Welcome to our website !

Tentang Sesuatu

Segalau apapun, pasti tetap tentang sesuatu, entah Tempat atau Teman, entah Pendapat atau Pengalaman.

Ini Tentang Antrian Terpanjang

By Minggu, November 22, 2015 , , ,



Keberuntungan dan lawan katanya, konon merupakan bagian yang tidak dapat ditebak dalam hidup ini. Perjalanan saya mencicipi secuil Kamboja menunjukan bahwa hal tersebut benar adanya. Tak ada yang dapat memprediksi apa yang akan terjadi bahkan semenit di depan. Begitu pula dalam perjalanan, dibuka, diisi, dan ditutup dengan menu yang tak dapat ditebak.

Bersama seorang kawan baik. Tsabitha namanya, kami singgah ke daerah perbatasan antara Kamboja dan Thailand.  Kami disambut dengan antrian panjang, yang rekornya samasekali belum terkalahkan sejak tiga tahun lalu hingga hari ini. Di bagian imigrasi Kamboja, oknum-oknum berseragam berhasil membodohi kami dengan meminta bayaran sebesar 200 baht untuk stempel yang membekas di passport kami. Penat dan kesal hati pastinya. Kami terheran mengapa kecurangan semacam itu masih saja terjadi. Untuk sekedar menghibur hati, kami memutuskan untuk menambah satu malam menginap kami di daerah perbatasan itu. Bukan untuk mengenang atau merencanakan balas dendam, hanya sekedar menyayangkan 200 baht yang melayang, sekalian menjadikan daerah perbatasan itu sebagai ruang eksplorasi kami akan kondisi budaya dan ekonomi negara tersebut. Kemampuan bahasa Inggris yang sangat minim dari warga sana jelas menjadi kendala tersendiri sebelum akhirnya kami dapat menemukan sebuah hostel dengan harga terjangkau.
Keesokan harinya, kami bermaksud kembali ke Bangkok dengan memberi makan rasa penasaran kami terhadap rute baru yaitu via jalur kereta. Ketika matahari belum gagah di peraduannya, kami sudah terjaga untuk mencari kendaraan thuk-thuk yang akan mengantar kami dari hotel menuju stasiun.
Tidak banyak yang khas dari kereta Thailand, justru menjadi terkesan karena lorong gerbong itu mengingatkan kami berdua pada tanah kampung halaman.
Langkah kaki awal kami setibanya di stasiun bukan hanya dibarengi oleh debu-debu lantai, namun juga kekaguman akan pesona klasik di stasiun itu. Perlengkapan elektronik yang lengkap, tak mengurangi kesan bangunan tua yang khas.


jelas stasiun yang menyenangkan!


Tanpa mau terlalu lama dimanja oleh pesonanya, kami bergegas keluar dari stasiun. Satu-satunya pertanyaan yang muncul adalah, kemana lagi arah angin membawa sepasang kaki lelah kami ini. Jawaban akan perenungan singkat di tengah terik siang itu dihantarkan oleh sebuah berita di surat Kabar Bangkok Post, dituliskan disana bahwa akan ada book fair terapung terbesar di dunia, singgah ke Pelabuhan Thailand.




Tak pikir panjang, itu adalah pertanda bahwa dewi fortuna masih rindu menghiburkan hati penjelajah kami.  Pertanyaannya kini adalah bagaimana menuju ke tempat itu? Kami hanya berusaha patuh pada nasihat klasik, malu bertanya hanya akan memperburuk suasana. Singkat cerita, dewi fortuna yang hanya kiasan itu termanifestasi dalam wajah imut seorang gadis mahasiswa Chulalongkorn yang menawari kami untuk naik taxi bersama. Saat itu, pelajaran sederhana yang kami petik adalah bahwa kebaikan memang merupakan bahasa universal. Kami tak pandai berkomunikasi, bahasa beragam yang memperkaya dunia juga acap menghalangi. Namun senyum dan bantuan sederhana berbicara lebih lantang. Ya, sore itu, kami tergugah pada fakta hidup sederhana: one simple act of kindness spoke louder than a thousand words.
bersama mahasiswa Chulalongkorn

Setibanya di pelabuhan, keberuntungan kembali menyapa karena panitia memutuskan untuk menggratiskan tiket masuk. Saya dan Tsabitha hanya saling menatap geli, betapa kami beruntung hari itu. Saat itu, tak ada kata lain terucap selain mata yang terbelalak melihat kapal besar yang menepi itu, dan berhiaskan senyum kru kapal yang datang dari berbagai negara. Hingga saya menuliskan kisah ini, merinding masih hinggap mengingat betapa ajaib kapal tesebut. Membawa jutaan buku berkualitas, mengumpulkan kru dari berbagai belahan bumi, dan menyambut berbagai pengunjung dengan keramahan bak tuan rumah.




Kami bahkan sempat bertemu dengan kru asal Indonesia, dan rasanya selalu menyenangkan untuk menyapa saudara sedarah di tanah yang berbeda. Setelah berjam-jam berkeliling dan cukup mengabadikan pengalaman itu dalam jeprat-jepret senyuman, kami pun kembali pulang ke penginapan. Di perjalanan bus Thailand yang nyaman, kami berdua dengan lollipop di mulut kami, tertawa kecil penuh syukur mengingat rangkaian kebetulan yang terjadi dalam kurun waktu kurang dari 48 jam.

Perjalanan itu mengajarkan kamu bahwa antrian terpanjang dalam hidup kadang adalah antrian dari kesialan menuju keberuntungan. Tak ada jalan pintas dalam antrian, itu catatan pentingnya. Satu-satunya cara adalah tetap di jalur, berusaha menikmati setiap menit dan setiap langkah. Dibuka dengan ketidakberuntungan yang mengesalkan, menuju pada sebuah kapal besar ajaib yang menepi di pelabuhan. Antrian kami menghabiskan banyak baht, keringat, dan nyaris menguapkan semangat. Namun memaksa diri untuk tetap mengikuti naluri perjalanan tanpa tergesa untuk pulang, membawa kami pada kepuasan besar.




You Might Also Like

0 komentar

wanna say something? ^^