyaman," sebuah teladan yang bukan saja saya dengar namun telah saya saksikan.
Akhirnya kami semua -dia sang Pendeta dan kami para umat- larut dalam senyap, kami tunduk dalam durasi doa yang lebih lama dari biasanya. Dan kala ucap 'amin' terdengar, senyum teduh sumringahnya telah kembali. Sebuah kesimpulan dan 'permainan' ekspresi yang mengagumkan!
0 komentar
wanna say something? ^^