Ini Tentang Antrian Terpanjang
Keberuntungan
dan lawan katanya, konon merupakan bagian yang tidak dapat ditebak dalam hidup
ini. Perjalanan saya mencicipi secuil Kamboja menunjukan bahwa hal tersebut
benar adanya. Tak ada yang dapat memprediksi apa yang akan terjadi bahkan
semenit di depan. Begitu pula dalam perjalanan, dibuka, diisi, dan ditutup dengan
menu yang tak dapat ditebak.
Bersama
seorang kawan baik. Tsabitha namanya, kami singgah ke daerah perbatasan antara Kamboja dan Thailand. Kami disambut dengan
antrian panjang, yang rekornya samasekali belum terkalahkan sejak tiga tahun
lalu hingga hari ini. Di bagian imigrasi Kamboja, oknum-oknum berseragam
berhasil membodohi kami dengan meminta bayaran sebesar 200 baht untuk stempel
yang membekas di passport kami. Penat dan kesal hati pastinya. Kami terheran
mengapa kecurangan semacam itu masih saja terjadi. Untuk sekedar menghibur
hati, kami memutuskan untuk menambah satu malam menginap kami di daerah
perbatasan itu. Bukan untuk mengenang atau merencanakan balas dendam, hanya
sekedar menyayangkan 200 baht yang melayang, sekalian menjadikan daerah
perbatasan itu sebagai ruang eksplorasi kami akan kondisi budaya dan ekonomi
negara tersebut. Kemampuan bahasa Inggris yang sangat minim dari warga sana
jelas menjadi kendala tersendiri sebelum akhirnya kami dapat menemukan sebuah
hostel dengan harga terjangkau.
Keesokan
harinya, kami bermaksud kembali ke Bangkok dengan memberi makan rasa penasaran
kami terhadap rute baru yaitu via jalur kereta. Ketika matahari belum gagah di
peraduannya, kami sudah terjaga untuk mencari kendaraan thuk-thuk yang akan mengantar kami dari hotel menuju stasiun.
Tidak
banyak yang khas dari kereta Thailand, justru menjadi terkesan karena lorong
gerbong itu mengingatkan kami berdua pada tanah kampung halaman.
Langkah
kaki awal kami setibanya di stasiun bukan hanya dibarengi oleh debu-debu lantai,
namun juga kekaguman akan pesona klasik di stasiun itu. Perlengkapan elektronik
yang lengkap, tak mengurangi kesan bangunan tua yang khas.
Tanpa mau terlalu lama dimanja oleh pesonanya, kami bergegas keluar dari stasiun. Satu-satunya pertanyaan yang muncul adalah, kemana lagi arah angin membawa sepasang kaki lelah kami ini. Jawaban akan perenungan singkat di tengah terik siang itu dihantarkan oleh sebuah berita di surat Kabar Bangkok Post, dituliskan disana bahwa akan ada book fair terapung terbesar di dunia, singgah ke Pelabuhan Thailand.
jelas stasiun yang menyenangkan! |
Tanpa mau terlalu lama dimanja oleh pesonanya, kami bergegas keluar dari stasiun. Satu-satunya pertanyaan yang muncul adalah, kemana lagi arah angin membawa sepasang kaki lelah kami ini. Jawaban akan perenungan singkat di tengah terik siang itu dihantarkan oleh sebuah berita di surat Kabar Bangkok Post, dituliskan disana bahwa akan ada book fair terapung terbesar di dunia, singgah ke Pelabuhan Thailand.
Tak
pikir panjang, itu adalah pertanda bahwa dewi fortuna masih rindu menghiburkan
hati penjelajah kami. Pertanyaannya kini
adalah bagaimana menuju ke tempat itu? Kami hanya berusaha patuh pada nasihat
klasik, malu bertanya hanya akan memperburuk suasana. Singkat cerita, dewi
fortuna yang hanya kiasan itu termanifestasi dalam wajah imut seorang gadis
mahasiswa Chulalongkorn yang menawari kami untuk naik taxi bersama. Saat itu,
pelajaran sederhana yang kami petik adalah bahwa kebaikan memang merupakan
bahasa universal. Kami tak pandai berkomunikasi, bahasa beragam yang memperkaya
dunia juga acap menghalangi. Namun senyum dan bantuan sederhana berbicara lebih
lantang. Ya, sore itu, kami tergugah pada fakta hidup sederhana: one simple act of kindness spoke louder than
a thousand words.
bersama mahasiswa Chulalongkorn |
Setibanya
di pelabuhan, keberuntungan kembali menyapa karena panitia memutuskan untuk
menggratiskan tiket masuk. Saya dan Tsabitha hanya saling menatap geli, betapa
kami beruntung hari itu. Saat itu, tak ada kata lain terucap selain mata yang
terbelalak melihat kapal besar yang menepi itu, dan berhiaskan senyum kru kapal
yang datang dari berbagai negara. Hingga saya menuliskan kisah ini, merinding
masih hinggap mengingat betapa ajaib kapal tesebut. Membawa jutaan buku
berkualitas, mengumpulkan kru dari berbagai belahan bumi, dan menyambut
berbagai pengunjung dengan keramahan bak tuan rumah.
Kami
bahkan sempat bertemu dengan kru asal Indonesia, dan rasanya selalu
menyenangkan untuk menyapa saudara sedarah di tanah yang berbeda. Setelah
berjam-jam berkeliling dan cukup mengabadikan pengalaman itu dalam
jeprat-jepret senyuman, kami pun kembali pulang ke penginapan. Di perjalanan
bus Thailand yang nyaman, kami berdua dengan lollipop di mulut kami, tertawa kecil
penuh syukur mengingat rangkaian kebetulan yang terjadi dalam kurun waktu
kurang dari 48 jam.
Perjalanan
itu mengajarkan kamu bahwa antrian terpanjang dalam hidup kadang adalah antrian
dari kesialan menuju keberuntungan. Tak ada jalan pintas dalam antrian, itu
catatan pentingnya. Satu-satunya cara adalah tetap di jalur, berusaha menikmati
setiap menit dan setiap langkah. Dibuka dengan ketidakberuntungan yang
mengesalkan, menuju pada sebuah kapal besar ajaib yang menepi di pelabuhan.
Antrian kami menghabiskan banyak baht, keringat, dan nyaris menguapkan
semangat. Namun memaksa diri untuk tetap mengikuti naluri perjalanan tanpa
tergesa untuk pulang, membawa kami pada kepuasan besar.
0 komentar
wanna say something? ^^